Suami Jauh di Negeri Seberang (2)

By nova.id, Sabtu, 24 Oktober 2009 | 19:54 WIB
Suami Jauh di Negeri Seberang 2 (nova.id)

Ibu R Yth,

Menunggu adalah pekerjaan paling tidak menyenangkan di dunia ini, dan makin parah lagi bila tidak ada kepastian sampai kapan kita harus menunggu. Jadi saya paham betapa galaunya perasaan Anda. Akan tetapi, menangis jelas tak memecahkan masalah, bukan?

Maka, lakukanlah hal-hal bermanfaat, Bu, agar anak-anak bukan hanya belajar sisi positif ayahnya yang gigih mencari uang ke seberang laut. Tetapi juga bisa melihat bahwa ibunya mampu berdiri tegak menjaga agar anak-anak tetap merasa aman walau hanya bersama ibunya. Karena Anda tegar, tidak cengeng dan paham benar, untuk apa perpisahan ini harus terjadi.

Untuk gosip dan cibiran tetangga, sebenarnya paling mudah menanggulanginya, Yaitu, abaikan saja! Gitu saja, kok, repot? Selama Anda punya keyakinan bahwa suami melakukan perbuatan yang baik dan benar, mereka boleh omong apa saja dan Anda tidak usah terpengaruh, bukan?

Bila benar komunikasi dengan suami tetap terpelihara baik, teratur dan tetap harmonis, cobalah dalam kesempatan bicara dengannya, Anda tidak cuma berbicara tentang kangen dan kapan pulang. Tapi, galilah lebih jauh apa yang dia rencanakan untuk hidupnya, perkawinannya serta anak-anaknya. Sepadankah pengorbanannya untuk berada jauh dari keluarganya?

Bila telah ada pembicaraan tentang rencana, Anda tentu boleh berkomentar dan menyatakan dukungan maupun ketidaksetujuan, bukan? Agar ikatan Anda berdua makin kokoh, paling baik bila tujuan dan harapan ini memang adalah hasil dari mimpi berdua, bukan hanya keinginan suami semata.

Bagaimanapun, bila kita tahu tujuan perkawinan kita, maka tujuan ini dapat membuat kita tahu apa yang harus dilakukan dan mana pula yang harus ditinggalkan agar tujuan itu dapat dicapai. Jadi, berlama-lamalah mengobrol dengan suami. Apa, sih, tujuan perkawinan kita? Ini bukanlah sebuah kesia-siaan atau membuang waktu, karena begitu tujuan ini jelas dan disepakati bersama, hidup akan lebih sederhana dijalani. Dengan menyadari tujuan perkawinan pula, masing-masing jadi tahu standar untuk mengevaluasi perilakunya. Apakah menyulitkan untuk sampai ke tujuan, sehingga harus ditinggalkan dan mana pula yang perlu dilakukan agar tujuan lebih cepat bisa dicapai.

Bila timbul masalah, kita juga cepat dapat mengambil keputusan karena tahu bahwa sikap yang reaktif tanpa dasar akan membuat kita stres dan lelah berkepanjangan. Sementara tujuan yang jelas akan membuat kita bisa fokus, lho, Jeng, pada hidup kita. Energi dan upaya pasti kita pusatkan untuk fokus mencapai tujuan hidup.

Ajak suami untuk menggali kembali jawaban terhadap pertanyaan "Apa yang mau kita capai dalam perkawinan ini?" Tidak cukup dengan menjawab untuk kesejahteraan masa depan, karena ini masih belum jelas dan rinci. Seberapa jauh yang kita katakan masa depan? 5 tahun, 10 tahun?

Agar anak-anak sejahtera, lalu apa yang kita maksud sejahtera? Nah, dalam memformulasikan ini, kemudian akan terlihat bagaimana kelak anak-anak akan Anda besarkan. Berapa cadangan dana yang bakal Anda simpan untuk sekolah mereka. Misalnya, masuk sekolah unggulan atau cukup SD Inpres dekat rumah tetapi kita pasang internet agar mereka bisa menjelajah dunia maya?

Berikutnya, Andapun akan sampai pada "ukuran" dari semua ini. Artinya, kita harus bisa memberi ancer-ancer standar kuantitatif dalam perjalanan mencapai tujuan perkawinan.

Punya anak sebagai kelangsungan keturunan misalnya. Berapa anak? Dua sudah cukup, misalnya. Mereka harus sekolah tinggi, setinggi apa? Minimal D-3 atau malah S-1? Rumah harus layak ditinggali, apa wujudnya?