Tahun 2006 di Solo. Kala itu, saya masih menggunakan Bahasa Jawa tapi dengan pemanggungan kontemporer. Sambutan penonton muda ini sangat bagus, karena memang inilah bentuk pertunjukan wayang yang mereka inginkan. Kalangan sesepuh pun tak mengkritik pertunjukan saya. Bahkan, mereka mendukung karena kontennya tetap pada ranah tradisi.
Oh ya, gagasan konsep pertunjukan ini muncul sepulang saya dari pentas di Portugis. Waktu itu, saya berkolaborasi dengan seniman setempat, Jose Lorenzo, mementaskan lakon Cahaya dari Jawa. Sebagai dalang, saya tetap memainkan wayang tapi dengan paduan mini orksestra. Ternyata, pertunjukan ini menarik perhatian masyarakat setempat.
Lantas, mementaskannya di Jakarta?
Ya. Setahun kemudian saya mulai pentas di Jakarta. Sambutan penonton bagus. Mereka, kan, jadi paham ceritanya. Dugaan saya benar, lewat pentas wayang urban, sekat-sekat kendala bisa dilebur. Bahkan, teman-teman yang memperkuat wayang urban tak hanya dari Jawa. Ada yang dari Manado, Sumatera, Kalimantan. Pokoknya komplet. Jadi, saya memang ingin membawa wayang kepada siapa pun.
Selain wayang urban, pertunjukan apa lagi yang ditekuni?
Saya tetap tidak meninggalkan tradisi pentas mendalang semalam suntuk. Selain itu, saya pernah membuat wayang jazz bersama Luluk Purwanto dengan tajuk pertunjukan Mahabharata Jazz & Wayang. Kala itu di tahun 2003, kami pentas keliling 20 kota di Jawa dan Bali. Selain itu, semasa kuliah di Jurusan Pedalangan, ISI Surakarta, saya menghidupkan lagi Wayang Sandosa milik kampus.
Saya bikin naskah, cari sponsor, dan saya kemas dengan format yang saya kembangkan. Bentuk pertunjukan Wayang Sandosa ini, penonton menyaksikan panggung dengan siluet wayang di layar sekitar 7 meter. Penonton ibarat nonton bioskop, tapi berupa bayang-bayang wayang. Peraga wayangnya cukup banyak, mereka mirip dubber. Penyajiannya dengan disiplin teater. Wayang pentas pernah keliling kampus dan pentas di panggung-panggung pertunjukan, termasuk pentas di luar negeri.
Seberapa sering pentas?
Jadwal tiap bulan, sih, selalu ada, tapi enggak tentu. Pernah sebulan sampai tujuh kali pentas. Saya pentas di mana-mana. Mulai dari main di gedung pertunjukan bergengsi, acara kantor, bahkan acara ulang tahun. Wayang terbukti bisa main di mana saja. Selain itu, saya juga tiap hari mendalang lewat Twitter. Follower saya yang jumlahnya tiga ribuan boleh menanggap, artinya mereka boleh pesan cerita.
Ternyata, kicauan saya ini dikumpulkan Nora Lim, WNI yang tinggal di Singapura. Bahkan, dia sudah me-lay out dan membuat buku. Katanya, kalau saya mau tinggal mencetaknya saja. Sekarang, sudah satu buku yang diterbitkan, menyusul dua buku lanjutannya. Wah, ternyata saya cukup cerewet juga, ya, di Twitter. Ha ha ha...
Selain itu, saya juga ikut wayang orang, jadi salah satu pengisi acara di Jalan Sesama yang tayang di teve swasta. Saya ikut dalam 60-an episode. Di Jalan Sesama, saya berperan sebagai dalang petualang. Saya tidak hanya mendongeng cerita wayang, juga kisah-kisah Nusantara.
Omong-omong sejak kapan suka wayang?