Mengapa membuat wayang urban?
Sebagai dalang wayang kulit selama ini saya, kan, bergaul dengan teman dari beragam latar belakang, tak hanya dari kalangan tradisi. Nah, saya sering bertemu teman-teman yang ingin tahu tradisi tapi terkendala. Mereka ingin tahu cerita wayang, tapi tak mengerti bahasa pedalangan. Mereka yang dari luar Jawa terkendala tak paham bahasanya. Mereka, terutama yang tinggal di kota besar, juga terkendala ritme pertunjukan yang menurut mereka lamban.
Maklum saja bila mereka punya pandangan seperti itu. Teman-teman dari kalangan muda ini memang tidak diajari bagaimana mengapresiasi seni tradisi. Misalnya saja, sejak kecil mereka tak pernah nonton wayang. Dengan demikian, mereka memang berjarak dengan media ungkap wayang, artistik, dan simbol-simbolnya.
Saya berpandangan, perlu ada yang menjembatani tradisi dengan kondisi kota besar. Ya, sasaran saya memang kaum muda. Di kota besar, mereka yang terkendala ini jumlahnya sangat besar. Makanya perlu ada cara alternatif untuk mengemas wayang supaya dapat dinikmati kalangan terkendala ini.
Bagaimana mewujudkannya?
Saya mengemas ulang cerita wayang. Ibarat tradisi adalah sebuah rumah, saya bermain ke luar rumah. Saya masuk ke ruang ritme mereka pada hari ini. Dalam pertunjukan yang saya mainkan, di sana tetap ada wayang sebagai permainan bayang-bayang dan iringan gamelan sebagai musik tradisi. Namun saya memadukannya dengan iringan band. Lagunya tak hanya tembang-tembang tradisi yang biasa dinyanyikan pesinden, tapi juga lagu pop atau kebanyakan lagu ciptaan saya sendiri.
Saya juga menggunakan bahasa yang bisa mereka pahami. Untuk warga Jakarta dan kota besar lainnya, saya pentas menggunakan Bahasa Indonesia. Saya kemas pertunjukan menggunakan semacam konsep monolog dengan banyak media ungkap, salah satunya teater.
Untuk cerita, saya tetap menggalinya dari khazanah wayang. Namun saya interpretasi ulang dan dicocokkan dengan isu hari ini. Bukan dipaksakan, ya, karena problem di cerita wayang masih tetap aktual dengan situasi hari ini. Misalnya kami bilang, "Kunti itu hamil di luar nikah dan bayinya dibuang. Karna, nama si anak terbuang itu, sudah mati di Mahabharata. Namun, siapa bilang Karna sudah mati? Bisa jadi dia ada di stasiun, di pinggir jalan, anak-anak yang dibuang ibunya. Sebut saja mereka itu: Karna"
Jadi, cerita wayang itu memang dekat dengan masyarakat. Dengan konsep pemanggungan seperti itu, bukan berarti wayangnya kami jadikan kendaraan untuk lucu-lucuan. Namun cerita wayang itu saya garap dan saya sampaikan dengan kemasan yang lebih sesuai dengan kalangan terkendala tadi. Saya berharap, penonton merasa asyik sambil tetap ada pesan yang bisa dibawa pulang.
Lantas kapan pertama kali mementaskannya?
Tahun 2006 di Solo. Kala itu, saya masih menggunakan Bahasa Jawa tapi dengan pemanggungan kontemporer. Sambutan penonton muda ini sangat bagus, karena memang inilah bentuk pertunjukan wayang yang mereka inginkan. Kalangan sesepuh pun tak mengkritik pertunjukan saya. Bahkan, mereka mendukung karena kontennya tetap pada ranah tradisi.
Oh ya, gagasan konsep pertunjukan ini muncul sepulang saya dari pentas di Portugis. Waktu itu, saya berkolaborasi dengan seniman setempat, Jose Lorenzo, mementaskan lakon Cahaya dari Jawa. Sebagai dalang, saya tetap memainkan wayang tapi dengan paduan mini orksestra. Ternyata, pertunjukan ini menarik perhatian masyarakat setempat.
Lantas, mementaskannya di Jakarta?
Ya. Setahun kemudian saya mulai pentas di Jakarta. Sambutan penonton bagus. Mereka, kan, jadi paham ceritanya. Dugaan saya benar, lewat pentas wayang urban, sekat-sekat kendala bisa dilebur. Bahkan, teman-teman yang memperkuat wayang urban tak hanya dari Jawa. Ada yang dari Manado, Sumatera, Kalimantan. Pokoknya komplet. Jadi, saya memang ingin membawa wayang kepada siapa pun.
Selain wayang urban, pertunjukan apa lagi yang ditekuni?
Saya tetap tidak meninggalkan tradisi pentas mendalang semalam suntuk. Selain itu, saya pernah membuat wayang jazz bersama Luluk Purwanto dengan tajuk pertunjukan Mahabharata Jazz & Wayang. Kala itu di tahun 2003, kami pentas keliling 20 kota di Jawa dan Bali. Selain itu, semasa kuliah di Jurusan Pedalangan, ISI Surakarta, saya menghidupkan lagi Wayang Sandosa milik kampus.
Saya bikin naskah, cari sponsor, dan saya kemas dengan format yang saya kembangkan. Bentuk pertunjukan Wayang Sandosa ini, penonton menyaksikan panggung dengan siluet wayang di layar sekitar 7 meter. Penonton ibarat nonton bioskop, tapi berupa bayang-bayang wayang. Peraga wayangnya cukup banyak, mereka mirip dubber. Penyajiannya dengan disiplin teater. Wayang pentas pernah keliling kampus dan pentas di panggung-panggung pertunjukan, termasuk pentas di luar negeri.
Seberapa sering pentas?
Jadwal tiap bulan, sih, selalu ada, tapi enggak tentu. Pernah sebulan sampai tujuh kali pentas. Saya pentas di mana-mana. Mulai dari main di gedung pertunjukan bergengsi, acara kantor, bahkan acara ulang tahun. Wayang terbukti bisa main di mana saja. Selain itu, saya juga tiap hari mendalang lewat Twitter. Follower saya yang jumlahnya tiga ribuan boleh menanggap, artinya mereka boleh pesan cerita.
Ternyata, kicauan saya ini dikumpulkan Nora Lim, WNI yang tinggal di Singapura. Bahkan, dia sudah me-lay out dan membuat buku. Katanya, kalau saya mau tinggal mencetaknya saja. Sekarang, sudah satu buku yang diterbitkan, menyusul dua buku lanjutannya. Wah, ternyata saya cukup cerewet juga, ya, di Twitter. Ha ha ha...
Selain itu, saya juga ikut wayang orang, jadi salah satu pengisi acara di Jalan Sesama yang tayang di teve swasta. Saya ikut dalam 60-an episode. Di Jalan Sesama, saya berperan sebagai dalang petualang. Saya tidak hanya mendongeng cerita wayang, juga kisah-kisah Nusantara.
Omong-omong sejak kapan suka wayang?
Semasa kecil tinggal di kota kelahiran di Ponorogo (Jatim), saya memang sudah suka wayang. Kakek saya lurah dan Bapak adalah guru, tapi jika ditilik dari garis keturunan memang ada garis dalang dari Mbah Lik (adik Kakek). Paman saya juga dalang. Saya kerap ikut semasa Paman pentas. Selain itu, saya juga suka ngeband. Tapi dulu, tidak pernah bercita-cita jadi dalang. Inginnya, sih, bekerja kantoran.
Lalu, apa titik baliknya sehingga ingin jadi dalang?
Sampai lulus SMA jurusan fisika, saya masih belum ingin jadi dalang. Bahkan, saya sebenarnya berhasil masuk Jurusan Elektro, Universitas Brawijaya, Malang, lewat jalur PMDK. Sayang, kondisi ekonomi keluarga tak memungkinkan saya kuliah. Saya sempat kecewa dan jadi anak nakal. Saya sempat minum minuman keras dan kumpul dengan preman terminal.
Sampai suatu ketika, saya kenal Mas Pri, mantan preman yang sudah insaf dan berprofesi sebagai sopir. Mas Pri suka nonton wayang kulit. Kami nonton pertunjukan wayang kulit berjudul Rama Nitis, dengan dalang Ki Gondo Suyatno. Sepanjang pertunjukan, saya merasa disindir sang dalang.
Saya merasa dimarahi akibat kenakalan saya. Apa saja yang dalang sampaikan lewat lakon wayang itu, semuanya masuk dan nyangkut ke saya. Usai pertunjukan, saya sowan ke rumah beliau. Saya sampaikan, saya seperti dimarahi ketika nonton pertunjukan beliau. "Wayang, ya, seperti itu, Ngger (Nak). Wayang memang dekat dengan kehidupan manusia, juga hidupmu." Hari itu juga, saya sampaikan ingin ngenger beliau.
Apa maksudnya ngenger?
Artinya, semacam hidup menumpang di rumah Ki Gondo Suyatno. Beliau, kan, termasuk dalang yang dihormati dan sering sekali pentas di kawasan Ponorogo. Saya membantu pentas beliau dengan menata gamelan dan menyiapkan wayang bersama Pak Kruwet. Begitulah, tugas saya sehari-hari. Saat beliau pentas, dengan pakaian pengrawit saya duduk di belakang nya menyiapkan wayang.
Suatu hari setelah tiga bulan saya ngenger, beliau ada undangan pentas di acara hajatan. "Ngger, nanti siapkan lakon Wahyu Makutharama." Seperti biasa, sore hari saya sudah berangkat mempersiapkan segalanya bersama Pak Kruwet. Beliau biasa datang malam hari, jelang pementasan. Namun sampai jam 21.00 malam, beliau belum juga datang, sementara tamu sudah berkerumun. Pertunjukan harus segera dimulai.
Pak Kruwet langsung menyuruh saya menggantikan sampai beliau datang. Wah, dengan keringat bercucuran saya akhirnya mendalang sampai satu babak. "Apa saya pantas menggantikan, Bapak?" pikir saya saat itu. Usai satu adegan, beliau rawuh (datang) dan langsung mendalang. Beberapa hari kemudian, saya baru tahu semua itu ternyata skenario beliau.
Beliau sudah merencanakan dan negosiasi dengan si empunya hajat bahwa saya yang akan disuruh mendalang. Saya sampaikan kepada beliau, "Pak, saya minta maaf kalau penampilan saya kurang bagus, karena selama ini tak pernah diajari Bapak." Jawaban Bapak membuat saya kaget, "Lha, tiap hari kamu duduk di belakang saya itu ngapain saja?" Wah, ternyata begitu cara beliau mengajari saya.
Tampaknya sudah mantap jadi dalang, ya?
Betul. Semua atas dukungan Pak Gondo. Bahkan, beliau mengatakan, "Mulai sekarang kamu harus mau kalau ada yang nanggap. Boleh ikut Bapak kalau kamu pas enggak ada tanggapan sendiri." Bapak memang sakti. Sebulan kemudian, saya benar-benar dapat order mendalang. Begitulah, saya mulai sering mendalang di Ponorogo.
Dua tahun kemudian, barulah saya kuliah di Jurusan Pedalangan, ISI Surakarta. Saya kan, ingin berkembang. Saya belajar berbagai pakeliran. Saya tahu wayang keraton, wayang Sragen, dan lainnya. Lulus tahun 2001, saya pun semakin memantapkan langkah untuk menjadi dalang. Kini, saya akan terus berporses. Semua tentu juga berkat dukungan istri saya, Widyarsi Kristiani Putri. Dia seorang penari yang saya kenal semasa kuliah. Saya kerap berdiskusi dengan istri, terutama soal produksi.
Henry Ismono