Selingkuh Untuk Tes Kejantanan

By nova.id, Rabu, 13 Februari 2008 | 11:20 WIB
Selingkuh Untuk Tes Kejantanan (nova.id)

Ibu Rieny yth,

Saya berumur 35 tahun dan suami 43 tahun. Kami telah dikaruniai anak laki-laki 12 tahun dan perempuan 6 tahun. Perkawinan kami selama ini baik-baik saja, dan bisa dikatakan cukup bahagia.

Sejak kelahiran anak kedua kami tinggal terpisah dan bertemu hanya dua kali seminggu, karena suami bekerja di luar kota. Jadi, praktis saya bertindak seperti setengah single parent.

Memasuki usia perkawinan yang ke 14, rumahtangga kami mulai goyah. Sepanjang tahun 2007 rumahtangga kami selalu diwarnai pertengkaran. Suami saya mulai tak betah di rumah. Selalu saja ada alasan dan urusan, meskipun saat itu dia pulang ke rumah untuk menemui kami. Tentu hal ini mengundang protes dari saya.

Setiap kali kami membahas perselisihan, suami selalu tidak mau mengalah, padahal jelas-jelas dia yang bersalah. Bahkan, dia baru akan mengakuinya setelah berhari-hari berikutnya. Padahal, saya berharap setiap masalah yang muncul bisa diselesaikan saat itu juga. Saya bukan egois, tapi selalu menawarkan agar dia juga mengeritik atau menyalahkan saya, jika ada sesuatu yang membuat dia jadi begitu.

Sementara, suami saya sering cuek dengan keadaan dan enggak mau pusing terhadap sesuatu. Anehnya, dia selalu melakukan tindakan yang akhirnya membuat dia pusing sendiri, karena perubahan sikapnya mengundang protes dari saya. Karena bingung menghadapi suami, terkadang saya mengeluarkan kata-kata kasar untuk meluapkan emosi.

Dia pernah memukul saya dengan baju yang dihadiahkan temannya ke arah saya sebanyak tiga kali. Tindakan itu sungguh membuat hati saya semakin hancur dan tidak mengenal pribadinya lagi. Ada apa dengan dia, ya Bu? Tahu tidak, ketika saya minta maaf melalui telepon atas kata-kata saya yang kasar, dia malah protes tanpa mau memahami sebabnya, kenapa saya berkata demikian. Dia baru minta maaf sehari berikutnya.

Kondisi seperti ini sangat mempengaruhi mental dan fisik saya. Saya depresi Bu, terutama ketika mengurus anak-anak, serta menghadapi rutinitas di kantor. Saya lalu berpikir untuk mengakhiri saja semuanya dan mengajaknya berunding, apa sebenarnya yang dia inginkan. Di luar dugaan, ternyata pengakuan suami membuat saya benar-benar down. Suami bilang, "Aku tak suka pergaulanku dibatasi, terlalu diperhatikan, diatur, dan ditanya-tanya setiap mau pergi. Aku tahu, kok, jalan pulang ke rumah. Tahu membedakan mana yang baik dan buruk!"

Rumah tangga macam apa ini, Bu? Mana ada istri memberi kebebasan pada suami yang gelagatnya selalu mencurigakan? Apalagi kami pernah bertengkar, gara-gara foto seorang gadis (ABG) yang tidak saya kenal bergaya di ponselnya. Dia sangat marah saat saya menanyakan siapa gadis itu. Padahal, saya bertanya dengan nada biasa-biasa saja dan sambil tersenyum. Wajar, kan, jika kecurigaan saya makin besar?

Suatu hari saya tanya ke suami, kenapa ponselnya dikunci, eh dia marah. Tapi Tuhan sayang sama saya, tiba-tiba ponselnya berbunyi saat ada di genggaman saya. Ternyata ada SMS dari gadis yang saya curigai itu. Lalu, saya berikan ponsel itu ke suami agar dia membalasnya. Di layar ponsel itu sempat saya baca SMS, "Sedang apa Papaku?" Dengan cepat, suami menghapus SMS itu. Setelah saya tanya, barulah ia mengaku, gadis itu pacarnya, dan dia mencintainya. Setelah kami berunding lagi, suami memutuskan untuk menghentikan perselingkuhanya dan mau kembali kepada anak dan istri. Demi anak-anak, saya memaafkannya.

Belum sembuh luka tadi, suami tertangkap basah oleh saya sendiri. Dia bermalam di hotel untuk mengetes kejantanannya yang sudah beberapa bulan ini tak berfungsi, akibat stres menyembunyikan perempuan lain di belakang saya. Padahal, saya selalu memberi dia semangat. Meski dalam keadaan impoten seumur hidup pun, saya akan terima, asal dia mau mengubah sikap dan tidak mengulangi perselingkuhannya. Bahkan, saya terkadang membantunya, seperti bertingkah laku bak pelacur, agar dia bergairah lagi dan pernah berhasil hingga ejakulasi. Malah, suami saya mengaku, tidur dengan pelacur tidak membuatnya mengalami ereksi sama sekali, karena diburu rasa bersalah. Sekali lagi, demi keutuhan rumahtangga, saya mengajaknya berobat ke dokter. Sialnya lagi, setelah kejadian itu, suami bukannya mengobati luka di hati saya. Dia malah menambah luka dengan sikapnya yang dingin. Mungkinkah karena semua kedoknya selalu ketahuan, ya Bu? Atau, dia tidak mencintai keluarganya lagi? Karena penasaran, saat dia minta berhubungan, saya tolak dengan halus. Saya beralasan, tidak terlalu menuntut itu jika dia memang belum bisa. Tapi ternyata dia mampu, meski belum maksimal.

Sejak itu saya sering mendekatinya dan memintanya untuk memanjakan saya. Tapi, Bu, terkadang dia menolaknya dan itu menyakitkan. Bahkan, dia pun menolak untuk bercumbu, padahal saya tahu persis kini dia sudah normal. Coba bayangkan, Bu, bagaimana rasanya menatap suami yang dingin dan cuek seperti itu, sementara hati saya sudah hancur akibat perselingkuhannya. Saya, toh, juga membutuhkan nafkah batin. Masih terobsesikah dia pada gadis itu, Bu?