Ibu Rieny yth,
Saya berumur 35 tahun dan suami 43 tahun. Kami telah dikaruniai anak laki-laki 12 tahun dan perempuan 6 tahun. Perkawinan kami selama ini baik-baik saja, dan bisa dikatakan cukup bahagia.
Sejak kelahiran anak kedua kami tinggal terpisah dan bertemu hanya dua kali seminggu, karena suami bekerja di luar kota. Jadi, praktis saya bertindak seperti setengah single parent.
Memasuki usia perkawinan yang ke 14, rumahtangga kami mulai goyah. Sepanjang tahun 2007 rumahtangga kami selalu diwarnai pertengkaran. Suami saya mulai tak betah di rumah. Selalu saja ada alasan dan urusan, meskipun saat itu dia pulang ke rumah untuk menemui kami. Tentu hal ini mengundang protes dari saya.
Setiap kali kami membahas perselisihan, suami selalu tidak mau mengalah, padahal jelas-jelas dia yang bersalah. Bahkan, dia baru akan mengakuinya setelah berhari-hari berikutnya. Padahal, saya berharap setiap masalah yang muncul bisa diselesaikan saat itu juga. Saya bukan egois, tapi selalu menawarkan agar dia juga mengeritik atau menyalahkan saya, jika ada sesuatu yang membuat dia jadi begitu.
Sementara, suami saya sering cuek dengan keadaan dan enggak mau pusing terhadap sesuatu. Anehnya, dia selalu melakukan tindakan yang akhirnya membuat dia pusing sendiri, karena perubahan sikapnya mengundang protes dari saya. Karena bingung menghadapi suami, terkadang saya mengeluarkan kata-kata kasar untuk meluapkan emosi.
Dia pernah memukul saya dengan baju yang dihadiahkan temannya ke arah saya sebanyak tiga kali. Tindakan itu sungguh membuat hati saya semakin hancur dan tidak mengenal pribadinya lagi. Ada apa dengan dia, ya Bu? Tahu tidak, ketika saya minta maaf melalui telepon atas kata-kata saya yang kasar, dia malah protes tanpa mau memahami sebabnya, kenapa saya berkata demikian. Dia baru minta maaf sehari berikutnya.
Kondisi seperti ini sangat mempengaruhi mental dan fisik saya. Saya depresi Bu, terutama ketika mengurus anak-anak, serta menghadapi rutinitas di kantor. Saya lalu berpikir untuk mengakhiri saja semuanya dan mengajaknya berunding, apa sebenarnya yang dia inginkan. Di luar dugaan, ternyata pengakuan suami membuat saya benar-benar down. Suami bilang, "Aku tak suka pergaulanku dibatasi, terlalu diperhatikan, diatur, dan ditanya-tanya setiap mau pergi. Aku tahu, kok, jalan pulang ke rumah. Tahu membedakan mana yang baik dan buruk!"
Rumah tangga macam apa ini, Bu? Mana ada istri memberi kebebasan pada suami yang gelagatnya selalu mencurigakan? Apalagi kami pernah bertengkar, gara-gara foto seorang gadis (ABG) yang tidak saya kenal bergaya di ponselnya. Dia sangat marah saat saya menanyakan siapa gadis itu. Padahal, saya bertanya dengan nada biasa-biasa saja dan sambil tersenyum. Wajar, kan, jika kecurigaan saya makin besar?
Suatu hari saya tanya ke suami, kenapa ponselnya dikunci, eh dia marah. Tapi Tuhan sayang sama saya, tiba-tiba ponselnya berbunyi saat ada di genggaman saya. Ternyata ada SMS dari gadis yang saya curigai itu. Lalu, saya berikan ponsel itu ke suami agar dia membalasnya. Di layar ponsel itu sempat saya baca SMS, "Sedang apa Papaku?" Dengan cepat, suami menghapus SMS itu. Setelah saya tanya, barulah ia mengaku, gadis itu pacarnya, dan dia mencintainya. Setelah kami berunding lagi, suami memutuskan untuk menghentikan perselingkuhanya dan mau kembali kepada anak dan istri. Demi anak-anak, saya memaafkannya.
Belum sembuh luka tadi, suami tertangkap basah oleh saya sendiri. Dia bermalam di hotel untuk mengetes kejantanannya yang sudah beberapa bulan ini tak berfungsi, akibat stres menyembunyikan perempuan lain di belakang saya. Padahal, saya selalu memberi dia semangat. Meski dalam keadaan impoten seumur hidup pun, saya akan terima, asal dia mau mengubah sikap dan tidak mengulangi perselingkuhannya. Bahkan, saya terkadang membantunya, seperti bertingkah laku bak pelacur, agar dia bergairah lagi dan pernah berhasil hingga ejakulasi. Malah, suami saya mengaku, tidur dengan pelacur tidak membuatnya mengalami ereksi sama sekali, karena diburu rasa bersalah. Sekali lagi, demi keutuhan rumahtangga, saya mengajaknya berobat ke dokter. Sialnya lagi, setelah kejadian itu, suami bukannya mengobati luka di hati saya. Dia malah menambah luka dengan sikapnya yang dingin. Mungkinkah karena semua kedoknya selalu ketahuan, ya Bu? Atau, dia tidak mencintai keluarganya lagi? Karena penasaran, saat dia minta berhubungan, saya tolak dengan halus. Saya beralasan, tidak terlalu menuntut itu jika dia memang belum bisa. Tapi ternyata dia mampu, meski belum maksimal.
Sejak itu saya sering mendekatinya dan memintanya untuk memanjakan saya. Tapi, Bu, terkadang dia menolaknya dan itu menyakitkan. Bahkan, dia pun menolak untuk bercumbu, padahal saya tahu persis kini dia sudah normal. Coba bayangkan, Bu, bagaimana rasanya menatap suami yang dingin dan cuek seperti itu, sementara hati saya sudah hancur akibat perselingkuhannya. Saya, toh, juga membutuhkan nafkah batin. Masih terobsesikah dia pada gadis itu, Bu?
Saya bukan menyombongkan diri, Bu. Di kantor, kepribadian saya termasuk yang dikagumi teman-teman, wajah tidak mengecewakan, dan kata teman-teman, penampilan saya pun terbilang oke. Itulah yang terkadang membuat saya kecewa dengan suami. Cukup kuat saya menjaga kesetiaan di antara kesepian-kesepian saya, tapi dia malah mengabaikan, bahkan meremehkan saya.
Ibu, tolonglah saya. Apakah rumah tangga kami masih bisa dipertahankan? Apakah lebih baik kami tinggal terpisah saja (suami tak usah pulang ke rumah) untuk sementara waktu, sampai kami bisa merasakan, apakah masih saling membutuhkan atau tidak. Saya betul-betul bingung, Bu. Akankah trauma masa lalu ini terwariskan ke anak-anak saya? Terima kasih, Bu.
R - Makasar
Bu R,
Tentu saja rumah tangga Anda dapat dipertahankan jika Anda dan dan suami bersedia membuat kesepakatan-kesepakatan baru dan utamanya memperbaiki kualitas komunikasi di antara Anda berdua. Dari gambaran yang Anda berikan tampaknya erosi kepercayaan kepada pasangan di dalam perkawinan Anda sudah memasuki taraf parah. Ibarat tanah, ia sudah menunjukkan gejala longsor, banjir, dan sebagainya, akibat "penggundulan" seperti yang kita alami sekarang ini. Bila pada tanah, yang digunduli adalah hutannya, maka pada perkawinan, perilaku yang mencederai komitmen itulah yang menggunduli rasa saling percaya yang ada. Saya berani mengatakan sudah parah, karena ini sudah berdampak pada kemampuan suami untuk melakukan kewajibannya memenuhi kebutuhan biologis Anda, sehingga ia mengalami disfungsi ereksi. Saat ia melakukan perselingkuhan, sebenarnya suami, seperti yang suami Anda tahu, dia melakukan kesalahan dan pengkhianatan.
Sebab, pada dasarnya dia masih memiliki rasa cinta, menyayangi Anda dan anak-anak, dan ada perasaan bersalah yang menghantui dirinya. Nah, ini adalah fase kritis bagi seorang pria. Karena, jika istrinya lalu cenderung menyalahkan dan menyudutkan dia terus-menerus atas kesalahan yang dilakukannya, di alam bawah sadarnya akan tumbuh sebuah keyakinan: dia tak cukup baik untuk istrinya.
Kondisi ini menyebabkan dia resah, marah, dan terutama bingung, saat harus berhubungan intim dengan istrinya. Dia merasa dirinya buruk dan tidak selevel dengan istrinya, yang lalu terasa jauh lebih baik dari dirinya. Kemudian, ini menyebabkan dia minder dan berdampak pada menurun atau hilangnya kejantanan. Sementara, bila ia berhubungan dengan perempuan lain, tak ada perasaan-perasaan tadi, sehingga ia lancar-lancar saja berhubungan seks.
Rumit, ya? Terutama untuk sang istri, di satu sisi tak mendapat nafkah batin, tetapi di sisi lain istri tahu, jika diyakinkan dan disayang-sayang, suami akan bisa berfungsi. Di saat yang sama, istri masih marah dan kesal pada suami. Wah, bertubi-tubi ya, dan rasanya, kok, istri terus yang harus menanggung semua ini. Padahal, siapa yang salah? Suami, kan?
Nah, inilah hal kedua yang mau saya sampaikan pada Anda, Bu R. Selama harus ada pihak yang salah dan ada yang ingin benar, komunikasi yang terjadi hanyalah pertukaran pernyataan-pernyataan negatif belaka. Karenanya, perasaan yang menyertai pun, yang negatif. Bagaimana bisa merasa nyaman dan hati senang jika yang kita lontarkan pernyataan, "Abang memang buaya darat. Tidak bisa dipercaya, check in di hotel hanya untuk membuktikan kejantanan. Buktikan dengan saya, dong! Buat apa buang uang?" Pernyataan-pernyataan seperti ini, ditambah besarnya kebutuhan pada diri Anda untuk membuatnya mengakui bersalah, tentu akan memicu kemarahannya. Apalagi sih, Bu yang akan dilakukan laki-laki jika sudah terpojok, pastinya marah, bukan? Lalu, apakah kemarahan, yang akhirnya membuat Anda juga marah, lalu memecahkan masalah? Tidak, Bu R. Taruhlah suami mengaku, pasti Anda akan marah juga kan? Cuma kali ini, yang Anda katakan adalah, "Teganya Bapak ini!" Jadi, belajarlah mengendalikan emosi ya Bu, berpikir serta bertindak untuk sebuah solusi, bukan memperpanjang pertengkaran. Sudah jelas dia, kok, yang salah, enggak usah dipertegas lagi.
Bila Anda kasihan pada anak-anak, masih cinta padanya, dan ingin mempertahankan perkawinan, peliharalah tekad yang sangat baik ini dengan fokus pada upaya untuk terlebih dahulu membangun kembali landasan kepercayaan antara Anda berdua. Dengan bersama-sama, Anda berdua berpeluang lebih happy ketimbang perang terus. Berhentilah memata-matai dan mengata-ngatai dia. Ceritakan perasaan Anda saat dia bertelepon dengan WIL (Wanita Idaman Lain)-nya, saat Anda susah payah membantunya ereksi dan berhasil, serta saat Anda menginginkan agar ia tetap jadi suami anda. Berdiskusi tentang perasaan dan harapan Anda, akan lebih manfaat ketimbang hanya menilai perilakunya dan menyuruhnya "mengunyah-ngunyah" terus rasa bersalahnya terhadap Anda, apalagi menyuruhnya mengingat-ingat betapa sudah bersalahnya dia pada Anda. Susah memang Bu, tetapi jika Ibu tahu kelak akan berbuah baik, di tahapan ini Anda akan mau bekerja keras untuk membuat suami yakin, dengan kembali kepada Anda, merupakan keputusan terbaiknya.
Berbuatlah bagi masa depan keluarga yang telah belasan tahun serta susah payah dibina bersama ini. Jangan lupa, perbanyak melakukan aktifitas bersama anak-anak, terutama dalam menjalankan ritual agama yang Anda anut. Indah sekali jika suami kemudian benar-benar bisa berperan sebagai pemimpin istri dan anak-anaknya, di dalam segala bidang kehidupan, termasuk saat beribadah. Jangan putus asa ya Bu, jadikan pengalaman masa kecil Anda sebagai acuan untuk membuat anak-anak tak perlu mengalami apa yang dulu Anda alami. Salam manis.