Bersama band yang digaunginya saat itu, "Pick Buzz", Aris keluar sebagai vokalis terbaik. "Senang dan bangga banget. Waktu itu, pihak sekolah langsung memberiku piala. Namanya juga masih remaja, saat itu bukan main senangnya ketika pertama kali menjunjung piala. Nah, sejak itulah, aku mulai sering berpikir, gimana caranya aku bisa serius di dunia musik," kata Aris mengenang.
Di sisi lain Aris sadar, ayahnya, Silop Runtuwene, kewalahan membiayai sekolahnya dan ketiga saudaranya, Firman, Alvino dan Amta. Gaji bulanan Silop yang sehari-hari bekerja di PT Asahimas saja kian hari kian tak cukup untuk makan sehari-hari.
Melihat kenyataan hidup ini, Aris menuturkan, ia harus bertindak cepat demi bertahan hidup. Kesukaan dengan dunia musik dan ketrampilannya bermain gitar membawa Aris ke kehidupan di jalanan. Mulailah ia memetik gitar dari satu mobil ke mobil lainnya di daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur.
"Waktu itu, sehari dapat Rp 10.000. Karena enggak biasa ngamen dan cari uang, aku langsung pakai untuk jajan. Rasanya, puas sekali. Jumlahnya sudah cukup besar pada waktu itu," jelasnya menerawang.
Sejak saat itu, Aris akrab dengan debu jalanan daripada di rumah. Apalagi setelah ia tak lagi bersekolah. Sehari-hari, ia habiskan waktu mengamen di kereta api dan bis. Bahkan tak jarang karena kecapekan dan malas pulang ke rumah di Cakung, Aris memilih tidur di rumah temannya, di daerah Kota. "Padahal waktu itu, penghasilanku sudah lumayan mulai dari Rp 50.000,- hingga Rp 100.000. Biasanya aku serahkan semuanya kepada ayah dan ibu," kata Aris.
Penghasilan itu tak sedikitpun membuat Aris berpikir untuk biaya bersekolah lagi. Menurut dia, kehidupan yang keras di jalanan sedikit banyak telah memberikan pelajaran berharga lain, termasuk menyalurkan hobinya bernyanyi. "Bukannya aku enggak mementingkan pendidikan.