Senin pagi di SMP Nurul Ikhsan yang terletak di kawasan Cakung, Jakarta Timur, sepuluh tahun silam. Waktu itu, seluruh murid, guru dan para karyawan sekolah sedang khidmat mengikuti upacara bendera. Tiba tiba terdengar suara "Gedubrakkk" dari sebuah ruangan kelas.
Sontak, upacara bendera terhenti dan suasana jadi kacau. Di tengah keriuhan suara murid-murid, pandangan seluruh mata tertuju kepada empat bocah yang terjatuh dari atas loteng kelas itu.
Salah seorang murid itu adalah Januarisman Runtuwene atau yang biasa disapa Aris atau kini dikenal sebagai Aris "Idol". Bersama ketiga temannya, Aris tak sempat melarikan diri, karena Kepala Sekolah langsung datang menghampiri seraya menyeret mereka ke halaman sekolah.
Di depan tatapan murid-murid dan para guru, Aris dan ketiga temannya tak berkutik saat menjalani hukuman. 'Dosa' yang mereka lakukan yakni ketahuan tidak mengikuti upacara dan bersembunyi di loteng kelas, harus dibayar saat itu juga.
"Malunya minta ampun. Apalagi, waktu itu Kepala Sekolah langsung memangkas rambut kami satu persatu. Mending kalau dibotakin abis. Beliau malah membuat model enggak beraturan. Sebelah kepala kiriku botak, sebelah kanannya tidak. Kocaknya, tiap anak, punya model potongan yang beda-beda. Bener-bener enggak bisa terlupakan," ucap Aris menceritakan kejadian berkesan itu diiringi tawa (31/7).
Dilarang Mabuk Namun, bukan Aris "Idol" namanya kalau ia tidak pintar mengundang simpati. Tak berapa lama setelah "Insiden Loteng" itu, Aris sukses mengambil hati bapak-ibu guru dan teman-temannya dengan menjuarai pentas seni (pensi) di sekolahnya.
Bersama band yang digaunginya saat itu, "Pick Buzz", Aris keluar sebagai vokalis terbaik. "Senang dan bangga banget. Waktu itu, pihak sekolah langsung memberiku piala. Namanya juga masih remaja, saat itu bukan main senangnya ketika pertama kali menjunjung piala. Nah, sejak itulah, aku mulai sering berpikir, gimana caranya aku bisa serius di dunia musik," kata Aris mengenang.
Di sisi lain Aris sadar, ayahnya, Silop Runtuwene, kewalahan membiayai sekolahnya dan ketiga saudaranya, Firman, Alvino dan Amta. Gaji bulanan Silop yang sehari-hari bekerja di PT Asahimas saja kian hari kian tak cukup untuk makan sehari-hari.
Melihat kenyataan hidup ini, Aris menuturkan, ia harus bertindak cepat demi bertahan hidup. Kesukaan dengan dunia musik dan ketrampilannya bermain gitar membawa Aris ke kehidupan di jalanan. Mulailah ia memetik gitar dari satu mobil ke mobil lainnya di daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur.
"Waktu itu, sehari dapat Rp 10.000. Karena enggak biasa ngamen dan cari uang, aku langsung pakai untuk jajan. Rasanya, puas sekali. Jumlahnya sudah cukup besar pada waktu itu," jelasnya menerawang.
Sejak saat itu, Aris akrab dengan debu jalanan daripada di rumah. Apalagi setelah ia tak lagi bersekolah. Sehari-hari, ia habiskan waktu mengamen di kereta api dan bis. Bahkan tak jarang karena kecapekan dan malas pulang ke rumah di Cakung, Aris memilih tidur di rumah temannya, di daerah Kota. "Padahal waktu itu, penghasilanku sudah lumayan mulai dari Rp 50.000,- hingga Rp 100.000. Biasanya aku serahkan semuanya kepada ayah dan ibu," kata Aris.
Penghasilan itu tak sedikitpun membuat Aris berpikir untuk biaya bersekolah lagi. Menurut dia, kehidupan yang keras di jalanan sedikit banyak telah memberikan pelajaran berharga lain, termasuk menyalurkan hobinya bernyanyi. "Bukannya aku enggak mementingkan pendidikan.
Tetapi keadaan yang memaksaku begini. Aku pikir mengamen lebih banyak memberikan manfaat daripada tetap bersekolah. Aku jadi bisa cari uang sambil terus bernyanyi," ucapnya.
Tapi belakangan Aris mulai menyadari kekeliruannya itu. Seperti sekarang, ia setengah mati menghafal lirik lagu berbahas Inggris. "Enggak ada cara lain. Aku harus konsentrasi. Susah dan repot sih. Tapi biar tambah mantap, aku baca doa dulu di balik panggung," ungkapnya.
Sebagai remaja yang tumbuh di jalanan dan masih labil saat itu, Aris mengaku dirinya kerap tak mampu menahan godaan dari lingkungannya. Ia biasa menghabiskan waktu bersama Yoyo, Ucok, Icong, dan Richard.
"Masa-masa seperti ini yang tidak pernah aku lupakan. Susah dan senang selalu bersama. Mulai dari ngamen, mabuk, ngamen, mabuk. Begitu terus. Sampai akhirnya suatu hari ayah mengetahui kelakuanku. Aku dihukum enggak boleh pulang kalau sedang mabuk," ujar Aris lirih.
Aris sadar dirinya tengah terbawa arus kehidupan anak jalanan. Kehidupan yang keras dan penuh dengan perlakuan semena-mena dari orang sekitar sudah menjadi "makanan" baginya setiap hari.
Ari Dwi Astuti