GMITS, Klinik Laparaskopi Pertama Di Indonesia

By nova.id, Rabu, 29 April 2015 | 04:11 WIB
GMITS Klinik Laparaskopi Pertama Di Indonesia (nova.id)

Tabloidnova.com - Surabaya tercatat sebagai kota pertama di Indonesia yang memiliki klinik khusus penanganan bedah kandungan dengan teknik minimal invasif atau laparaskopi. Klinik yang diberi nama Gynecologic Minimally Invasive Treatment Surabaya (GMITS) di-launching di Rumah Sakit Bedah Surabaya (RSBS) Sabtu (25/4).

"Selama ini laparaskopi hanya menjadi salah satu bagian dari bidang kebidanan dan kandungan pada rumah sakit, tetapi belum ada klinik yang mengkhususkan diri menggunakan laparaskopi dalam melakukan penanganan bedah kandungan," kata dr. Relly Yanuari Primariawan, SpOG (K) yang menggagas berdirinya GMITS tersebut.

Relly yang menggandeng dr. Hari Nugroho, SpOG sebagai partnernya menjelaskan bahwa berdirinya GMITS memiliki tujuan utama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik kepada masyarakat, khusunya di bidang bedah kandungan.

Staf pengajar fakultas kedokteran Universitas Airlangga tersebut menguraikan, ia berusaha mengembangkan laparaskopi karena banyak manfaat yang didapatkan oleh pasien. Untuk melakukan tindakan operasi, misalnya pengangkatan rahim, tumor kandungan, mioma, kista, dan lainnya, tidak perlu dilakukan sayatan selebar 10-20 cm seperti pada operasi laparatomi atau cara konvensional, tetapi cukup dilakukan sayatan di tiga atau empat titik sepanjang 0,5 hingga 1 cm di bagian perut. "Irisan pertama fungsinya memasukkan alat teleskop yang disambungkan ke layar monitor sebagai panduan dokter untuk melihat bidang operasi, irisan berikutnya untuk memasukkan alat kedokteran, seperti pisau bedah, penjepit, benang, serta jarum untuk menjahit," papar Relly yang dalam seminar membuat takjub para peserta dengan memperlihatkan video saat dirinya melakukan pengangkatan mioma seorang pasien dengan laparaskopi.

GMITS Klinik Laparaskopi Pertama Di Indonesia (nova.id)
GMITS Klinik Laparaskopi Pertama Di Indonesia (nova.id)

"Foto: Dok Pri "

Sementara dr. Hari Nugroho, SpOG menguraikan, Indonesia seharusnya mulai meninggalkan teknik konvensional kemudian beralih ke laparaskopi seperti yang sudah dilakukan oleh negara tetangga. "Sebagai perbandingan, saat ini di Vietnam, Singapura, dan Malaysia, 80-90 persen operasi bedah kandungan telah menggunakan laparaskopi, sementara di Indonesia kurang dari 10 persen," jelas Hari yang menambahkan bahwa hanya dalam kasus-kasus tertentu saja memang masih harus menggunakan teknik konvensional.

Relly menambahkan, saat ini dokter spesialis kebidanan dan kandungan di seluruh Indonesia berjumlah sekitar tiga ribu orang, tetapi yang fokus melakukan laparaskopi hanya sekitar 30 orang. "Jadi misi besar kami mendirikan GMITS ini selain memberikan alternatif yang lebih baik bagi masyarakat, sekaligus bisa menjadi pemicu kepada tenaga medis yang lain untuk melakukan hal serupa," ujar Relly yang menjelaskan bahwa berdirinya GMITS merupakan impiannya sejak 10 tahun lalu.

MIOMA TERBESAR

Salah seorang pasien yang merasakan manfaat dari teknik laparoskopi adalah Enis Sukmonowati (44) yang pada saat launching GMITS sempat memberikan testimoni di depan puluhan peserta seminar. Cerita Enis memang cukup membuat peserta seminar terperangah, mengingat miom seberat 2,8 kilogram yang berhasil diambil dari rahimnya oleh dr. Relly dinyatakan sebagai mioma terbesar yang pernah ada di Indonesia. "Dulu sebelum mioma itu diangkat, perut saya memang besar seperti ibu hamil," kata Enis yang datang bersama suaminya, Antonius.

Enis yang tinggal di Surabaya menceritakan bahwa pertama kali dirinya mengetahui bahwa terdapat miom di rahimnya pada tahun 2008. Saat itu Enis periksa di salah satu dokter kandungan di Surabaya.  "Waktu itu saya mau periksa karena empat tahun setelah perkawinan kok belum punya keturunan juga. Setelah diperiksa baru diketahui jika di rahim saya terdapat miom," kata Enis yang juga seorang apoteker tersebut.

Karena tidak merasakan sakit dia tetap tenang dan berharap kelak akan menyusut sendiri. Selain itu, pada saat itu dokter kandungan tersebut juga tidak menyarankan untuk dilakukan operasi. Baru di tahun 2009, ketika dirinya akan mengikuti program kehamilan, diketahui bahwa juga terdapat kista di rahimnya. "Cuma kalau kista tidak seberapa besar Cuma sekitar 4 cm," ceritanya.

Setahun kemudian, Enis melakukan kontrol ulang ke dokter dan diketahui miomnya makin membesar hingga seukuran janin berusia 3 bulan, sementara kistanya tidak berkembang. Pada tahun 2012, setelah miomnya makin membesar, dirinya datang lagi ke dokter dan disana diketahui miomnya mencapai ukuran 15 cm. Mengingat ukuran miom yang sudah besar, dokter yang melakukan pemeriksaan meminta dilakukan pengangkatan miom sekaligus rahimnya. "Tapi saya keberatan, sebab saya berharap mioma itu akan menyusut secara alami. Apalagi saya sendiri kan belum punya keturunan," imbuhnya.

Baru di akhir tahun 2014, di saat perutnya makin membesar, Enis menemui dr. Relly untuk minta dilakukan pengangkatan. "Saya bersyukur ternyata meski miom saya begitu besar, dr. Relly ternyata bisa melakukan operasi pengangkatan dengan laparaskopi tanpa harus mengangkat kandungan saya," kata Enis makin terkejut setelah mengetahui bahwa miom yang diangkat ternyata terberat yang pernah ada di Indonesia.

 Gandhi Wasono M. / Tabloidnova.com