Lifia Teguh "Tarian Jawa" Juara di Italia

By nova.id, Minggu, 11 Maret 2012 | 22:23 WIB
Lifia Teguh Tarian Jawa Juara di Italia (nova.id)

Lifia Teguh Tarian Jawa Juara di Italia (nova.id)
Lifia Teguh Tarian Jawa Juara di Italia (nova.id)
Lifia Teguh Tarian Jawa Juara di Italia (nova.id)

"Saat menjadi finalis The Indonesia Pusaka International Piano Competition 2011 yang diselenggarakan Kemenbudpar Indonesia. Lifia bersama finalis lain diterima Presiden SBY dan Bu Ani di Istana Negara. Lifia dan sang ibu pun sempat bertemu Menteri Hatta Radjasa dan istri.(Foto: Dok Pri) "

Mengapa tertarik pada piano?

Saya mulai belajar piano sejak usia sekitar 3 tahun. Awalnya karena melihat Kakak, Hansen (21), belajar piano. Dasar anak kecil, apa saja yang dimainkan Kakak bikin saya jadi pengin ikutan main. Akhirnya saya disekolahkan di sekolah musik yang sama dengan Kakak, tapi beda pengajar.

Lalu sejak kapan mulai ikut kompetisi?

Kalau tidak salah sejak usia 4 tahun. Awalnya hanya mengikuti kompetisi piano di sekolah musik. Lama-lama, saat di Taman Kanak-kanak (TK), saya mulai berani ikut kompetisi untuk level se-Surabaya. Selanjutnya, waktu kelas 2 SD sempat ikut kompetisi Queensland Piano Competition di Australia (2003). Tapi karena saya masih terlalu kecil, jadi saya belum boleh menang. Itu event internasional pertama yang pernah saya ikuti.

Pengalaman apa yang didapat dari kompetisi itu?

Karena waktu ikut event itu saya masih kecil sekali, jadi saya masih belum bisa menguasai rasa grogi atau gugup. Apalagi saat itu saya kebetulan tampil di nomor urut satu. Jadi sepertinya, wah... Sayang juga, sih, tidak bisa menang. Tapi mau bagaimana lagi?

Lalu? 

Pada 2006 saya juga pernah mengikuti IBLA Indonesia International Competition. Kompetisi ini sebenarnya berasal dari Italia, tapi diselenggarakan juga di berbagai negara di dunia. Di kompetisi ini saya ikut tiga kategori berbeda: solo, duet, dan trio. Untuk solo saya juara 3, untuk duet juara 2, sedangkan untuk trio saya juara 1. Di event ini saya juga meraih penghargaan khusus untuk kategori lagu modern.

Nah, pada 2009 saya ke Italia mengikuti semacam master class, yang sebenarnya juga diikuti dengan lomba. Saya berkeliling ke 4 kota di Italia untuk berguru piano kepada para master piano di sana. Selain berguru, dalam master class ini saya juga diwajibkan tampil setelah mendapatkan materi dari setiap master. Saat tampil, peserta diwajibkan membuat konsep yang mencirikan khasnya negara masing-masing.

Apa yang ditampilkan di master class itu?

Saya berpikir, daripada membawakan lagu Indonesia, kenapa tidak menciptakan lagu sendiri saja yang memang khas budaya Indonesia. Dan saat itu gurunya memberi semangat. Lalu saya coba ciptakan sebuah komposisi yang ada suara gamelannya. Judulnya Tarian Jawa. Saya memang ingin menonjolkan budaya Indonesia.

Saat konser di beberapa kota di Italia itu, saya tidak mungkin bawa alat gamelan. Saya berpikir lagi bagaimana caranya agar bisa menciptakan suara gamelan hanya menggunakan piano. Akhirnya saya meletakan beberapa benda di atas string piano.

Oh ya?

Untuk mendapatkan suara krincing-krincing dari piano. Saya menaruh kunci, tapi, kok, suaranya aneh? Lagi pula kunci, kan, berat. Takut string pianonya putus. Lalu saya coba pakai lonceng. Asumsinya, lonceng bisa mengeluarkan suara krincing-krincing. Nyatanya, string piano malah tidak bisa bunyi. Lalu saya letakkan gelang tangan untuk tari remo.

Untuk memperoleh suara bonang, awalnya saya taruh kertas dan kaleng. Lagi-lagi suaranya aneh. Malah tidak merdu sama sekali. Lalu saya iseng menaruh kipas lipat yang terbuat dari kayu cendana. Saya juga menaruh sendok, bola pingpong, dan kotak permen untuk mendapatkan suara alat-alat gamelan lainnya. Dari penampilan saya di 4 kota di Italia: Villa Crisicione, Piazza Pola Ragusa, Cessena, dan Rimini, setelah ditotal saya berhasil jadi juara umum.

Bagaimana respons penonton?

Orang bule, kan, sebenarnya suka yang etnik-etnik. Mereka jadi penasaran bagaimana saya bisa mendapatkan suara semacam itu. Seusai pementasan, penonton naik ke panggung. Mereka mengintip pianonya. Oh, ternyata barang-barang itu tho yang bikin bunyinya jadi berbeda. Mereka terheran-heran ha ha ha...

Pernah bosan main piano?

Rasa bosan tentu saja ada. Bahkan pernah suatu kali saya benar-benar tak mau menjamah piano. Waktu itu saya akan mengikuti sebuah kompetisi pada 2008. Mempersiapkannya rasanya berat sekali dan terburu-buru. Setelah kompetisi saya merasa, aduh bosan juga pegang piano. Apalagi saat itu usia saya masih kecil. Rasanya belum siap untuk menerima beban berat.

Bagimana mengatasinya?

Berjalan dengan sendirinya. Soalnya lama-lama kalau tidak pegang tuts piano, jari-jari ini rasanya gatal juga. Apalagi sekitar lima tahun ke belakang ini banyak kompetisi yang lumayan bermutu. Ini bisa dilihat dari materi yang harus dipersiapkan peserta dan juri-jurinya. Lebih menantang lah. Jadi saya harus lebih banyak berlatih lagi.

Kompetisi apa yang jadi obsesi selanjutnya?

Ada kompetisi internasional bergengsi namanya Chopin International Competition. Kalau tidak salah, kategorinya untuk usia tertentu. Sampai saat ini saya memang belum bisa ikut. Untuk mengikuti kompetisi ini, ibaratnya asupan gizi saya masih kurang. Ya, nanti saja kalau saya sudah benar-benar matang.

Akan konsisten di jalur klasik? 

Saya memang cenderung ke klasik. Tapi kalau ada acara sekolah seperti malam kesenian, saya biasa juga mengiringi paduan suaranya, mengiringi teman-teman menyanyi. Musik pop sebenarnya senang juga. Tapi demi kepentingan akademis, menurut saya, dikuatkan dulu klasiknya. Musik klasik merupakan dasar-dasar untuk belajar piano. Sehingga bila klasiknya sudah bisa dikuasai, akan lebih mudah berkembang untuk masuk ke aliran musik lainnya.

 Amir Tejo