Tommy Utomo Sahabat Penyanyi & Musisi (1)

By nova.id, Selasa, 21 Desember 2010 | 17:01 WIB
Tommy Utomo Sahabat Penyanyi Musisi 1 (nova.id)

Tommy Utomo Sahabat Penyanyi Musisi 1 (nova.id)
Tommy Utomo Sahabat Penyanyi Musisi 1 (nova.id)

"Tommy sering minta istrinya untuk mendengarkan hasil garapannya (Foto: Daniel Supriyono) "

Apa, sih, yang dikerjakan seorang sound engineer seperti yang Anda tekuni?

Secara sederhana, saya membantu musisi atau artis untuk menciptakan sesuatu, entah album atau lagu. Dalam produksi itu ada tiga tahap yaitu recording (rekaman), mixing (biasanya untuk menyimpulkan lagu mau dibawa ke mana, mau jadi lagu riang atau sedih), mastering (pemolesan lagu agar terdengar lebih bagus lagi). Nah, sound engineer (SE) itu mencakup ketiganya.

Misalnya sebuah grup band mau bikin album rekaman. Sebelumnya mesti dilakukan workshop, yang biasanya juga diikuti SE. Saya ingin tahu, apakah band itu siap rekaman atau tidak. Nah, kami siapkan semuanya. Setelah semuanya siap, kami tentukan hari rekaman yang disesuaikan dengan mood pemain band. Karena kami ingin menciptakan magic lagu. Lagu yang enak, kan, tidak ada rumusnya. Kami orang-orang industri rekaman, menyebutnya sebagai magic.

Ketika mereka rekaman, saya menjadi salah satu penentu apakah magic lagu itu sudah tertangkap atau belum. Saya, kan, berada di balik ruangan. Habis rekaman, lanjut ke step berikutnya mixing. Selain menjadi SE di studio, belakangan saya juga kerap jadi SE untuk acara di luar studio.

Sejak kapan menekuni profesi SE?

Saya memulainya tahun 1996, tapi mencoba lebih profesional setelah tahun 1999 dan saya masuk Musica Studio. Lalu, tahun 2001 sampai sekarang, saya bergabung dengan Aquarius. Selama ini, saya sudah banyak menangani rekaman penyanyi atau grup band. Sejak tahun 2005 sampai sekarang, saya lebih banyak mengerjakan mixing. Intinya, merangkai semua instrumen menjadi lagu yang enak didengar,

Selain soal selera, mixing engineer harus memahami aransemen lagu. Itu yang paling penting. Maka itu, mixing engineer biasanya berlatar belakang musisi. Kebetulan saya dulu juga pemain piano.

Oh, rupanya Anda juga musisi?

Sejak TK saya memang suka musik. Saya kursus musik anak-anak, yaitu pengenalan alat musik pada anak-anak. Bagus sekali. Anak-anak bergabung di satu ruangan, dan dibebaskan memilih alat musik yang mereka sukai. Wah, senang sekali. Lalu, sejak SD saya belajar electone di Yayasan Musik Indonesia dan bergabung dengan sekolah musik Farabi. Pengalaman belajar musik ini saya manfaatkan dengan main band bersama teman-teman sejak SMP sampai SMA.

Saya sempat kuliah di sebuah universitas di Adelaide, Australia tahun 1992. Semula saya mengambil Marketing. Ternyata, saya salah masuk. Saya kesulitan memahami kuliah. Selanjutnya, saya mencari kampus yang mata kuliahnya saya sukai. Saya pun masuk sekolah audio engineering.

Baru tiga bulan belajar, gurunya mengatakan, audio itu tidak ada peraturannya. Alat audio seperti mikrofon dan seterusnya yang sekarang kualitasnya bagus, sebenarnya berangkat dari rumus yang salah. Untuk menjadi penata suara, tidak ada peraturan baku, "Kamu belajar berdasarkan trial and error."

Apa yang kemudian Anda lakukan?

Daripada kuliah, mendingan uangnya digunakan membeli alat dan bisa belajar sendiri. Saya minta Bapak memberi kesempatan saya berkembang. Akhirnya saya beli alat digital audio. Saya terhitung orang ke-35 yang beli alat itu. Artinya komunitasnya sedikit.

Lantas, belajar dengan siapa?

Suatu kali saya kenal Bob Santoso, yang pernah ada di Jakarta Symphoni. Dia menyewa studio saya. Saat itu, ada proyek rekaman lagu salah satu bintang sinetron yang ingin jadi penyanyi. Wah, suaranya benar-benar kacau, banyak falsnya. Bintang wanita ini benar-benar enggak bisa nyanyi.

Saya menjadi asisten Bob selama dia mengerjakan proyek ini. Selama dua minggu Bob mengedit hampir tiap kata, mencoba membaguskan suaranya. Saya coba belajar dari sana, meski Bob pelit bagi ilmu.

Ketika dia pulang, saya coba buka file-nya dan saya putar lagi untuk membandingkan suara asli dengan yang setelah diedit. Saya terus belajar. Tapi, sesungguhnya kalau materinya enggak bagus, mau diapain juga tetap saja kurang bagus. Ha ha ha...

Henry Ismono / bersambung