DR. Lipur Riyantiningtyas: Serat Otot Seperti Gudeg (1)

By nova.id, Rabu, 8 Desember 2010 | 17:00 WIB
DR (nova.id)

DR (nova.id)
DR (nova.id)

"Saat Merapi "istirahat" erupsi, dr Lipur bersama rekan mengunjungi Desa Kinahrejo, melihat kondisi rumah Pak Udi yang sudah rata dengan tanah (Foto:Dok Pri) "

Apakah menjadi dokter cita-cita sejak kecil?

Awalnya saya malah enggak berniat jadi dokter. Saya inginnya bekerja di lapangan. Inginnya, saya punya pekerjaan yang bisa pakai jins dan kaus ke mana-mana. Malah saya sudah mendaftar di Fakultas Pertambangan dan diterima pula. Tapi saya tetap ikut UMPTN, eh, diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah jadi dokter, saya akhirnya tahu, kalau jadi dokter itu juga bisa asyik, kok. Bisa pakai jins dan kaus juga. Ha ha ha.

Kenapa memilih mendalami ilmu forensik?

Forensik itu paling menarik, menurut saya. Banyak hal yang bisa ditemukan ketika menghadapi jenazah. Banyak teka-teki yang harus dipecahkan. Kalau dokter biasa, kan, bisa langsung mendiagnosa. Kalau forensik, banyak yang harus dicermati. Seperti detektif saja. Kebetulan, sejak kecil saya senang baca buku yang berbau detektif-detektifan.

Jadi setelah saya lulus kedokteran dan sedang jadi co-ass, saya perhatikan jarang yang mau mengambil ilmu forensik, jadi regenerasinya enggak jalan. Akhirnya saya pikir, seru juga kalau mengambil forensik.

(Saat ini, dr. Lipur Riyantiningtyas menjabat sebagai Kepala Instalasi Kedokteran Forensik RS Sardjito Yogyakarta. Kariernya melesat cepat, dan merupakan dokter wanita pertama yang menjabat di posisi itu.)

Pernah merasa takut saat menjalankan tugas?

Kalau jijik atau seram, sih, enggak pernah, ya. Tapi, awal jadi mahasiswa, saya dijejali mata kuliah anatomi sampai enek. Bahkan waktu itu, saya sampai enggak mau makan gudeg berhari-hari. Soalnya, waktu belajar jaringan otot yang sudah busuk dan dibelah, ya, bentuknya berserat-serta seperti gudeg itu. Ha ha ha. Setidaknya itulah yang saya khayalkan.

 Akhirnya berapa hari saya enggak mau lihat gudeg sama sekali. Tapi setelah itu, biasa lagi. Semakin lama, saya jadi bisa memposisikan jenazah sebagai subyek, bukan obyek. Kalau saya perlakukan dia sebagai subyek, saya akan pakai rasa, tapi itu juga enggak baik. Itu yang terus menambah ketegaran saya. Tapi ada beberapa kasus yang jadi pengecualian, termasuk jika yang harus saya hadapi adalah jenazah bayi. Saya masih suka miris dan enggak tega.

Soal bau busuk jenazah, bagaimana?