Biskuit Berkrim Bisa Bikin Anak Sakit Jantung

By nova.id, Senin, 28 Maret 2011 | 17:03 WIB
Biskuit Berkrim Bisa Bikin Anak Sakit Jantung (nova.id)

Meskipun tak dilarang sama sekali, camilan seperti biskuit berkrim jelas harus dibatasi. Kalau tidak, bersiaplah menerima peluang terkena penyakit jantung.

Umumnya, anak-anak suka sekali biskuit berlapis krim. Selain rasanya yang manis atau gurih, kelembutan dan kelezatan aromanya membuat mereka tak mau berhenti ngemil. Asal tahu saja, rasa lembut itu berasal dari lemak semi padat berupa trans unsaturated fatty acid atau TFA. Pun, hampir semua bahan makanan dan makanan hasil olahan industri, seperti minyak goreng, margarin, mi instan, makanan siap saji, dan aneka pastry, menggunakan bahan TFA ini.

Mungkin, belum banyak yang tahu bahwa TFA merupakan salah satu bentuk dari asam lemak tidak jenuh. Selama ini kita mengenal lemak dalam dua jenis, yaitu lemak jenuh dan tak jenuh. Lemak jenuh dianggap kurang sehat karena bisa meningkatkan kadar kolesterol LDL (low density lipoprotein) atau kolesterol jahat dalam darah. Sebaliknya, lemak tak jenuh dianggap lebih aman.

Pendapat mengenai sifat aman lemak tak jenuh itu, menurut Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc., tidak sepenuhnya benar. Lebih jauh ia menjelaskan, secara molekuler lemak tak jenuh ini bisa berwujud dalam dua bentuk, yaitu lemak tidak jenuh cis dan trans. Nah, sifat asam lemak trans atau TFA ini disinyalir sama buruknya dengan lemak jenuh, bahkan bisa lebih buruk.

Akibat sinyalemen itu, kini asam lemak trans mendapat sorotan di beberapa negara, baik Amerika Serikat maupun Malaysia. Bahkan beberapa pakar di Amerika menyebutkan, TFA lebih buruk daripada asam lemak jenuh.

RISIKO KEBANYAKAN TFA

Menurut hasil penelitian 2 tahun terakhir, TFA yang dikonsumsi berlebihan secara terus-menerus bisa menyebabkan kadar kolesterol jahat atau di dalam darah meningkat tajam, sekaligus menurunkan kadar high density lipoprotein (HDL) atau kolesterol baik. "Dampak buruknya pada kesehatan, tidak saja berupa peningkatan risiko penyakit jantung koroner, tetapi juga kanker, diabetes, dan tekanan darah tinggi."

Hanya saja perlu dipahami, meningkatkan risiko tidak berarti secara otomatis menyebabkan penyakit. "Jadi, tidak semua orang yang kerap mengonsumsi TFA pasti terkena sakit jantung. Hanya risikonya jadi besar." Dampak itu pun, lanjut Purwiyatno, tidak akan langsung terbukti. Bisa setahun, dua tahun, bahkan mungkin 10 tahun kemudian, tergantung pada kondisi kesehatan dan pola hidup yang bersangkutan.

MENGENALI MAKANAN BER-TFA

Biasanya pada kemasan makanan yang mengandung TFA, dalam komposisinya tertulis: unsaturated trans, trans fatty acid, trans oil, hydrogenated oil, partially hydrogenated oil, atau hydrogenated soybeans oil. Memang, seperti diakui Purwiyatno, tidak sedikit produsen yang tidak mencantumkan kadar TFA dalam setiap produknya. Jadi, pelabelan akurasi komposisi sangat membutuhkan kerjasama yang baik dari pihak produsen.

"Terlebih, secara kasat mata makanan yang mengandung TFA dan yang tidak, sulit dibedakan dari fisiknya. Jadi, kita tidak bisa memvonis apakah makanan berkrim lembut atau yang rasanya gurih dan lezat pasti mengandung TFA atau tidak," ujarnya.

"Kita hanya bisa mencurigai jika makanan itu mengandung lemak, dan bahwa lemak itu cukup membahayakan. Namun, sampai sekarang justru pernyataan nonkolesterol dan pengaruh positif lemak tak jenuhlah yang sering ditonjolkan pada produk makanan. Padahal jauh lebih berarti jika di situ dicantumkan kandungan TFA. Mungkin sudah saatnya instansi kesehatan mempertimbangkan keberadaan dan kadar TFA di dalam produk makanan ini. Bagaimanapun, kandungan komposisi TFA hanya bisa diketahui dari uji laboratorium dengan tenaga ahli penguji yang khusus pula."