Skizofrenia: Bukan Kutukan, Bisa Disembuhkan

By nova.id, Rabu, 28 Agustus 2013 | 09:00 WIB
Skizofrenia Bukan Kutukan Bisa Disembuhkan (nova.id)

Skizofrenia Bukan Kutukan Bisa Disembuhkan (nova.id)

"Foto: Getty Images "

Tahukah Anda, sekitar 0,5% - 1% penduduk dunia menderita skizofrenia. Penyakit jiwa ini juga paling banyak muncul di usia produktif dan merupakan akumulasi dari banyak faktor. Secara statistik, perbandingan jumlah penderita skizofrenia laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Sementara itu, jumlah pengidap depresi perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 2:1.

Menurut Dr. Tun Kurniasih Bastaman, MD, Psychiatrist., Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, skizofrenia merupakan penyakit jiwa terberat dan kronis di mana penderita memiliki gangguan dalam memproses pikirannya. Alhasil, timbul halusinasi, delusi, pikiran yang tidak jelas, serta tingkah laku atau bicara yang tidak wajar.

Nah, gejala pertama skizofrenia biasanya muncul di masa remaja atau dewasa muda. Namun, ada pula yang baru muncul saat seseorang berusia di atas 40 tahun. "Gejala-gejala ini dikenal sebagai gejala psikotik yang menyebabkan penderita skizofrenia kesulitan berinteraksi dan menarik diri dari aktivitas sehari-hari dan dunia luar," jelas Tun. Bila periode awal psikosis ini tidak ditangani, gejala negatif akan memburuk. Artinya, intervensi sejak dini akan memberikan hasil yang lebih baik.

Kurang Motivasi

Secara medis, ada beberapa gejala skizofrenia. Pertama, gejala positif seperti delusi dan halusinasi. Delusi misalnya, menganggap diri sebagai utusan Tuhan dan memiliki keyakinan yang tidak sesuai realitas. Dan, halusinasi adalah pengindraan yang tidak sesuai rangsang indra. Misalnya, tidak ada rangsang suara, tapi merasa mendengar suara. Atau, melihat monster, liliput, atau iblis. "Orang dengan skizofrenia biasanya bisa menggambarkan apa yang mereka 'lihat'," jelas Tun.

Gejala kedua adalah gejala negatif yang meliputi anhedonia alias tidak memiliki perasaan nikmat atau senang, afekdatar alias tidak ekspresif atau raut datar, kurangnya motivasi, menarik diri, dan alogia atau kurangnya kemampuan bicara.

Orang dengan skizofrenia juga kurang motivasi, sehingga sering dianggap pemalas. "Orang dengan skizofrenia ibarat lilin yang hampir padam. Mereka tidak kreatif dan logikanya tidak nyambung," jelas Tun. 

Gejala lain adalah keterbatasan fungsi yang berhubungan dengan bekerja atau sekolah, hubungan interpersonal, dan kemampuan mengurus diri. Orang dengan skizofrenia juga mengalami defisit kognisi, seperti tidak ada perhatian, hilang memori, kelancaran kosa kata berkurang, dan kemampuan berbahasa yang sangat terbatas. Mereka juga mengalami disharmonisasi dalam hal berbicara dan berperilaku. 

Gangguan mood, seperti perasaan sedih, cemas, agresif, dan hasrat untuk bunuh diri adalah gejala berikut. "Biasanya, hasrat untuk bunuh diri ini muncul kepada orang-orang yang memiliki tingkat pendidikan agak tinggi. Mereka merasa sangat terganggu, putus asa dan ingin mati saja," lanjutnya. 

Menurut Tun, perasaan cemas bisa dibilang "cikal bakal" skizofrenia. Tentu saja, rasa cemas masih normal jika tidak mengganggu produktivitas dan kehidupan sehari-hari, justru bisa jadi motivasi. Perasaan sedih juga bisa menjadi awal depresi, yang merupakan gejala skizofrenia. Pasalnya, salah satu ciri depresi adalah tidak bisa dihibur. "Contohnya, jika seseorang sedih karena kehilangan uang, sedihnya akan hilang begitu uangnya diganti. Tapi, penderita skizofrenia tetap akan merasa sedih. "

Bisa Diobati

Skizofrenia tidak bersifat fatal dan tidak mengancam hidup secara langsung. Selain itu, skizofrenia sebetulnya bisa disembuhkan.  Apalagi, zaman sekarang pengobatan skizofrenia sudah berkembang pesat. Namun, kepatuhan pemberian obat tetap penting.

Sayangnya, pihak keluarga terkadang merasa penderita skizofrenia sudah sembuh dan menghentikan pemberian obat. Padahal, obat tetap diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan neurokimia, seperti halnya penderita diabetes atau hipertensi yang harus minum obat terus-menerus. 

Tun berharap teknologi dan pengetahuan yang makin maju bisa mendorong orang dengan skizofrenia kembali ke masyarakat, menjadi sehat sejahtera, dan kualitas hidupnya membaik. "Ini tujuan akhirnya, lighting the hope for schizophrenia," papar Tun. 

Kambuh Bila Tak Disiplin

Tidak ada satu pun penyebab pasti skizofrenia, sebab banyak faktor yang berkontribusi. Antara lain, kondisi pra-kelahiran, cedera otak, trauma, tekanan sosial, dan stres. Pemakaian narkotika dan obat-obatan psikotropika serta gangguan keseimbangan neurokimia di otak juga bisa menyebabkan skizofrenia.

Meski masih kontroversial, faktor genetis juga bisa menyebabkan skizofrenia. "Penelitian menunjukkan, mereka yang dilahirkan di musim dingin memiliki kemungkinan lebih tinggi menderita skizofrenia. Ini mungkin karena virus," jelas Tun. Tapi, hal yang lebih dikhawatirkan adalah pola asuh yang diterapkan ibu dengan skizofrenia kepada anak-anaknya. Misalnya, Si Ibu berkomunikasi dengan cara yang kurang tepat kepada anaknya. 

Ketika gejala skizofrenia bertambah buruk, episode-episode ini sering muncul berulang kali atau kambuh (relapse). Kekambuhan pun sulit dikendalikan dan semakin lama akan semakin parah. Selama masa kekambuhan ini, penderita skizofrenia sebaiknya dirawat di rumah sakit. 

Nah, ternyata penyebab terbesar kekambuhan adalah ketidakpatuhan pengobatan. "Data menunjukkan, 3 dari 4 pasien lalai minum obat dan lalai pengobatan sehari dalam setahun akan meningkatkan risiko untuk perawatan di rumah sakit," urai Tun.

Orang dengan skizofrenia sering dianggap penderita keterbelakangan mental. "Padahal, mereka sakit dan mereka bisa kembali produktif dengan pengobatan yang tepat, apalagi jika diagnosis dan pengobatan dilakukan sejak dini," papar Tun. Sayangnya, penderita skizofrenia malah sering kali dibawa ke pengobatan alternatif dan mengakibatkan pengobatan lebih sulit.

Hindari "Yes, But..."

Anak-anak juga bisa berisiko mengalami skizofrenia. Di antaranya, anak-anak yang susah bergaul, cenderung penyendiri, mudah cemas, dan sulit mengikuti pelajaran. Tapi, pengobatan untuk anak yang berisiko skizofrenia masih kontroversial sebab anak-anak tidak boleh dijadikan percobaan. "Lebih disarankan pendekatan psikologis dibandingkan obat-obatan. Misalnya, memperbaiki lingkungan dan pola asuh orangtua,"  kata Tun. 

Salah satu cara yang disarankan Tun, orangtua harus menjaga komunikasi agar anak tidak bingung dan depresi. "Ada yang disebut double bind yaitu kontrak komunikasi yang bertentangan," jelas Tun. Contohnya, saat anak meminta es krim, ibunya menjawab, "Boleh, tapi kalau kamu sakit, Ibu enggak mau urus kamu..." Bagi anak, ucapan Sang Ibu bagaikan keputusan besar yang membuatnya bingung. Seharusnya, orangtua membuat kontrak komunikasi satu arah. Melarang atau membolehkan dan tanpa embel-embel lain. "Hindari komunikasi 'Yes, but...'" lanjut Tun.

Contoh lain penggunaan kalimat positif-negatif adalah,  "Kamu main, dong! Nanti, kamu enggak punya teman, lho!" atau "Ayo belajar, nanti kamu enggak lulus." Anak hanya akan menangkap ujung dari ucapan semacam ini, yaitu "Enggak punya teman" dan "Tidak lulus". Jadi, sebaiknya gunakan kalimat positif-positif seperti, "Ayo bermain supaya banyak teman." Atau, "Belajar, ya, Nak, supaya kamu pintar dan lulus ujian."

 Hasto Prianggoro