Skizofrenia tidak bersifat fatal dan tidak mengancam hidup secara langsung. Selain itu, skizofrenia sebetulnya bisa disembuhkan. Apalagi, zaman sekarang pengobatan skizofrenia sudah berkembang pesat. Namun, kepatuhan pemberian obat tetap penting.
Sayangnya, pihak keluarga terkadang merasa penderita skizofrenia sudah sembuh dan menghentikan pemberian obat. Padahal, obat tetap diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan neurokimia, seperti halnya penderita diabetes atau hipertensi yang harus minum obat terus-menerus.
Tun berharap teknologi dan pengetahuan yang makin maju bisa mendorong orang dengan skizofrenia kembali ke masyarakat, menjadi sehat sejahtera, dan kualitas hidupnya membaik. "Ini tujuan akhirnya, lighting the hope for schizophrenia," papar Tun.
Kambuh Bila Tak Disiplin
Tidak ada satu pun penyebab pasti skizofrenia, sebab banyak faktor yang berkontribusi. Antara lain, kondisi pra-kelahiran, cedera otak, trauma, tekanan sosial, dan stres. Pemakaian narkotika dan obat-obatan psikotropika serta gangguan keseimbangan neurokimia di otak juga bisa menyebabkan skizofrenia.
Meski masih kontroversial, faktor genetis juga bisa menyebabkan skizofrenia. "Penelitian menunjukkan, mereka yang dilahirkan di musim dingin memiliki kemungkinan lebih tinggi menderita skizofrenia. Ini mungkin karena virus," jelas Tun. Tapi, hal yang lebih dikhawatirkan adalah pola asuh yang diterapkan ibu dengan skizofrenia kepada anak-anaknya. Misalnya, Si Ibu berkomunikasi dengan cara yang kurang tepat kepada anaknya.
Ketika gejala skizofrenia bertambah buruk, episode-episode ini sering muncul berulang kali atau kambuh (relapse). Kekambuhan pun sulit dikendalikan dan semakin lama akan semakin parah. Selama masa kekambuhan ini, penderita skizofrenia sebaiknya dirawat di rumah sakit.
Nah, ternyata penyebab terbesar kekambuhan adalah ketidakpatuhan pengobatan. "Data menunjukkan, 3 dari 4 pasien lalai minum obat dan lalai pengobatan sehari dalam setahun akan meningkatkan risiko untuk perawatan di rumah sakit," urai Tun.
Orang dengan skizofrenia sering dianggap penderita keterbelakangan mental. "Padahal, mereka sakit dan mereka bisa kembali produktif dengan pengobatan yang tepat, apalagi jika diagnosis dan pengobatan dilakukan sejak dini," papar Tun. Sayangnya, penderita skizofrenia malah sering kali dibawa ke pengobatan alternatif dan mengakibatkan pengobatan lebih sulit.
Hindari "Yes, But..."
Anak-anak juga bisa berisiko mengalami skizofrenia. Di antaranya, anak-anak yang susah bergaul, cenderung penyendiri, mudah cemas, dan sulit mengikuti pelajaran. Tapi, pengobatan untuk anak yang berisiko skizofrenia masih kontroversial sebab anak-anak tidak boleh dijadikan percobaan. "Lebih disarankan pendekatan psikologis dibandingkan obat-obatan. Misalnya, memperbaiki lingkungan dan pola asuh orangtua," kata Tun.
Salah satu cara yang disarankan Tun, orangtua harus menjaga komunikasi agar anak tidak bingung dan depresi. "Ada yang disebut double bind yaitu kontrak komunikasi yang bertentangan," jelas Tun. Contohnya, saat anak meminta es krim, ibunya menjawab, "Boleh, tapi kalau kamu sakit, Ibu enggak mau urus kamu..." Bagi anak, ucapan Sang Ibu bagaikan keputusan besar yang membuatnya bingung. Seharusnya, orangtua membuat kontrak komunikasi satu arah. Melarang atau membolehkan dan tanpa embel-embel lain. "Hindari komunikasi 'Yes, but...'" lanjut Tun.
Contoh lain penggunaan kalimat positif-negatif adalah, "Kamu main, dong! Nanti, kamu enggak punya teman, lho!" atau "Ayo belajar, nanti kamu enggak lulus." Anak hanya akan menangkap ujung dari ucapan semacam ini, yaitu "Enggak punya teman" dan "Tidak lulus". Jadi, sebaiknya gunakan kalimat positif-positif seperti, "Ayo bermain supaya banyak teman." Atau, "Belajar, ya, Nak, supaya kamu pintar dan lulus ujian."
Hasto Prianggoro