Ainy Fauziah: Motivator Itu Panggilan Jiwa (1)

By nova.id, Kamis, 18 November 2010 | 17:01 WIB
Ainy Fauziah Motivator Itu Panggilan Jiwa 1 (nova.id)

Ainy Fauziah Motivator Itu Panggilan Jiwa 1 (nova.id)
Ainy Fauziah Motivator Itu Panggilan Jiwa 1 (nova.id)
Ainy Fauziah Motivator Itu Panggilan Jiwa 1 (nova.id)

"Pilihan karier yang ditekuni Ainy saat ini mendapat dukungan suami dan anak-anaknya (Foto:Repro, Ahmad Fadilah) "

Kesibukan apa yang sedang dijalani saat ini? 

Memotivasi orang untuk berbagai macam kasus, mulai dari kehidupan rumah tangga, karier, atau kepemimpinan dalam perusahaan. Tiap tiga bulan sekali juga melakukan kegiatan sosial untuk memotivasi orang yang terjangkit virus HIV/AIDS. Terakhir, saya sedang mempromosikan buku saya yang baru terbit, judulnya  Dahsyatnya Kemauan.Sebelum menjadi motivator, apa yang Anda kerjakan? 

Saya pernah bekerja di sebuah BUMN selama 9 tahun. Mei 2005, saya mengundurkan diri lalu bergabung dengan Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional (LSM) dari Inggris, OXFAM Great Britain, dan Care International Indonesia (Canada), sebagai Programme Shelter Coordinator. Kemudian pindah ke bidang Engineering & Housing Construction Manager. Selama bergabung dengan LSM itu, saya bertugas di Aceh dalam rangka menyediakan perumahan bagi korban tsunami. Empat tahun di Aceh, membuat saya menjadi wanita yang lebih tegar, lebih bijak serta lebih berani dalam menghadapi tantangan.

Bosankah Anda, sehingga pekerjaan sebelumnya ditinggalkan begitu saja?

Saya bersyukur karena selalu mendapatkan kesempatan yang luar biasa dan selalu menarik, namun menjadi motivator seperti panggilan jiwa karena selama ini saya berfikir, sampai kapan akan terus mengejar karier? Akhirnya saya memilih memprioritaskan keluarga tapi tetap melakukan yang saya suka, yakni menjadi motivator. Kebetulan suami dan anak-anak mendukung.

Apa yang menjadi titik baliknya sehingga Anda menekuni dunia motivasi?

Pasca bencana tsunami, tiap hari saya memotivasi para korban, mulai dari anak-anak kecil hingga orang tua. Aktivitas yang berlangsung saat itu banyak sekali, mulai dari dunia konstruksi membangun rumah korban tsunami di Desa Beuringin, Lokhsumawe, sampai memberikan kesempatan dan akses kepada ibu rumah tangga sebagai tukang cat wanita dan bersertifikat.

Saat itu minim pekerja pria. Kegiatan ini semula sempat dipandang sebelah mata. Masak ada wanita jadi tukang cat? Begitu kira-kira jalan pikiran masyarakat setempat. Namun, akhirnya ibu-ibu mau membantu mengecat rumah meski pengerjaannya dilakukan setelah urusan rumah tangga selesai. Kegiatan menolong orang itu membuat saya "jatuh hati".

Lalu?