Priskilla Smith Jully, Ibu Bagi Orang Terbuang (2)

By nova.id, Jumat, 22 Oktober 2010 | 08:35 WIB
Priskilla Smith Jully Ibu Bagi Orang Terbuang 2 (nova.id)

Kamar penuh sesak, dong?

Iya. Pemilik kos pun protes. Dia bilang, rumahnya bukan panti asuhan. Kami lalu disuruh pindah. Sejak itu kami sering berpindah-pindah tempat. Seiring dengan itu, orang yang kami ajak bergabung pun semakin bertambah. Lalu saya beri nama perkumpulan ini School of Life (SoL).

Bagaimana bisa mendapat tempat tinggal yang sekarang?

Rumah di Jl Bintoro 13, Semarang ini adalah rumah ke-6 untuk SoL. Rumah ini pun masih dalam status mengontrak selama 2 tahun.Cerita untuk mendapatkan rumah ini juga agak unik. Saat itu, jumlah kami sudah mencapai 25 orang. Mau sewa rumah, uangnya kurang. Namun, tak disangka-sangka pertolongan itu datang.

Ketika itu saya sedang menggendong anak asuh saya. Lalu ada seorang ibu menanyai saya, "Ini anaknya?" Saya jawab, ini anak asuh saya. Setelah berbincang-bincang, rupanya dia tertarik dengan SoL dan datang melihatnya. Lalu dia mengatakan ingin membantu dan bertanya kami membutuhkan apa saja.

Saya katakan kepada ibu itu, terserah mau membantu apa, saya terima dengan lapang hati. Ternyata saya diberi selembar cek. Saya tak tahu berapa nilainya. Ternyata, nominalnya cukup besar. Cukup untuk mengontrak tiga rumah di Jl Bintoro, sekaligus membiaya renovasi.

Siapakah orang itu?

Sampai sekarang saya tak pernah bertemu dengan Ibu yang baik hati itu lagi. Katanya, dia orang Jakarta yang sedang berlibur di Semarang. Saya sering menanamkan ke anak-anak binaan saya untuk tidak meminta kepada siapa pun. Saya percaya, Tuhan sanggup memelihara kami. Yang penting, kami selalu berusaha dengan bekerja dan berdoa.

Selama ini biaya operasional SoL dari mana? 

Kami bekerja apa saja. Kami punya event organizer (EO) kecil. Tim kami kerap jadi penyanyi dan badut di acara ulang tahun atau pernikahan. Saya dan teman juga sering menawarkan berbagai macam barang jualan secara door to door. Pokoknya apa saja yang bisa dijual. Air mineral, CD kosong, makanan kesehatan, sampai pulsa. Saya pun pernah kok, jadi pengupas bawang merah di restoran.

Siapa saja yang bisa bergabung di SoL?

Orang-orang yang tak diinginkan orangtuanya, anak yatim piatu. Penghuni terakhir SoL adalah bayi yang kami peroleh dari seorang pengemis. Saat ini semuanya berjumlah 80 orang. Kami sudah seperti keluarga.

Apakah SoL sekadar tepat penampungan?

Oh, tidak. SoL juga sebagai training center. Mereka belajar kehidupan yang sebenarnya. Kami ingin membuktikan, kami "bisa". Minimal bisa mandiri, dan syukur-syukur berguna bagi orang lain. Ada yang "sembuh" dalam hitungan bulan ada pula yang bertahun-tahun.

Bagi yang sudah "sembuh", kami siap menyalurkannya. Biasanya kami tanya, mau ke mana? Jika ingin bekerja, ya disalurkan. Bila ingin berwirausaha, kami bantu modalnya dan dibimbing sampai berhasil. Saat ini saya dibantu 15 orang yang disebut Tim Pengabdi.

Apa artinya SoL bagi Anda? SoL panggilan hidup dan gaya hidup saya. Tanpa menolong mereka, hidup saya tak ada artinya. Inilah hidup saya, mengabdi untuk mereka. Sebentar saja berpisah dari mereka, rasanya sepi. Jika tak ada tangis dan canda mereka, rasanya ada yang hilang.

Anda sudah berkeluarga? 

Saya menikah dengan Fandy Kusuma pada 2006. Kami dulu teman bekerja di Radio Rhema. Usia suami 4 tahun lebih muda dari saya. Oleh anak-anak SoL kami dipanggil Mama dan Papa. Buah cinta kami baru satu, Dyka Adlero (3).

Sikap suami terhadap anak binaan, bagaimana?

Awalnya suami keberatan karena mereka dianggap membebani saya. Saya juga dianggap bodoh. Tapi suami saya lebih bodoh dari saya. Buktinya, dia mencintai saya, ha..ha..ha... Hidup Fandi memang tak sekeras kehidupan saya. Hidupnya selalu tercukupi. Bahkan orangtua Fandi sempat tak menyetujui ia menikah dengan saya.

Tapi sekarang, Fandy justru ikut mengurus Sol dan bertugas mengurusi manajemen SoL. Fandy lah yang mengatur kegiatan dan pendidikan para penghuni SoL sepanjang hari. Sementara urusan saya, dengan dunia luar.

Harapan Anda untuk SoL ke depan?

Ingin punya tempat sendiri dan lebih luas agar bisa menampung lebih banyak orang. Punya tanah yang luas agar kami bisa bercocok tanam dan menghasilkan dari tanah itu.

 Ahmad Tarmizi