Priskilla Smith Jully, Ibu Bagi Orang Terbuang (1)

By nova.id, Kamis, 21 Oktober 2010 | 17:22 WIB
Priskilla Smith Jully Ibu Bagi Orang Terbuang 1 (nova.id)

Priskilla Smith Jully Ibu Bagi Orang Terbuang 1 (nova.id)
Priskilla Smith Jully Ibu Bagi Orang Terbuang 1 (nova.id)
Priskilla Smith Jully Ibu Bagi Orang Terbuang 1 (nova.id)

"Foto: Ahmad Tarmizi "

Benarkah saat masih dalam kandungan, Anda pernah hendak digugurkan? 

Betul. Menurut cerita yang saya dengar, orangtua saya sudah habis-habisan mau mengugurkan saya. Dari cara tradisional minum air ragi, lompat-lompat, sampai disuntik 3 kali. Namun, janinnya ternyata tetap tumbuh.

Saya lalu lahirk 8 Mei 1978 dengan mata buta. Untung hanya mata. Kalau cacat anggota tubuh saya yang lain bagaimana?

Apa kira-kira alasannya?

Jarak usia saya dengan kakak terlalu dekat. Selain itu, orangtua berharap mendapatkan anak lelaki karena sebelumnya sudah perempuan. Orangtua lalu kecewa terhadap keberadaaan saya karena saya buta. Saya tumbuh jadi anak yang disia-siakan, anak terbuang.

Saya amat tertekan. Pernah mencoba merokok dan bunuh diri. Untung saya punya teman yang baik. Mereka mengajak saya menjadi aktivis gereja. Saya pun lalu ikutan jadi aktivis gereja.

Kecewa kepada orangtua?

Tentu saya kecewa, kenapa orangtua melahirkan saya dan kemudian menganggap saya anak tak berguna. Tapi saya kemudian bisa memaklumi tindakan mereka. Hubungan saya dengan orangtua memang sempat tidak baik. Namun, menginjak usia remaja, saya mengerti dan mengampuni mereka. Sekarang hubungan kami luar biasa baik. Berangkat dari kisah hidup sayalah, maka saya bertekad ingin mensejahterakan orang yang bernasib seperti saya.

Anda lalu pergi dari rumah?

Setelah menjadi aktivis gereja saya hidup merantau. Dari Jambi kota kelahiran saya kemudian ke berbagai kota dan terakhir ke Semarang.

Lalu, bagaimana kisah di balik berdirinya School of Life (SoL)?

Awalnya saya mengikuti pendidikan karakter di Ungaran (Jateng) pada 2004. Salah satu pembicaranya seorang dosen dari Amerika Serikat. Dia bercerita tentang bagaimana mengelola Dream Center. Dream Center adalah "rumah" bagi orang-orang terbuang dan merasa tak punya harapan hidup lagi.

Di Dream Center mereka ditampung, diberi pendidikan dan harapan, hingga akhirnya mereka mampu mandiri dan percaya diri. Mendengar tentang Dream Center, hati saya tergugah. Tapi, saya pikir enggak mungkin saya membuatnya. Itu butuh biaya banyak. Saya tidak bekerja dan di Semarang saya enggak punya siapa-siapa.

Lantas?

Tak lama berselang, saya diterima bekerja sebagai penyiar di radio rohani (Rhema). Sebelumnya saya harus mengikuti sebuah training dan berkompetisi dengan orang-orang normal. Nah, dari penghasilan saya sebagai pemnyiar radio, saya bisa membayar kamar kos di Semarang.

Tanpa disengaja, di penghujung 2005 saya bertemu Merry, wanita lumpuh yang baru saja menjadi yatim piatu. Inilah awal saya mulai menampung orang. Saya tak tega melihat Merry hidup sebatang kara. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengajaknya tinggal bersama di kamar kos saya. Risikonya, saya harus mengeluarkan biaya hidup tambahan.

Diizinkan oleh pemilik kos? 

Ibu kos saya tidak mengizinkan kamar untuk 1 orang diisi 2 orang, jika tak ada tambahan uang. Lalu, saya berjualan kebutuhan anak kos di depan kamar. Misalnya, sampo, sabun. Merry lah yang menjaga "warung" itu. Setelah Merry, saya menampung wanita buta akibat gagal operasi, ditinggal tunangannya, dan dikucilkan keluarganya. Selanjutnya ada 2 wanita lagi, sehingga saya harus berjualan juga di kantor radio.

Ahmad Tarmizi / bersambung