Titie Sadarini, Yayasan Coca-Cola Itu 'Bayi' Saya (2)

By nova.id, Selasa, 12 Oktober 2010 | 04:53 WIB
Titie Sadarini Yayasan Coca Cola Itu Bayi Saya 2 (nova.id)

Apa yang menjadi tantangan terbesar perusahaan saat ini?

Ketidakpastian. Setiap bidang berbeda-beda. Misalnya bidang media, tantangan terbesar saat ini adalah media sosial. Jika ada berita di Indonesia, seluruh dunia bisa langsung tahu lewat jaringan media sosial seperti Twitter atau Facebook. Sehingga bagi saya, ini penting sekali untuk dimonitor karena semua isu bisa jadi isu global. Di sisi lain, ini juga kesempatan kami untuk mempublikasikan berita. Kami tidak bisa enggak pakai Twitter dan Facebook. Media sosial sifatnya sangat pribadi sehingga perlakuannya juga harus hati-hati. Ini tren baru yang tidak mudah dimonitor karena ia hidup 24 jam sehari.

Kami dengar ada Coca-Cola Foundation. Apa aktivitasnya?

Yayasan ini berdiri tahun 2000. Idenya berawal saat Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997. Kami sering melakukan kegiatan sosial, tapi terpecah-pecah. Agar lebih terarah, kami pikir lebih baik dibuat yayasan. Kebetulan di kantor pusat sudah ada komisinya, meskipun di negara lain belum banyak. Ini sebagai jawaban apa yang bisa kami lakukan di masa sulit. Fokus kami sekarang di bidang edukasi. Kami hanya punya satu program, tapi konsisten. Kami menggaet konsultan khusus untuk proyek.

Apa saja proyeknya?

Kami punya pusat belajar yang jumlahnya mencapai 31buah, tersebar di seluruh Indonesia. Di awal persiapan, kami melakukan penelitian selama 1 tahun. Saat itu, semua orang memberi beasiswa. Saya ingat, World Bank mengeluarkan data angka 7 juta anak berhenti sekolah setiap tahun. Lalu kami pelajari, apa isu yang sebenarnya.

Apa benar anak-anak berhenti sekolah karena tidak punya uang? Karena di sekolah negeri seharusnya enggak perlu bayar. Tapi ternyata, faktor orangtua yang miskin yang menyuruh mereka bekerja membantu orangtua. Masalahnya, waktu paling bagus untuk bekerja adalah di jam sekolah. Lalu, bagaimana caranya agar mereka bisa tetap belajar di luar jam sekolah? Bukan hanya pelajaran sekolah, tapi kemampuan praktis.

Lalu?

Saya cukup terkejut, ternyata Indonesia punya 4.000 perpustakaan, bahkan sampai ke tingkat kelurahan. Sayangnya kurang terurus. Perpustakaan pertama yang saya kunjungi di Jakarta Selatan, sangat besar. Kami bantu meningkatkan program dan kemampuan pengelolanya, sehingga kami enggak perlu membangun infrastruktur. Kami memberi waktu 3 tahun untuk perbaikan semuanya. Kepala perpustakaannya menandatangani surat yang menyatakan komitmennya mengembangkan perpustakaan.

Kami member pelatihan melalui 3 orang mentor. Mereka kami ajari riset, bagaimana membuat program untuk menarik orang. Syaratnya, perpustakaan itu akhir pekan harus buka agar siapa pun bisa datang. Awalnya agak sulit karena harus mengubah jam kerja dan mental pegawai. Tapi akhirnya berjalan baik, terutama di desa, karena anak di kota cenderung malas baca. Bisa dibilang, yayasan ini ibarat bayi saya.

Anda disisibukkan oleh pekerjaan dan yayasan. Masih punya waktu luang?

Justru karena anak kedua saya, Talia Ayufadila (13), sudah besar dan punya kegiatan sendiri, jadi saya lumayan punya banyak waktu luang. Biasanya di waktu luang saya mengerjakan yayasan pribadi saya, www.kitabantu.org. Saya dan teman-teman berusaha membantu organisasi sosial yang punya keterbatasan jejaring. Caranya, menuliskan cerita tentang mereka di situs dan membuat video pendek tentang kegiatanya. Mereka boleh memanfaatkan jejaring kami. Pende kata, kami jadi perantara bagi pihak yang mau membantu atau membuatkan lelang amal untuk mengumpulkan dana.