Wah, Si Kakak Sudah Puber! (1)

By nova.id, Kamis, 10 Februari 2011 | 17:02 WIB
Wah Si Kakak Sudah Puber! 1 (nova.id)

Kepala vs Pubertas

Di dalam kepala kita, ada kelenjar yang bernama hipotalamus dan hipofisis. Awal pubertas dimulai dari hipotalamus mengeluarkan hormon yang merangsang hipofisis, kemudian hipofisis mengeluarkan hormon yang merangsang organ target, salah satunya adalah kelenjar kelamin (gonad) yaitu ovarium pada wanita dan testes pada laki-laki.

Hormon-hormon itulah yang kemudian menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan, fungsi atau transformasi dari otak, tulang, otot, kulit, payudara, menstruasi dan organ-organ reproduksi lainnya, seperti organ genitalia (penis dan vagina) dan organ seksual sekunder lainnya, seperti rambut pubis (kemaluan, ketiak, wajah, dan tubuh).

Ada juga lelaki yang sudah di usia dewasa, suaranya masih seperti anak kecil. Itu terjadi karena adanya kekurangan atau pelemahan dari sistem kelenjar kelaminnya yang tidak berfungsi secara normal. Ini biasa dinamakan hipogonadisme.

Testosteron memang dapat menimbulkan efek suara yang maskulin pada anak lelaki, tapi pada beberapa orang dewasa ada juga yang suaranya tidak membesar. "Memang ada beberapa efek hormonal yang mempengaruhi warna suara, tapi itu tidak otomatis menjadikan suara menjadi rendah, melengking, atau halus. Variasi itu normal saja," papar dr. Weny.

Orang tua Harus Bijak

Paska pubertas, pola pikir anak tentang diri dan lingkungannya sudah pasti berubah dan ini menurut dr. Rose Mini AP M.Psi, tergantung dari peranan orang tuanya.

"Seperti apa pola pikir anak paska puber, ada dua kemungkinan. Pertama, mereka mampu beradaptasi dengan karakter tubuh mereka yang baru (dewasa) meski usia mereka masih 10 tahun, misalnya. Atau kemungkinan kedua, mereka benar-benar menganggap dirinya sudah dewasa dan bertingkah layaknya orang dewasa, padahal di usianya itu dia masih suka main kejar-kejaran," ujar wanita yang kerap disapa Bunda Romi ini.

Karena itulah orang tua harus menyikapi perubahan fisik dan karakter anak dengan bijak. Berusahalah memahami apa yang sedang dirasakan atau dialaminya. Bantu mereka agar bisa melewati perubahan itu dengan baik dan tidak merasa takut. Jangan sekali-kali menganggap atau mengatakan kepada anak, "Kamu, kan, masih kecil", misalnya. Atau, ketika anak tidak mau lagi orang tua mencium keningnya usai mengantarnya ke sekolah karena malu dikatai "anak mami" oleh teman-temannya. Coba hargai keinginannya. Untuk tetap menjaga kedekatan, ganti kecupan kening dengan cium tangan.

Tak kalah penting, biarkan anak berkembang sesuai usianya. Jangan mentang-mentang ia sudah mengalami pubertas, lantas orang tua menyuguhinya dengan barang-barang orang dewasa. Misalnya, membiarkan anak perempuannya yang masih berusia 11 tahun memakai lipstik atau melengkapinya dengan smartphone. Berikan dan ajarkan kepada anak apa yang mereka butuhkan sesuai dengan usianya, bukan untuk pamer kepada kepada teman-temannya.

Ester Sondang / bersambung