Asmiah Bertahan di Balik Selembar Batik Jambi (1)

By nova.id, Rabu, 15 September 2010 | 17:42 WIB
Asmiah Bertahan di Balik Selembar Batik Jambi 1 (nova.id)

Asmiah Bertahan di Balik Selembar Batik Jambi 1 (nova.id)
Asmiah Bertahan di Balik Selembar Batik Jambi 1 (nova.id)
Asmiah Bertahan di Balik Selembar Batik Jambi 1 (nova.id)

"Sebagian motif batik Jambi karya Asmiah (Foto:Tumpak) "

Anda tetap bertahan sebagai pembatik di Jambi. Kenapa? 

Sekarang ini hanya beberapa orang saja yang bertahan membatik seperti saya. Ini warisan leluhur, kenapa tidak? Saya terlanjur mencintai batik dan sangat percaya batik tulis tetap memiliki peminat, meski mungkin terbatas. Untuk itu saya bekerja sama dengan biro perjalanan. Hasilnya, baru-baru ini sejumlah turis datang dan minta belajar membatik kepada saya. Saya ladeni mereka hampir seharian. Ketika mau pulang, mereka membeli beberapa lembar batik.

Apakah semua perempuan di desa ini gemar membatik?

Pada dasarnya setiap perempuan Melayu harus memiliki kepandaian menyulam, membatik, atau menenun. Kerajinan batik di Jambi sudah ada sejak tahun 1800-an, Motifnya merupakan perpaduan budaya Cina, Melayu, dan Jawa. Namun, saat penjajahan Jepang kegiatan membatik berhenti karena penjajah melarang dan menyingkirkan usaha batik.

Kapan batik Jambi mulai kembali bersinar?

Setelah kemerdekaan, ibu saya dan Hj Zainab berupaya mempopulerkan kembali Batik Jambi. Ibu dibimbing Ibu Sri Sudewi, istri Bapak Maskun Sofyan yang di tahun '70-an adalah Gubernur Jambi. Batik kembali populer. Hadirnya Ibu Lily Sayuti, istri Bapak Abdurahman Sayuti, Gubernur Jambi di tahun 1980-an juga semakin menggairahkan batik Jambi.

Pada masa itu boleh dibilang cukup banyaklah perajin batik. Pesanan juga cukup banyak. Saya pun sempat buka gerai di Jambi, tapi sekarang sudah saya tutup karena pembeli lebih suka datang ke rumah saya. Mungkin karena dikira lebih murah.

 Anda belajar membatik dari siapa?

Mendiang ibu saya, semasa hidupnya adalah seorang buruh membatik di rumah Hj Zainab di kampung ini. Sejak kecil saya melihat ibu membatik dan tertarik, lalu mencoba-coba membatik di atas daun pisang. Ha...ha..ha... Menginjak kelas 6 SD saya sudah mahir membatik dan mulai berani membatik di atas selembar kain. Karya saya dibeli beberapa ratus rupiah oleh sesama perajin. Uang itu saya belikan kain mori. Lalu saya membatik lagi. Hasilnya saya jual lagi. Begitu seterusnya. Saat itu saya mampu menyelesaikan kain baik hanya dalam sepekan.