Mengajari Anak Menerima Kekalahan

By nova.id, Senin, 18 Februari 2013 | 02:38 WIB
Mengajari Anak menerima Kekalahan (nova.id)

Mengajari Anak menerima Kekalahan (nova.id)

"Ilustrasi. Foto: Adrianus Adrianto/NOVA "

Menerima kekalahan harus ditanamkan sejak dini. Ini juga membangun semangat kompetisi secara positif dan mempengaruhi kesuksesan anak di dunia persaingan. Namun sebagai dewasa, tak mudah mengatakan apa yang seharusnya dirasakan oleh anak. Anak-anak masih melihat banyak hal dalam frame hitam dan putih sehingga sulit menerima pandangan orang dewasa. Berikut beberapa saran untuk mengatasi dan menanamkan sifat kompetitif anak dari para ahli yang dihimpun tabloidnova.com.

Belajar Sejak Dini 

Permainan yang menyenangkan tentu akan menghabiskan waktu. Cobalah lebih  peka terhadap perkembangan kemampuan sosial anak. "Umumnya anak usia 4 tahun kerap berebut  giliran bermain. Aturan bermain bergiliran  tentunya bukanlah hal yang disukai. Oleh karenanya  mereka perlu belajar," ungkap Sue Adair, direktur pendidikan Sekolah Goddard. Jika pengaturan ini membuat anak  menangis atas cobalah ajak anak pergi dengan tenang dan menyingkir dari permainan. "Setelah situasi emosi anak  tenang,  Anda dapat kembali dan berbicara tentang apa yang terjadi dan tanyakan mengapa mereka  begitu marah," kata Adair.

Jika ada anak lain yang terlibat, ajak  mereka amsuk dan mengikuti aturan permainan dan bergiliran.Kendati akan  sulit, tetap meraka harus diajarkan mematuhi aturan permainan dan menerima kekalahan.  "Anak-anak usia prasekolah sedang dalam tahap membangun keterampilan sosial dan belajar bagaimana bergaul.  Kekecewaan atas kekalahan atau kegagalan bisa menjadi pelajaran bagi anak-anak," tandas Adair.Orangtua dapat membantu menjelaskan kenapa mereka kalah.

Anak-anak juga akan menri sikap sportif kita sebagai orangtua. Tindakan yang dicontohkan oleh orangtua ini lebih  berpengaruh pada anak ketimbang kata-kata. Jika orangtua atau orang dewasa di sekitar anak tidak menunjukkan sportivitas yang baik, mereka juga akan mempelajarinya. Jika mereka melihat orangtuanya berkilah dan mengelak dari tanggung jawab, ini akan menjadi pelajaran sportivitas yang buruk. Dan, anak usia prasekolah Anda tidak akan memahami makna sebenarnya dari kompetisi. "Jadi, aturlah langkah mulai sekarang demi tahun-tahun di masa yang akan datang bagi anak," tegas Adair.

 Tekankan Bermain Bukan Soal Menang-kalah

Selama bertahun-tahun sekolah, anak-anak  punya banyak kesempatan olahraga. Alasan anak-anak berolahraga bukan untuk menang atau kalah. Tujuan mereka agar lebih bugar dan segar. "Penelitian menunjukkan,  tiga alasan anak-anak bermain adalah untuk bersenang-senang, belajar keterampilan dan menikmati banyak aktivitas. Menang justru berada di daftar bagian bawah," ungkap Darrell Burnett, seorang psikolog sport.

Sementara Wendy Grolnick, profesor psikologi di Clark University, Worcester menambahkan, "Jika anak Anda sulit menerima kekalahan, orangtua dapat membantunya kembali fokus pada permainan," ungkap. Orangtua dapat mengupayakan ini dengan mendiskusikan situasi ketika telah keluar dari permainan. Ketika anak kabur setelah pengalaman kompetitif yang mengecewakannya, jangan berondong dengan pertanyaan "apakah kamu menang?". Tapi tanyakan "apakah kamu senang?" atau "apakah kamu menikmati permainan tadi?" . Dengan pertanyaan ini,orangtua dapat mengajarkan anak, hal terpenting bukan saja hasil akhir namun proses juga penting.

"Dibanding hasil akhir, seharusnya berkompetisi adalah soal 'bagaimana aku melakukan' dan 'bagaimana perkembangan kemampuanku melakukannya'," ungkap Burnett. Anak-anak perlu melihat  apakah dirinya sudah memiliki kemajuan. Di sinilah perlu peran orangtua untuk memotivasi mereka dengan  pendekatan "pertanyaan soal keahlian" ketimbang menekankan mental "untuk menjadi pemenang". Dengan berfokus pada pengembangan kemampuan anak akan memiliki semangat yang positif dan sportivitas tinggi.

Melihat Gambaran Secara Utuh

Sedangkan pada anak usia remaja mungkin tidak akan  menunjukkan secara jelas rasa kecewa ketika kalah bermain atau berkompetisi. "Seiring anak  kian dewasa, mereka  kerap menghubungkan perasaan sendiri akan dirinya pada kemenangan, dan ini merepotkan," ungkap Grolnick. Faktor  peningkatan daya saing di sekolah menengah, digambarkan Grolnick sebagai titik tertinggi sepanjang masa. Ini menyebabkan kebanyakan remaja tidak pernah mau kalah karena ini berkaitan dengan harga diri dan penerimaan orang lain.  Orangtua harus siap  membantu anak-anak melihat diri mereka  lebih dari sekedar peserta kompetisi.