Memang, sih, anak melakukan permintaan tersamar bukan suatu kesalahan. Walau begitu, sebaiknya kebiasaan ini jangan dibiarkan terus berlanjut. Soalnya, papar Ike, akan menghambat komunikasi antara orang tua dan anak. "Bisa jadi nantinya ia akan berkembang menjadi pribadi yang tertutup atau tak bisa berterus terang tentang suatu hal."
Kala ia iri pada adiknya, misal, ia takkan langsung membicarakan dengan orang tua, melainkan dipendam saja atau keluar dalam bentuk atau hal-hal yang lain. Bukan itu saja, anak tertutup juga akan sulit untuk bisa mengungkapkan perasaannya pada orang lain, apalagi untuk mengemukakan pendapatnya.
Juga, bisa jadi ia nanti terbentuk sebagai orang yang selalu mengalah. Bahkan, sekalipun harusnya ia tak boleh mengalah karena memang haknya. Contoh sederhana, kala ia tengah mengendarai mobil dan tiba-tiba ada motor yang menyalipnya dan langsung berhenti secara mendadak, lantas motor itu tertabrak mobilnya. Nah, karena ia terbentuk sebagai orang yang yang selalu mengalah, sekalipun bukan ia yang salah tapi ia tetap menerima saja ketika si pemilik motor menyalahkannya. Hingga, selain harus membetulkan mobilnya yang rusak, bisa jadi ia juga harus mengganti kerusakan motor dan pemiliknya. "Bila sampai demikian tentunya anak sendirilah yang rugi karena seharusnya ia memperoleh hak-haknya, tapi malah tidak." Kasihan, kan, jika itu yang akan terjadi?
SOLUSI
Untuk itu, anjur Ike, orang tua harus lebih peka terhadap anak. Kalau tidak, bisa dipastikan orang tua tak akan tahu apa yang dibutuhkan anak, keinginan, dan isi hatinya. "Jika relationship antara orang tua dan anak sudah jauh seperti itu, selain orang tua tak bisa mengetahui keinginan anak dan perkembangan anak, juga orang tua yang seperti itu sebenarnya belumlah menjadi orang tua seutuhnya."
Yang namanya orang tua, menurut Ike, harus bisa menciptakan atmosfir di mana anak lebih berani untuk berterus-terang. Caranya, tak lain dengan menerima anak apa adanya. "Jangan cepat-cepat melontarkan kritik, dalam artian baru saja anak berbicara satu kalimat kita telah menyanggahnya dengan kalimat yang lebih panjang dari apa yang diucapkan anak." Misal, "Kalau Bunda bilang enggak boleh, ya, enggak boleh. Sudah, jangan tanya-tanya lagi. Kan, kamu lagi batuk."
Tentu saja, cara demikian hanya akan membuat anak trauma untuk mengemukakan pendapatnya. Hingga, pada akhirnya ia akan memilih untuk tak mengemukakan apa yang ada di kepalanya. Repot, kan, jika sudah seperti ini?
Jadi, kalaupun anak telah kadung mempunyai pola tersamar dalam mengemukakan permintaannya, tak ada cara lain, orang tua harus mulai memancing anak supaya mau dan berani mengeluarkan atau mengungkapkan keinginannya. Caranya, orang tua harus sering-sering sharing dengan anak, entah saat bermain atau kala hendak pergi tidur. "Dengan begitu, akan terjalin hubungan dan komunikasi yang erat antara orang tua dan anak."
Bila hal tersebut dapat terjalin terus-menerus, Ike yakin, pasti anak tak akan takut dan canggung lagi untuk mengungkapkan keinginan dan pendapatnya pada orang tua. "Malah itu akan menjadi suatu kebutuhan buat anak."
Bukan itu saja keuntungannya, orang tua pun akan lebih memahami anak, lebih mengerti, dapat memantau perkembangan anak dan mendeteksi langsung kalau-kalau ada sesuatu hal jelek yang menimpa diri anak. "Entah berupa dikucilkan teman atau digagahi oleh orang dewasa."
Selain sharing, bisa juga dengan cara menanggapi apa yang ditanyakan anak saat melakukan aksi "diplomatisnya". Misal, dengan cara langsung balik bertanya pada anak, "Kan, Kakak sudah tahu kalau itu permen. Bunda pun tahu kalau itu permen kesukaanmu. Kamu mau, ya?" misal. Kemudian, lanjutkan dengan perkataan, "Ayo, terus terang saja pada Bunda. Enggak apa-apa, kok, Bunda enggak akan marah. Sebab, bila kamu tak mengemukakan terus terang, Bunda jadi bingung apa sebenarnya yang kamu inginkan."
Kalaupun anak masih tak memahami penjelasan yang kita sampaikan, kita bisa berikan masukan secara terus-menerus, hingga lama-kelamaan ia akan mengerti sendiri. "Setidaknya kita telah melatih anak untuk bisa berterus terang dan kritis terhadap semua hal. Itu dampaknya akan sangat baik buat anak."
Jadi, kita harus pintar-pintar melihat gelagat yang ditunjukkan si kecil, ya, Bu-Pak. Apakah ia sekadar ingin bereksplorasi atau memang kepingin benda/makanan tersebut. "Untuk hal ini, biasanya orang tua dapat membedakannya hanya dari melihat gelagat yang ditunjukkan anak. Kecuali, memang orang tua tak perhatian pada anak atau selalu sibuk sendiri."
Jika memang anak tengah memuaskan eksplorasinya, misal, saran Ike, orang tua harus dapat menjelaskan sebaik mungkin pada anak. "Tentunya dengan cara dan bahasa yang sederhana hingga anak akan mudah untuk menerima penjelasan kita. 'Nak, si Abang yang menjual es krim memang sengaja memakai lagu-lagu dalam menawarkan dagangannya agar bisa dibedakan dengan Abang penjual sayur. Hingga kamu dan teman-teman bisa langsung tahu bahwa itu si penjual es krim yang lewat. Bahkan sekalipun si Abang masih jauh, kamu bisa langsung tahu kalau si Abang sebentar lagi akan lewat', misal."
Tentunya, kita pun harus konsisten dalam menerapkan aturan. Jika memang anak tak boleh makan es krim karena ia sedang sakit atau baru sembuh dari sakit, misal, kita tetap harus mengatakan tidak pada anak. Akan tetapi, terang Ike, saat mengatakan tidaknya itu harus dengan memberikan alasan yang jelas kenapa kita melarangnya untuk makan es krim. "Nak, kamu sekarang ini jangan dulu makan es krim, ya. Kan, kamu baru sembuh dari batuk. Sebab jika kamu makan es krim, bisa-bisa kamu akan sakit lagi. Nanti kalau kamu sakit, kamu tak bisa main lagi dengan teman-temanmu seperti kemarin," misal.
Gazali Solahuddin/nakita