Mau Minta Saja, Kok, Berbelit-Belit Sih?

By nova.id, Senin, 27 Juni 2011 | 17:09 WIB
Mau Minta Saja Kok Berbelit Belit Sih (nova.id)

Meski kita tahu maksudnya, tapi tak urung bikin kesal juga. Ia harus diajarkan omong terus-terang agar tak kebablasan jadi pengalah terus-menerus. 

"Ma, ini apa? Ini permen, ya, Ma? Bener, kan, Ma, ini permen?" tanya si kecil padahal ia tahu kalau benda yang dipegangnya itu memang permen.

Ulah si prasekolah memang ada-ada saja. Ia sebenarnya menginginkan permen itu tapi caranya meminta itu, lo, yang tersamar alias enggak terus-terang. Menurut Ike R. Sugianto, Psi, perilaku si kecil yang demikian disebabkan temperamennya tertutup. "Pada diri anak, kan, ada yang temperamennya terbuka dan ada pula yang sulit terbuka atau cenderung tertutup. Pada anak yang pribadinya terbuka, ia akan berani mengungkapkan keinginannya atau pendapatnya secara to the point atau berterus terang."

Pada anak yang tertutup, lanjut psikolog dari Klinik Anakku ini, ia takkan bisa to the point menyampaikan keinginannya kepada orang lain, termasuk orang tuanya. Hingga, sewaktu ia ingin sesuatu, entah makanan atau benda apa saja, ia akan memintanya dengan cara menyamarkan. "Bukannya ia tak tahu bahwa benda tersebut permen ataupun butuh penegasan, melainkan ia berharap, entah orang tua atau orang lain yang dekat dengannya, mengerti maksudnya dan memberikan kepadanya apa yang diinginkannya." Bukankah sebetulnya ia ingin mengatakan, "Ma, boleh enggak aku makan permen ini?" atau, "Aku minta permen ini."

PERNAH DITOLAK

Bisa juga si kecil berperilaku demikian karena ada latar belakang atau peristiwa tak mengenakan yang pernah ia alami. "Mungkin pada waktu lalu ia pernah meminta permen atau es krim pada ibunya dengan berterus terang, tapi saat itu ibunya malah mengomel dan marah-marah, misal," jelas psikolog di Pusat Bimbingan & Konsultasi Psikologi Universitas, Tarumanagara Jakarta ini.

Nah, karena telah mendapatkan pengalaman yang tak mengenakkan seperti itu, ditambah tak ada alasan kenapa ia tak boleh makan es krim, bisa dipastikan ia akan enggan untuk berterus-terang lagi, "Kok, gitu, sih, padahal aku, kan, hanya minta," misal. Hingga kala ia menginginkan es krim lagi, ia takkan langsung mengatakan atau menyampaikan maksudnya, melainkan berputar-putar dulu atau melakukan trik tertentu. Diharapkan, maksudnya itu bisa kesampaian. "Dengan cara ini anak akan merasa tenang atau aman, sekalipun ia tak diberi apa yang ia inginkan." Bahkan, kalau akhirnya ia kena semprot gara-gara permintaannya itu, ia bisa beralasan, "Aku, kan, cuma tanya itu apa, enggak minta, kok," misal.

Bukan berarti anak yang selalu permintaannya ditolak akan mendorong melakukan permintaan tersamar, lo. Terutama jika orang tua memberi penjelasan alasan permintaannya ditolak sesuai pemahaman si anak. Misal, "Bukan Bunda melarang kamu makan es krim, tapi sekarang ini, kan, kamu baru sembuh dari sakit. Bagaimana kalau nanti setelah makan es krim, kamu sakit lagi? Nggak enak, kan, sakit?" Namun bila orang tua mencla-mencle atau tak konsisten, memungkinkan anak melakukan permintaan tersamar. Sebab, anak akan berpikir, "Kok, kemarin Bunda ngasih, sekarang enggak boleh. Gimana, sih?"

Faktor lain, bisa terjadi permintaan tersamar itu hanya sebagai ajang coba-coba pada orang tua. Hal ini pun terjadi karena sebelumnya permintaan serupa pernah ditolak orang tuanya. Hingga, dengan cara atau trik seperti ini si anak berharap maksudnya bisa tercapai, "ia berharap orang tua lupa atau terkecoh. 'Mudah-mudahan dengan cara ini akan berhasil, ah.' Jadi, anak memang sengaja atau 'merencanakan' berbuat tersebut demi pencapaian maksudnya."

Jangan lupa pula, orang tua pun kerap jadi contoh bagi anak. Misal, tanpa disadari, jika ibu menginginkan sesuatu dan meminta pada ayah, dengan cara, "Yah, mobil kita, kok, sering ngadat, sih. Padahal kemarin baru diservis, lo, malah servisnya di dealer resmi," misal. Nah, jika hal ini terekam oleh anak, ia akan punya ide baru. "Oh, jika aku ingin sesuatu, aku harus melakukan hal seperti itu. Buktinya, kemarin Bunda dibelikan mobil baru oleh Ayah," misal. Jadi, bilang Ike, orang tua yang melakukan permintaan tersamar akan memicu anak melakukan hal yang sama. "Sebab, bagaimanapun, modelling itu yang paling mengena pada anak."

Namun bisa jadi juga, anak bertanya seperti itu bukan lantaran hendak meminta, tapi karena memang ia tak tahu atau mungkin anak tengah bereksplorasi untuk lebih mengetahui secara mendetail akan hal tesebut. "Bunda, itu tukang es krim, ya? Kok, si Abang menjual pakai memutar lagu-lagu segala," misal. Jadi, karena dorongan rasa ingin tahunya kenapa penjual es krim tak seperti si Abang penjual sayur yang selalu teriak-teriak dalam menjajakan dagangannya.

SELALU MENGALAH

Memang, sih, anak melakukan permintaan tersamar bukan suatu kesalahan. Walau begitu, sebaiknya kebiasaan ini jangan dibiarkan terus berlanjut. Soalnya, papar Ike, akan menghambat komunikasi antara orang tua dan anak. "Bisa jadi nantinya ia akan berkembang menjadi pribadi yang tertutup atau tak bisa berterus terang tentang suatu hal."

Kala ia iri pada adiknya, misal, ia takkan langsung membicarakan dengan orang tua, melainkan dipendam saja atau keluar dalam bentuk atau hal-hal yang lain. Bukan itu saja, anak tertutup juga akan sulit untuk bisa mengungkapkan perasaannya pada orang lain, apalagi untuk mengemukakan pendapatnya.

Juga, bisa jadi ia nanti terbentuk sebagai orang yang selalu mengalah. Bahkan, sekalipun harusnya ia tak boleh mengalah karena memang haknya. Contoh sederhana, kala ia tengah mengendarai mobil dan tiba-tiba ada motor yang menyalipnya dan langsung berhenti secara mendadak, lantas motor itu tertabrak mobilnya. Nah, karena ia terbentuk sebagai orang yang yang selalu mengalah, sekalipun bukan ia yang salah tapi ia tetap menerima saja ketika si pemilik motor menyalahkannya. Hingga, selain harus membetulkan mobilnya yang rusak, bisa jadi ia juga harus mengganti kerusakan motor dan pemiliknya. "Bila sampai demikian tentunya anak sendirilah yang rugi karena seharusnya ia memperoleh hak-haknya, tapi malah tidak." Kasihan, kan, jika itu yang akan terjadi?

SOLUSI

Untuk itu, anjur Ike, orang tua harus lebih peka terhadap anak. Kalau tidak, bisa dipastikan orang tua tak akan tahu apa yang dibutuhkan anak, keinginan, dan isi hatinya. "Jika relationship antara orang tua dan anak sudah jauh seperti itu, selain orang tua tak bisa mengetahui keinginan anak dan perkembangan anak, juga orang tua yang seperti itu sebenarnya belumlah menjadi orang tua seutuhnya."

Yang namanya orang tua, menurut Ike, harus bisa menciptakan atmosfir di mana anak lebih berani untuk berterus-terang. Caranya, tak lain dengan menerima anak apa adanya. "Jangan cepat-cepat melontarkan kritik, dalam artian baru saja anak berbicara satu kalimat kita telah menyanggahnya dengan kalimat yang lebih panjang dari apa yang diucapkan anak." Misal, "Kalau Bunda bilang enggak boleh, ya, enggak boleh. Sudah, jangan tanya-tanya lagi. Kan, kamu lagi batuk."

Tentu saja, cara demikian hanya akan membuat anak trauma untuk mengemukakan pendapatnya. Hingga, pada akhirnya ia akan memilih untuk tak mengemukakan apa yang ada di kepalanya. Repot, kan, jika sudah seperti ini?

Jadi, kalaupun anak telah kadung mempunyai pola tersamar dalam mengemukakan permintaannya, tak ada cara lain, orang tua harus mulai memancing anak supaya mau dan berani mengeluarkan atau mengungkapkan keinginannya. Caranya, orang tua harus sering-sering sharing dengan anak, entah saat bermain atau kala hendak pergi tidur. "Dengan begitu, akan terjalin hubungan dan komunikasi yang erat antara orang tua dan anak."

Bila hal tersebut dapat terjalin terus-menerus, Ike yakin, pasti anak tak akan takut dan canggung lagi untuk mengungkapkan keinginan dan pendapatnya pada orang tua. "Malah itu akan menjadi suatu kebutuhan buat anak."

Bukan itu saja keuntungannya, orang tua pun akan lebih memahami anak, lebih mengerti, dapat memantau perkembangan anak dan mendeteksi langsung kalau-kalau ada sesuatu hal jelek yang menimpa diri anak. "Entah berupa dikucilkan teman atau digagahi oleh orang dewasa."

Selain sharing, bisa juga dengan cara menanggapi apa yang ditanyakan anak saat melakukan aksi "diplomatisnya". Misal, dengan cara langsung balik bertanya pada anak, "Kan, Kakak sudah tahu kalau itu permen. Bunda pun tahu kalau itu permen kesukaanmu. Kamu mau, ya?" misal. Kemudian, lanjutkan dengan perkataan, "Ayo, terus terang saja pada Bunda. Enggak apa-apa, kok, Bunda enggak akan marah. Sebab, bila kamu tak mengemukakan terus terang, Bunda jadi bingung apa sebenarnya yang kamu inginkan."

Kalaupun anak masih tak memahami penjelasan yang kita sampaikan, kita bisa berikan masukan secara terus-menerus, hingga lama-kelamaan ia akan mengerti sendiri. "Setidaknya kita telah melatih anak untuk bisa berterus terang dan kritis terhadap semua hal. Itu dampaknya akan sangat baik buat anak."

Jadi, kita harus pintar-pintar melihat gelagat yang ditunjukkan si kecil, ya, Bu-Pak. Apakah ia sekadar ingin bereksplorasi atau memang kepingin benda/makanan tersebut. "Untuk hal ini, biasanya orang tua dapat membedakannya hanya dari melihat gelagat yang ditunjukkan anak. Kecuali, memang orang tua tak perhatian pada anak atau selalu sibuk sendiri."

Jika memang anak tengah memuaskan eksplorasinya, misal, saran Ike, orang tua harus dapat menjelaskan sebaik mungkin pada anak. "Tentunya dengan cara dan bahasa yang sederhana hingga anak akan mudah untuk menerima penjelasan kita. 'Nak, si Abang yang menjual es krim memang sengaja memakai lagu-lagu dalam menawarkan dagangannya agar bisa dibedakan dengan Abang penjual sayur. Hingga kamu dan teman-teman bisa langsung tahu bahwa itu si penjual es krim yang lewat. Bahkan sekalipun si Abang masih jauh, kamu bisa langsung tahu kalau si Abang sebentar lagi akan lewat', misal."

Tentunya, kita pun harus konsisten dalam menerapkan aturan. Jika memang anak tak boleh makan es krim karena ia sedang sakit atau baru sembuh dari sakit, misal, kita tetap harus mengatakan tidak pada anak. Akan tetapi, terang Ike, saat mengatakan tidaknya itu harus dengan memberikan alasan yang jelas kenapa kita melarangnya untuk makan es krim. "Nak, kamu sekarang ini jangan dulu makan es krim, ya. Kan, kamu baru sembuh dari batuk. Sebab jika kamu makan es krim, bisa-bisa kamu akan sakit lagi. Nanti kalau kamu sakit, kamu tak bisa main lagi dengan teman-temanmu seperti kemarin," misal.

Gazali Solahuddin/nakita