Jangan Ceritakan "Aib" Anak Pada Orang Lain

By nova.id, Minggu, 12 Juni 2011 | 17:06 WIB
Jangan Ceritakan Aib Anak Pada Orang Lain (nova.id)

Menceritakan hal-hal buruk yang pernah dialami anak hanya akan membuatnya sakit hati. Jangan heran kalau ia lantas mengamuk. Segera hentikan dan minta maaflah pada anak.

Tak jarang kita saksikan, orang tua menceritakan kepada orang lain, hal-hal tak menyenangkan yang dialami anaknya, seperti sakit yang pernah diderita si anak, atau kelakuan "buruk" si anak semisal memecahkan barang pajangan seharga jutaan rupiah, dan lainnya. Orang tua tak sadar, hal tersebut sangat tak menyenangkan buat anak, terlebih bila si anak sudah usia 4 tahun.

Soalnya, anak usia 4 tahun sudah belajar menangkap hal-hal yang berada di luar dirinya dan mengaitkannya pada hubungan yang sifatnya konkret. Dalam bahasa lain, "anak usia ini sudah mampu menangkap situasi tak nyaman atau enak yang ia alami, semisal sakit yang dialaminya hingga berbulan-bulan," terang Dra. Endang Retno Wardhani, psikolog dari RS Pondok Indah, Jakarta.

Hingga, kala pengalaman tak enak/nyaman itu diekspos keluar, entah pada kerabat dekat atau tetangga, sama saja dengan menggugah kembali ketaknyamanan yang pernah dialaminya atau membuka luka lamanya. Padahal, si anak sudah menguburnya dalam-dalam. Jangan lupa, ingat Endang, tiap anak menyukai hal-hal yang menyenangkan dirinya (pleasure) dan tak menyukai hal-hal yang membuatnya tak enak (pain).

MEMBUATNYA MALU

Bagi anak, jelas Endang lagi, pengalaman buruk tersebut sangat tak mengenakkan. Apalagi, misal, sakit yang pernah dialaminya berlangsung cukup lama. Ia tak bisa main, tak bisa nonton TV, tak bisa jalan-jalan, ataupun melakukan kegiatan lain yang disukainya. Belum lagi sakit itu sendiri tak enak buat dirinya semisal kepalanya pusing, badannya lemas, muntah-muntah, dan lainnya.

Bahkan, bukan tak mungkin pengalaman buruk itu menjadi hal yang traumatis buat dirinya, hingga ia tak mau lagi mengalaminya. "Jangankan mengalami, mendengar ceritanya saja ia tak mau. Bukankah jika hal itu terjadi sama saja dengan ia diajak untuk merasakan kembali ketidakenakkan tersebut?" Makanya, kala pengalaman buruk itu kita munculkan lagi ke permukaan, akan sangat menyakitkan anak atau membuatnya tak nyaman. "Sama seperti kita teringat masa lalu yang buruk, sungguh tak enak, bukan?"

Akibatnya, bisa terjadi anak melakukan penolakan keras kala kita menceritakannya pada orang lain, sekalipun orang itu adalah kakek-nenek atau om-tantenya, karena ia merasa malu. Menurut Endang, rasa malu ini menunjukkan kemampuan kognitif anak lebih berkembang dibanding anak lain seusianya. Soalnya, perasaan ini tak selalu terjadi pada anak usia 4 tahun, karena umumnya di usia ini, anak belum dapat memahami hubungan sebab-akibat.

Rasa malu ini timbul karena anak takut orang lain akan memandangnya sebagai anak yang sakit-sakitan, misal, hingga ia pun akan jadi bahan ejekan atau malah dikucilkan.

MINTA PERHATIAN LEBIH

Meski begitu, tak tertutup kemungkinan alasan penolakan si anak lantaran ia butuh perhatian lebih dari orang tuanya. "Ia ingin orang tuanya hanya memperhatikan dirinya, tak boleh memperhatikan orang lain. Bukankah kala menceritakan 'aib' si anak, orang tua sambil memandang ke arah lawan bicaranya? Nah, bagi anak, ini berarti perhatian orang tuanya telah terbagi dua, tak lagi terfokus pada dirinya," tutur Endang.

Bila ini yang terjadi, lanjutnya, disebabkan anak telah terbiasa ­dalam kurun waktu cukup lama- segalanya diperhatikan orang tua, dari bangun tidur sampai berangkat tidur kembali. Hingga, seolah-olah di dunia ini hanya dirinya yang diperhatikan orang tuanya. Akibatnya, timbul negativistik anak, entah berguling-guling, marah-marah, memukul-mukul, atau lainnya. Semata agar orang tuanya stop bicara atau berhenti memperhatikan orang lain dan kembali memperhatikan dirinya.