Jangan Ceritakan "Aib" Anak Pada Orang Lain

By nova.id, Minggu, 12 Juni 2011 | 17:06 WIB
Jangan Ceritakan Aib Anak Pada Orang Lain (nova.id)

Jikapun ingin diceritakan kembali, jangan di depannya. "Tunggu saat anak tak ada di rumah atau lagi tidur."

Jangan lupa untuk kembali melakukan pendekatan pada anak. "Bisa saja, kan, anak masih merasa tak enak atau sakit hati pada orang tua atau si kakek?" ujar Endang. Pendekatan yang dilakukan bisa dengan cara mengajaknya bermain atau dibelikan hadiah kesukaannya. "Pokoknya, bangun kembali interaksi kedekatan dengan anak karena hal ini bisa menumbuhkan kembali kepercayaan anak terhadap orang tuanya atau si kakek." Selain itu, anak juga akan lebih cepat melupakan kejadian-kejadian yang tak mengenakkan itu, "Ternyata, Kakek benar-benar sayang sama aku. Jadi, kemarin itu Kakek bukannya ingin menyakiti aku, tapi karena merasa peduli dan sayang padaku," misal.

AJARKAN BERBAGI

Tak kalah penting, anjur Endang, ajarkan sharing atau berbagi pada anak. "Anak usia 4 tahun sebenarnya sudah bisa kita didik untuk sharing dengan orang lain. Namun sharing-nya jangan dimulai dengan cara mengekspos kondisi atau pengalaman negatifnya, tapi mulailah dari kondisi yang menyenangkan lebih dahulu. Sebab, makin nyaman bagi anak, ia akan makin antusias."

Jika tidak, bukannya mau bercerita, bisa jadi anak malah marah-marah atau mogok bicara. Jadi, misal, sepulang piknik "sekolah" atau berlibur di rumah kakek, minta ia bercerita, "Nak, coba, ceritakan sama Bunda, ngapain saja kamu di sana? Asyik enggak?" misal. Jika anak sudah terbiasa sharing tentang hal-hal yang positif, menurut Endang, dengan makin menanjak usianya, ia pun akan mudah untuk sharing tentang hal-hal negatif atau yang tak mengenakkan buatnya. "Sebab dengan bertambahnya usia, konsepnya sudah lebih formal dan ia telah mampu berfikir lebih abstrak, hingga ia bisa lebih memformulasikan segala sesuatu dari hubungan sebab-akibat yang jelas." Selain itu, karena ia telah terbiasa untuk sharing sedari kecil, sekalipun harus sharing hal yang negatif, ia akan merasa tetap nyaman.

Jika sharing tak kita biasakan sejak kecil, terang Endang, besarnya nanti akan sulit untuk sharing dengan orang lain, terlebih untuk hal-hal yang negatif, tentu akan membuatnya rikuh. Sebaliknya, jika kita memulainya dengan cara mengajarkan sharing dari hal negatif, asumsi yang akan timbul pada anak malah asumsi negatif pula, "Ngapain aku berbagi, nanti orang jadi enggak tertarik padaku," misal. Kalau sudah begitu, sama saja membuat anak jadi tertutup, kan?

Gazali Solahuddin/nakita