Yuk, Main Bola!

By nova.id, Kamis, 9 Juni 2011 | 20:47 WIB
Yuk Main Bola (nova.id)

Selain mengenalkan konsep besar-kecil, dengan bola pun kita bisa mengenalkan aneka warna. Bukankah warna bola sangat beragam? "Wah, bagus, ya, Dek, bolanya kuning," misal. Bisa juga kita mengasosiasikan warna tersebut dengan benda lain, seperti, "Wah, bolanya hijau kayak warna buah semangka yang Adek makan kemarin!" atau, "Tuh, bola yang oranye kayak buah jeruk, ya?

Namun cara mengenalkannya, baik konsep besar-kecil maupun warna, tak boleh dengan paksaan, lo, melainkan harus fun. Menurut Mitha, selama anak tak memiliki masalah apa-apa, dalam arti semua pancaindranya berkembang baik dan kecerdasannya normal, maka pengetahuan yang diberikan akan masuk dan berkumpul di memorinya. Nanti pada saat harus digunakan, ia bisa me-recall-nya. "Coba, Dek, ambil bola warna kuning," misal, maka si kecil akan berpikir, "Aku, kan,pernah diajarkan itu," hingga ia pun bisa mengambilkan bola yang kita maksud dengan benar.

Meski begitu, bila si kecil tak melakukannya dengan benar atau ia malah ngeloyor pergi kala ditanya, "Dek, apa warna bola ini?", misal, kita tak perlu memarahinya. Apalagi sampai panik karena mengira si kecil buta warna. Soalnya, jelas Mitha, pengenalan warna diharapkan baru dikuasai anak pada usia 4 atau 5 tahun. "Jadi, kalau anak usia 3 tahun enggak ngerti warna, ya, enggak masalah," tegasnya. Begitu pula bila anak belum mengenal konsep besar-kecil, karena baru di usia sekitar 6-7 tahun, ia memahaminya.

ORANG TUA TERLIBAT

Masih ada lagi, lo, manfaatnya, yaitu menjalin keakraban orang tua dan anak. Soalnya, jelas Mitha, kita tak hanya mengarahkan permainan, tapi juga terlibat langsung, baik secara fisik maupun emosional. Ketika mau menangkap bola, misal, kita bisa sampai terjatuh-jatuh lalu tertawa bersama si kecil, kan?

Memang, sih, aku Mitha, bentuk permainan apa pun tak menutup kemungkinan untuk lebih mendekatkan orang tua dan anak. Misal, main puzzle. "Agar anak enggak repot sendiri, kita bisa melibatkan diri dengan mengarahkan anak, 'Wah, potongan ini kelihatan ada hidungnya sedikit. Taruh di mana, ya, Dek?' Jadi, tergantung kepandaian orangtua untuk memanfaatkan kesempatan menghabiskan waktu bersama anak."

Itu sebab, tekan Mitha, manfaatkan permainan bersama anak dengan semaksimal mungkin. Jangan sampai, ketika si kecil mengajak, "Ayah, ayo, dong, main bola!", kita hanya duduk sambil berkata, "Coba Adek lempar bolanya ke sini. Aduh, gimana, sih, ngelempar saja enggak bener!" Atau, ketika kita melempar bola itu, si kecil mengeluh, "Aduh, Ayah jangan kenceng-kenceng, dong!", kita malah bereaksi, "Ah, masa gitu aja dibilang kenceng?" Bila demikian, bisa dipastikan si kecil akan malas dan selanjutnya tak mau lagi main bola bersama kita. Wong, dia mau senang-senang, kok, malah dikomentari macam-macam. Harusnya, bilang Mitha, kita yang mengatur, "Kalau aku lempar segini, bisa enggak, ya, anak menangkapnya."

Nah, Bu-Pak, mulai sekarang manfaatkanlah permainan ini semaksimal mungkin. Apalagi bola relatif murah harganya dan mudah didapat, entah di toko mainan maupun di tukang kelontong yang suka lewat. 

 Si Upik Hobi Main Bola

Enggak apa-apa, kok, Bu-Pak. Jadi, tak perlu dilarang. "Main bola, kan, enggak identik dengan anak lelaki-laki," bilang Mitha. Pemberian label semacam itu, menurutnya, dibuat oleh kita sendiri bahwa bola adalah permainan anak lelaki sedangkan anak perempuan bermain boneka atau masak-masakan. "Jangan lupa, semua jenis permainan sebenarnya tak membedakan jenis kelamin," tambahnya.

Jadi, kalaupun si Upik begitu antusias bermain bola, biarkan saja. Apalagi, kita tak tahu apa yang ada dalam imajinasinya. "Mungkin bola itu diibaratkan konde ibunya, misal, atau ia sedang berimajinasi sebagai penjual telur." Jikapun si Upik tak berimajinasi semacam itu tapi lebih bermain bola secara fisik, juga tak jadi soal. Bukankah sekarang amat banyak perempuan yang jadi pemain basket bahkan sepakbola?

Bola Dari Kain