Jika ingin si kecil cepat berjalan, ajak main bola. Masih banyak lagi, lo, manfaatnya. Tapi ibu-bapak harus terlibat, ya!
Coba, deh, pancing si kecil dengan bola jika ia belum juga lancar berjalan padahal usianya sudah setahun lebih. Cara ini, menurut Rahmitha P. Soendjojo, cukup ampuh, lo, karena acara belajar berjalan jadi menyenangkan. Tak percaya? Yuk, buktikan! Taruh bola di depan kaki si kecil. Bila ia menggerakkan kaki, tentu bola akan menggelinding. Nah, gerakan bola ini akan menarik perhatiannya, hingga ia akan mencoba melangkahkan kakinya lagi agar bisa menendang bola tadi. Begitu seterusnya hingga secara tak sadar ia jadi belajar berjalan.
Bola memang amat menarik perhatian anak. Hampir bisa dipastikan, tiap anak suka bola. "Biasanya, anak suka bola karena warnanya menarik dan gerakannya yang membal," tutur Mitha, sapaan akrab psikolog di YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia), Jakarta, ini. Apalagi kalau bolanya dapat berbunyi karena ada kerincingan di dalamnya, dijamin si kecil lebih tertarik, "Ih, apa itu, ya? Setiap aku gerakkan kaki, kok, bunyi?", misal. Ia pasti akan mendekati bola itu lagi. Jadi, mengapa tak kita manfaatkan bola untuk si kecil belajar berjalan?
MELATIH KESEIMBANGAN
Pendeknya, bola bermanfaat untuk melatih kemampuan motorik anak. Bukan cuma motorik kasar, juga halus semisal menggenggam. "Grasping atau menggenggam sebenarnya merupakan naluri anak. Ini terbukti ketika masih bayi, bila di telapak tangannya diberi benda, ia akan langsung refleks menggenggamnya. Diharapkan setelah usia setahun, anak bisa menjumput benda-benda kecil, seperti manik-manik atau kacang hijau dengan ibu jari dan telunjuknya," tutur Mitha.
Itu sebab, dianjurkan untuk mengenalkan aneka bola dengan berbagai ukuran, dari bola pingpong, bola tenis, hingga bola basket. Selain keterampilan motorik halusnya akan mengalami peningkatan, si kecil jadi tahu cara memegang bola, "Oh, kalau aku memegang bola pingpong cukup dengan menggenggam pakai satu tangan saja. Beda kalau aku memegang bola tenis, harus pakai dua tangan. Sedangkan kalau aku mau membawa bola basket, aku harus merangkulnya agar enggak jatuh," misal.
Selain itu, bola juga bisa melatih keseimbangan si kecil. Bukankah bila kemampuannya bertambah, sambil berjalan, ia bisa memegang bola berukuran besar? "Ini perlu keterampilan 'gila-gilaan' buat anak, lo!" seru Mitha. Bayangkan, si kecil berjalan sambil memeluk bola basket yang sebenarnya masih terlalu besar untuk anak seusianya. "Nah, ini, kan, secara tak langsung melatih keseimbangan anak."
Di usia ini pun, si kecil mulai bisa melempar. Meski awalnya lemparannya masih belum terkoordinasi dengan baik: mau melempar ke depan, malah ke belakang, tak masalah. Toh, lama-lama ia akan belajar dari pengalaman. Ia juga akan tahu, "Oh, kalau aku mau melempar deket, tangan cukup diayun ke bawah, sedangkan kalau jauh, harus diayun ke atas dan pake tenaga."
Jika bola sudah diarahkan pada hal yang lebih fisik, seperti dilempar atau ditendang, menurut Mitha, kita perlu memberi peraturan agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Misal, "Adek bisa main bola di kamar tapi hanya main umpet-umpetan saja. Adek yang ngumpetin bola, nanti Bunda yang mencari. Kalau bolanya mau ditendang-tendang, Adek harus bermain di halaman." Dengan begitu, si kecil jadi tahu tempat-tempat yang tepat untuk bermain bola.
Bila si kecil menolak, kita harus tekankan larangan tersebut dengan memberikan penjelasan/alasan, misal, "Adek, bola ini besar. Kalau Adek main lempar-lempar bola di ruang tamu, bisa memecahkan meja kaca ini. Kalau mejanya pecah terus kena kaki Adek, kan, kaki Adek bisa luka. Jadi, kalau Adek mau bermain menendang dan melempar bola, mainnya di halaman, ya. Kalau main bola di ruang tamu, hanya boleh digelinding-gelindingkan saja."
MENGENAL KONSEP BESAR KECIL
Manfaat lain, bola bisa dijadikan sebagai sarana pendidikan. Misal, untuk mengenalkan konsep besar-kecil. Apalagi anak usia batita belum memiliki konsep bahwa bola basket itu besar sedangkan bola pingpong kecil, atau bola basket lebih besar daripada bola pingpong, misal. Namun, bilang Mitha, tak ada salahnya kita kenalkan hal tersebut pada si kecil. "Toh, dengan makin sering dikenalkan, lama-lama anak pun akan paham. Dengan bertambah umur, anak akan tahu, kenapa bola basket disebut besar, oh, ternyata ukurannya lebih gede daripada bola pingpong dan bola tenis."
Selain mengenalkan konsep besar-kecil, dengan bola pun kita bisa mengenalkan aneka warna. Bukankah warna bola sangat beragam? "Wah, bagus, ya, Dek, bolanya kuning," misal. Bisa juga kita mengasosiasikan warna tersebut dengan benda lain, seperti, "Wah, bolanya hijau kayak warna buah semangka yang Adek makan kemarin!" atau, "Tuh, bola yang oranye kayak buah jeruk, ya?
Namun cara mengenalkannya, baik konsep besar-kecil maupun warna, tak boleh dengan paksaan, lo, melainkan harus fun. Menurut Mitha, selama anak tak memiliki masalah apa-apa, dalam arti semua pancaindranya berkembang baik dan kecerdasannya normal, maka pengetahuan yang diberikan akan masuk dan berkumpul di memorinya. Nanti pada saat harus digunakan, ia bisa me-recall-nya. "Coba, Dek, ambil bola warna kuning," misal, maka si kecil akan berpikir, "Aku, kan,pernah diajarkan itu," hingga ia pun bisa mengambilkan bola yang kita maksud dengan benar.
Meski begitu, bila si kecil tak melakukannya dengan benar atau ia malah ngeloyor pergi kala ditanya, "Dek, apa warna bola ini?", misal, kita tak perlu memarahinya. Apalagi sampai panik karena mengira si kecil buta warna. Soalnya, jelas Mitha, pengenalan warna diharapkan baru dikuasai anak pada usia 4 atau 5 tahun. "Jadi, kalau anak usia 3 tahun enggak ngerti warna, ya, enggak masalah," tegasnya. Begitu pula bila anak belum mengenal konsep besar-kecil, karena baru di usia sekitar 6-7 tahun, ia memahaminya.
ORANG TUA TERLIBAT
Masih ada lagi, lo, manfaatnya, yaitu menjalin keakraban orang tua dan anak. Soalnya, jelas Mitha, kita tak hanya mengarahkan permainan, tapi juga terlibat langsung, baik secara fisik maupun emosional. Ketika mau menangkap bola, misal, kita bisa sampai terjatuh-jatuh lalu tertawa bersama si kecil, kan?
Memang, sih, aku Mitha, bentuk permainan apa pun tak menutup kemungkinan untuk lebih mendekatkan orang tua dan anak. Misal, main puzzle. "Agar anak enggak repot sendiri, kita bisa melibatkan diri dengan mengarahkan anak, 'Wah, potongan ini kelihatan ada hidungnya sedikit. Taruh di mana, ya, Dek?' Jadi, tergantung kepandaian orangtua untuk memanfaatkan kesempatan menghabiskan waktu bersama anak."
Itu sebab, tekan Mitha, manfaatkan permainan bersama anak dengan semaksimal mungkin. Jangan sampai, ketika si kecil mengajak, "Ayah, ayo, dong, main bola!", kita hanya duduk sambil berkata, "Coba Adek lempar bolanya ke sini. Aduh, gimana, sih, ngelempar saja enggak bener!" Atau, ketika kita melempar bola itu, si kecil mengeluh, "Aduh, Ayah jangan kenceng-kenceng, dong!", kita malah bereaksi, "Ah, masa gitu aja dibilang kenceng?" Bila demikian, bisa dipastikan si kecil akan malas dan selanjutnya tak mau lagi main bola bersama kita. Wong, dia mau senang-senang, kok, malah dikomentari macam-macam. Harusnya, bilang Mitha, kita yang mengatur, "Kalau aku lempar segini, bisa enggak, ya, anak menangkapnya."
Nah, Bu-Pak, mulai sekarang manfaatkanlah permainan ini semaksimal mungkin. Apalagi bola relatif murah harganya dan mudah didapat, entah di toko mainan maupun di tukang kelontong yang suka lewat.
Si Upik Hobi Main Bola
Enggak apa-apa, kok, Bu-Pak. Jadi, tak perlu dilarang. "Main bola, kan, enggak identik dengan anak lelaki-laki," bilang Mitha. Pemberian label semacam itu, menurutnya, dibuat oleh kita sendiri bahwa bola adalah permainan anak lelaki sedangkan anak perempuan bermain boneka atau masak-masakan. "Jangan lupa, semua jenis permainan sebenarnya tak membedakan jenis kelamin," tambahnya.
Jadi, kalaupun si Upik begitu antusias bermain bola, biarkan saja. Apalagi, kita tak tahu apa yang ada dalam imajinasinya. "Mungkin bola itu diibaratkan konde ibunya, misal, atau ia sedang berimajinasi sebagai penjual telur." Jikapun si Upik tak berimajinasi semacam itu tapi lebih bermain bola secara fisik, juga tak jadi soal. Bukankah sekarang amat banyak perempuan yang jadi pemain basket bahkan sepakbola?
Bola Dari Kain
Kita bisa, lo, membuat bola dari kain. "Kainnya diringkes-ringkes lalu dimasukkan ke dalam kain yang lebih besar, begitu seterusnya sampai membentuk sebuah bola yang kita inginkan," tutur Mitha. Jangan salah, bola dari kain juga bisa ditendang-tendang dan dilempar. Jadi, fungsinya hampir menyerupai bola biasa.
Malah, bola kain ada kelebihannya, bisa kita manfaatkan untuk mengenalkan aneka perbedaan tekstur bahan pada si kecil. "Ketika membuat bola dari bahan sutra, misal, kita bisa memberi tahu apa yang dirasakan karena anak takkan belajar bahwa kain sutra itu halus bila kita hanya menggeletakkannya." Jadi, sambil kita beri tahukan bahwa bolanya halus, kita usap-usapkan bola itu ke pipi atau tangannya. Hingga, ia memperoleh gambaran, "Oh, yang namanya halus itu kayak gini, toh."
Gaya Main
Di usia batita, jelas Mitha, gaya mainnya masih pararel. Maksudnya, meski si kecil bermain bersama teman-temannya, tapi sebenarnya masing-masing bermain sendiri. Misal, yang satu pegang bola hijau, yang lain pegang bola oranye, lainnya lagi bola merah, dan seterusnya.
Walau begitu, menurut Mitha, kita bisa, kok, mengajari si kecil bermain bersama teman-temannya. Misal, "Coba Adek gelindingkan bolanya ke Susi.", atau, "Ayo, Adek lari ke sana, lalu bola kasih ke Iwan, ya." Kita pun bisa membuat aturan, misal, tak boleh saling berebut bola. Terlebih, anak usia batita masih "gemar" main rebut. Katakan, misal, "Kalau Susi lagi pegang bola, Adek diam saja di sini, enggak boleh ngerebut. Nanti kalau Susi sudah melempar bolanya ke Adek, baru Adek boleh mengambilnya, ya."
Namun dalam memberi peraturan jangan terlalu rumit, lo. Misal, "Pokoknya, kalau bola keluar dari garis putih, jadi out, ya." Soalnya, permainan dalam arti games baru bisa dilakukan setelah anak agak besar, usia 5 tahun, misal. Sementara di usia batita, bermain bola lebih untuk mengembangkan motorik kasar-halusnya, seperti bagaimana cara menendang/melempar/ menangkap bola dengan benar.
Faras Handayani/nakita