Yuk, Kita Main Ke "Rumahku"

By nova.id, Senin, 23 Mei 2011 | 17:01 WIB
Yuk Kita Main Ke Rumahku (nova.id)

5. Belajar bersosialisasi.

Jangan lupa, di usia prasekolah, si kecil sudah bisa bersosialisasi. Jadi, selagi bermain, ia harus bisa berbagi dengan orang lain, tenggang rasa dan bekerja dalam kelompok yang berbeda pandangan, sifat, maupun karakter.

"Ketika bermain, mereka bisa saja, kan, berdiskusi, mengembangakan ide-ide, bahkan mengutarakan perasaanya kepada teman. Berarti ia juga belajar mengerti orang lain dari karakter, sifat, tingkah laku, ataupun kemauannya. Itulah yang membedakan permainan rumah-rumahan anak usia prasekolah dengan anak batita."

Toh, sekalipun si kecil bermain bersama teman-temannya, tapi maksudnya tetap sama, yaitu ingin membuat batasan antara dunia luar dan dunia mereka, hingga mereka bisa melakukan apa saja sesukanya.

JANGAN MEMAKSA

Jadi, kita harus mendukung si kecil, ya, Bu-Pak, untuk main rumah-rumahan. Namun bukan berarti memaksanya, lo. Menurut Uke, yang perlu dilakukan orang tua hanyalah menyediakan penunjang aktivitas yang diinginkan anak. Misal, membantu membuatkan rumah-rumahan dari kardus bekas. "Libatkan anak saat membuatnya, karena selain dapat memperkaya pengalaman dan pengetahuannya, juga melatih kreativitas dan motoriknya."

Kemudian, bila si kecil menggunakan fasilitas yang ada di rumah untuk bermain rumah-rumahan, "orang tua tak perlu merasa terganggu." Misal, menggunakan kolong meja yang akan digunakan untuk bekerja atau menggunakan jemuran. Toh, kita cukup memberinya pengertian, "Kak, mainnya di tempat lain dulu, ya, karena Ayah harus menyelesaikan pekerjaan ini.", atau minta ia tunda permainannya, "Kakak mainnya nanti aja, ya, setelah Bunda menyelesaikan pekerjaan ini. Nanti Bunda temenin, deh."

Tentu saja, bila kita sudah berjanji akan menemaninya, harus ditepati. Namun dengan syarat, harus seijin si kecil. "Kita, kan, cuma sebagai 'tamu' di 'rumah'nya. Jadi, sekalipun sebagai orang tua, kita harus mengikuti peraturan anak." Jangan lupa, bagi si kecil, rumah-rumahan itu merupakan kekuasaannya, lo.

Begitupun bila si kecil mengijinkan, kita harus mengikuti kemauannya pula. Misal, ketika diminta berperan sebagai pasien, ya, berlagaklah sebagai pasien. Dengan begitu, ia akan senang dan merasa dihargai. Namun bila kita menolak, tentu ia kecewa. Bisa saja ia berpikir, "Ah, Bunda sudah enggak sayang lagi.", atau, "Bunda lebih mementingkan temannya daripada aku." Ingat, lo, kemampuan kognitif anak prasekolah sudah sampai pada taraf bisa merasa kecewa, sakit hati, bahkan marah pada orang tuanya.

Sebaliknya, bila si kecil yang menolak kita bermain bersamanya, saran Uke, tak perlu memaksa tapi tetap dampingi dengan cara mengawasinya dari jauh. "Karena mungkin saja permainan yang dilakukannya dapat membahayakan dirinya. Misal, ia membawa benda tajam atau bermain api."

Lagi pula, bukan tak mungkin bila si kecil bermain dengan teman-temannya akan terjadi keributan. Namun jangan buru-buru ikut campur, karena siapa tahu keributan itu hanya bagian dari permainan mereka. Disamping, anak usia prasekolah biasanya juga bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, kok. "Sebaiknya lihat dulu gelagatnya, bagaimana si anak menyelesaikan perselisihan tersebut."

Bila memang menurut kita perselisihan tersebut bukan lagi permainan dan semakin memuncak, barulah kita segera turun tangan melerai, "Lo, kok, mainnya sambil berantem, sih. Enggak baik, ah. Kan, kalian semua berteman. Kalau teman itu harus tolong-menolong, lo, bukannya malah berantem. Ayo, sekarang baikan."

ORANG TUA RUGI

Sebenarnya, main rumah-rumahan bukan juga bermanfaat buat si kecil, lo. Kita pun bisa ikut merasakan gunanya bila ikut bermain bersama si kecil. "Orang tua akan memperoleh banyak masukan," kata Uke. Misal, ketika bermain sebagi pasien dan dokter, kita bisa melihat sisi lain si kecil: yang biasanya agresif, setelah menjadi dokter terlihat begitu peka dan penuh kasih sayang. "Dengan begitu, kita bisa mencari tahu, apa, sih, penyebab dia agresif dalam kesehariannya."

Lain itu, kita pun bisa melihat aspek yang jarang muncul di kehidupan keseharian, hingga bukan tak mungkin kita bisa melihat bakat dan keterampilan anak, "Oh, ia ternyata bisa menyanyi." Atau karena dia sendiri yang membuat rumah-rumahan tersebut, "Ternyata, sekalipun ia nakal, ia sangat kreatif dan inovatif. Hanya dengan fasilitas sederhana, semacam meja ditambah seprei saja bisa dibuat rumah yang cukup bagus."

Jadi, tekan Uke, suatu kerugian besar bila orang tua sampai menolak ajakan anak untuk bermain rumah-rumahan. Bukan berarti tiap kali si kecil minta ditemani, kita sanggupi, lo. Bila memang kita lagi tak punya waktu, ya, jangan dipaksa-paksain. Namun kita harus punya alasan kuat dalam menolak. "Jangan serta-merta menolak dengan dingin atau tanpa memberikan pengertian, melainkan lakukan dengan penuturan baik-baik." Misal, "Ayah, bukan enggak mau main sama Kakak, tapi Ayah harus pergi ke kantor." Si kecil akan mengerti, kok, bila alasannya masuk akal.

Yang jelas, Bu-Pak, bermain rumah-rumahan amat banyak manfaatnya, tapi juga tak bagus dampaknya bila si kecil terlalu sering dan lama bermain. Soalnya, bisa mengabaikan kepentingan atau kewajibannya yang lain. "Bisa saja, kan, anak jadi lupa mandi karena asyik bermain rumah-rumahan?" ujar Uke.

Jadi, sewajarnya saja, ya, Bu-Pak. Jangan lupa, kalau memang sempat, luangkanlah waktu untuk bermain rumah-rumahan bersama buah hati tercinta.

Gazali Solahuddin/nakita