Yuk, Kita Main Ke "Rumahku"

By nova.id, Senin, 23 Mei 2011 | 17:01 WIB
Yuk Kita Main Ke Rumahku (nova.id)

Satu lagi permainan anak usia prasekolah yang sarat manfaat. Jadi, perlu didukung, ya, Bu-Pak.

Pernah, kan, melihat si kecil main di kolong meja atau nyemplung ke kardus besar dan berlama-lama di situ? Bahkan, tak jarang kita temukan selimut tidurnya menutupi sebagian kolong meja. Ia tampak asyik sekali bermain di situ "bersama" seperangkat mainannya, entah masak-masakan, boneka, maupun mobil-mobilan. Saking asyiknya, sampai-sampai kita pun "diusirnya" kala tiba-tiba nyelonong "bertamu" tanpa diundang.

Sebenarnya, tutur Rike W.Dhamayanti, Psi., permainan rumah-rumahan sudah digemari si kecil sejak usia 2 tahunan. "Hanya motivasi anak batita sekadar ingin bereksplorasi, sedangkan pada anak prasekolah, selain ingin memenuhi rasa ingin tahunya yang besar, juga untuk pengekspresian diri, karena secara alamiah anak ingin merasakan kebebasan dan kemandirian. Bukankah di dalam 'rumah'nya dia bisa melamun, marah, main masak-masakan, perang-perangan atau hal lainnya? Jadi, 'di sini aku bisa berbuat apa saja sesukaku karena ini adalah rumahku.' Juga, yang biasanya ia selalu diganggu dan diatur oleh orang lain, di 'rumah'nya tak akan ada yang mengganggunya lagi."

Jadi, dengan main rumah-rumahan, si kecil sebenarnya ingin membuat batasan antara dirinya dengan dunia luar, hingga ia merasa punya kekuasaan dan kebebasan untuk melakukan apa saja yang disuka tanpa ada campur tangan orang lain. "Makanya, ia selalu marah jika ada orang lain yang langsung nyelonong masuk ke 'rumah'nya tanpa seijinnya," lanjut Uke, sapaan akrab psikolog pada Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta ini.

MENYENDIRI

Tak hanya itu, dengan main rumah-rumahan, si kecil juga ingin merasakan bagaimana, sih, berada di dunia orang lain. Di sini ia mengasosiasikan rumah sebagai markas besar. Ia pun bisa tahu bagaimana rasanya jadi orang lain. "Bukankah di 'rumah'nya ia bisa bebas mengeskpresikan perasaan sebagai seorang tokoh yang ia perankan dalam permainan tersebut?" ujar Uke.

Apalagi, lanjutnya, umumnya anak akan malu jika harus mengekspresikan diri di depan orang banyak. Nah, dengan ada batasan rumah-rumahan ini, ia takkan malu lagi. Coba, deh, perhatikan, ketika sedang bermain, si kecil sering menempatkan diri sebagai orang dewasa, entah ibu, guru, polisi, atau siapa saja. Bila tiba-tiba kita lihat, ia pasti risi dan terganggu, hingga kegiatannya itu pun dihentikan. Lain jika ia bermain dalam dunianya sendiri, di situ tak ada lagi yang melihat atau memperhatikan. Ia jadi puas karena semua yang ingin dilakukannya bisa terlaksana dengan lancar tanpa ada gangguan dari pihak luar.

Lagi pula, mungkin saja si kecil main rumah-rumahan karena ingin menyendiri, semisal untuk berlatih sesuatu yang tak ingin diketahui orang lain, entah berlatih tutur atau lainnya. Bila demikian, saran Uke, "Biarkan saja." Namun bila ia menyendiri lantaran suatu persoalan, sedang marah atau minder, misal, justru kita harus membantu meringankan beban itu. Caranya, tentu dengan mengajaknya berkomunikasi, "Nak, kamu kenapa, kok, cemberut terus? Marah sama Bunda, ya, atau lagi kesel?", misal.

Bila kita bertanya baik-baik, biasanya si kecil akan merespon, kok. Dari sini kita bisa peroleh keterangan kenapa ia berbuat demikian, lalu beri pengarahan agar ia bisa ceria kembali. Misal, "Oke, Bunda salah. Kakak mau, kan, memaafkan Bunda? Bunda janji, deh, enggak akan ingkar lagi. Orang pemaaf itu disayang Tuhan, lo."

LIMA MANFAAT

Ternyata, main rumah-rumahan banyak manfaatnya, lo, buat si kecil, yaitu:

1. Belajar mengendalikan diri atau emosi.

Tentunya saat bermain, si kecil akan memainkan peran sebagai orang lain. "Nah, ini berarti ia harus belajar mengatur perasaannya, kan?" ujar Uke. Adapun figur yang diperankan, umumnya yang menarik dan biasa dilihat dalam kehidupan sehari-hari si kecil, seperti orang tua, guru, perawat, atau dokter.

2. Mengembangkan motorik kasar dan halus.

Jangan lupa, di "rumah"nya, ia hanya memiliki ruangan terbatas, hingga mau tak mau ia harus mengendalikan tubuh dengan baik. Apalagi bila di "rumah" itu banyak peralatan main dan kawan-kawan yang datang berkunjung. Praktis ia dituntut untuk bisa mengendalikan semua anggota tubuhnya, seperti mengatur gerakan tubuh, tangan, dan kaki agar "rumah"nya tak hancur.

3. Mengembangkan ide dan mewujudkan kreativitas.

Lihat saja, sekalipun di kolong meja, si kecil akan berpikir bagaimana caranya agar bisa membuat rumah-rumahan yang tak bisa dilihat orang dari luar, hingga dibuatlah penutup pinggiran meja. "Bahkan, tak sebatas kolong meja atau kolong tempat tidur, segala tempat pun bisa dibuat rumah-rumahan. Pun di pekarangan, seperti dengan memanfaatkan seprei di tempat jemuran. Dengan begitu ia merasa daerah kekuasaannya makin besar."

4. Tempat pelampiasan emosi.

Misal, dengan berperan sebagai seorang ibu atau guru yang tengah memarahi anak atau muridnya. Biasanya yang jadi objek marah-marah si kecil bukan teman atau adiknya, melainkan boneka. "Tentu saja, pelampiasan emosi tak terjadi begitu saja saat main rumah-rumahan tanpa ada latar belakangnya. Melainkan ada penyebabnya, baik yang telah lalu atau baru saja terjadi semisal ia sedang marah atau kesal pada seseorang."

Namun, tegas Uke, bila kita memergoki si kecil tengah melampiaskan emosi, tak perlu langsung distop apalagi sampai dimarahi karena takkan menyelesaikan masalah. "Siapa tahu besok-besok ia akan melakukan lagi karena emosi yang ada di dadanya belum terlepas. Atau siapa tahu anak yang sedang melepaskan emosi itu hanya sekadar main-main. Jadi, biarkan anak melampiaskan emosinya hingga puas."

Baru setelah ia puas, kita beri pengertian baik-baik, "Kok, bonekanya dipukul-pukul? Kasihan, kan, sakit, juga bisa rusak. Kalau bonekanya rusak, nanti Kakak enggak punya lagi, kan?" Bukan tak mungkin si kecil kemudian akan mengemukakan alasannya berbuat begitu semisal, "Habis, kemarin Bunda marahin aku, sih! Bunda bilang, kasihan bonekanya kalau aku marah-marahin. Kok, kemarin Bunda marahin aku? Bunda enggak kasihan, ya, sama aku?"

Kalau sudah begitu, tentunya kita pun harus dapat memberi pandangan dan pemecahan padanya dengan bahasa sederhana hingga mudah dimengerti, "Kalau begitu, Bunda minta maaf, ya, kemarin Bunda khilaf. Kan, sekarang Bunda enggak marah lagi. Jadi, sekarang Kakak juga jangan marahin boneka lagi, ya?" Jika anak menurut, berilah reward.

Namun jika si kecil ternyata sudah keterlaluan dalam melampiaskan emosinya, apalagi hal ini sering dilakukannya, misal, sangat bernafsu ingin menghabisi bonekanya sampai ingin menghancurkannya, kita harus segera menghentikannya. Tentu dengan tetap memberikan pengertian. Bila perlu, dengan mengasosiasikan orang lain, "Kok, Kakak sampai menyiksa boneka seperti itu? Kalau Adik digituin, Kakak kasihan, enggak? Menyiksa seperti itu enggak baik, lo, Kak. Itu sama saja dengan perbuatan anak nakal."

Yang perlu disadari, bilang Uke, perbuatan anak seperti itu bukan karena ia ingin menyalurkan emosi negatifnya, melainkan cuma menyalurkan emosi-emosi yang ia tak bisa ungkapkan langsung. Jadi, dengan cara itulah ia melampiaskannya.

5. Belajar bersosialisasi.

Jangan lupa, di usia prasekolah, si kecil sudah bisa bersosialisasi. Jadi, selagi bermain, ia harus bisa berbagi dengan orang lain, tenggang rasa dan bekerja dalam kelompok yang berbeda pandangan, sifat, maupun karakter.

"Ketika bermain, mereka bisa saja, kan, berdiskusi, mengembangakan ide-ide, bahkan mengutarakan perasaanya kepada teman. Berarti ia juga belajar mengerti orang lain dari karakter, sifat, tingkah laku, ataupun kemauannya. Itulah yang membedakan permainan rumah-rumahan anak usia prasekolah dengan anak batita."

Toh, sekalipun si kecil bermain bersama teman-temannya, tapi maksudnya tetap sama, yaitu ingin membuat batasan antara dunia luar dan dunia mereka, hingga mereka bisa melakukan apa saja sesukanya.

JANGAN MEMAKSA

Jadi, kita harus mendukung si kecil, ya, Bu-Pak, untuk main rumah-rumahan. Namun bukan berarti memaksanya, lo. Menurut Uke, yang perlu dilakukan orang tua hanyalah menyediakan penunjang aktivitas yang diinginkan anak. Misal, membantu membuatkan rumah-rumahan dari kardus bekas. "Libatkan anak saat membuatnya, karena selain dapat memperkaya pengalaman dan pengetahuannya, juga melatih kreativitas dan motoriknya."

Kemudian, bila si kecil menggunakan fasilitas yang ada di rumah untuk bermain rumah-rumahan, "orang tua tak perlu merasa terganggu." Misal, menggunakan kolong meja yang akan digunakan untuk bekerja atau menggunakan jemuran. Toh, kita cukup memberinya pengertian, "Kak, mainnya di tempat lain dulu, ya, karena Ayah harus menyelesaikan pekerjaan ini.", atau minta ia tunda permainannya, "Kakak mainnya nanti aja, ya, setelah Bunda menyelesaikan pekerjaan ini. Nanti Bunda temenin, deh."

Tentu saja, bila kita sudah berjanji akan menemaninya, harus ditepati. Namun dengan syarat, harus seijin si kecil. "Kita, kan, cuma sebagai 'tamu' di 'rumah'nya. Jadi, sekalipun sebagai orang tua, kita harus mengikuti peraturan anak." Jangan lupa, bagi si kecil, rumah-rumahan itu merupakan kekuasaannya, lo.

Begitupun bila si kecil mengijinkan, kita harus mengikuti kemauannya pula. Misal, ketika diminta berperan sebagai pasien, ya, berlagaklah sebagai pasien. Dengan begitu, ia akan senang dan merasa dihargai. Namun bila kita menolak, tentu ia kecewa. Bisa saja ia berpikir, "Ah, Bunda sudah enggak sayang lagi.", atau, "Bunda lebih mementingkan temannya daripada aku." Ingat, lo, kemampuan kognitif anak prasekolah sudah sampai pada taraf bisa merasa kecewa, sakit hati, bahkan marah pada orang tuanya.

Sebaliknya, bila si kecil yang menolak kita bermain bersamanya, saran Uke, tak perlu memaksa tapi tetap dampingi dengan cara mengawasinya dari jauh. "Karena mungkin saja permainan yang dilakukannya dapat membahayakan dirinya. Misal, ia membawa benda tajam atau bermain api."

Lagi pula, bukan tak mungkin bila si kecil bermain dengan teman-temannya akan terjadi keributan. Namun jangan buru-buru ikut campur, karena siapa tahu keributan itu hanya bagian dari permainan mereka. Disamping, anak usia prasekolah biasanya juga bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, kok. "Sebaiknya lihat dulu gelagatnya, bagaimana si anak menyelesaikan perselisihan tersebut."

Bila memang menurut kita perselisihan tersebut bukan lagi permainan dan semakin memuncak, barulah kita segera turun tangan melerai, "Lo, kok, mainnya sambil berantem, sih. Enggak baik, ah. Kan, kalian semua berteman. Kalau teman itu harus tolong-menolong, lo, bukannya malah berantem. Ayo, sekarang baikan."

ORANG TUA RUGI

Sebenarnya, main rumah-rumahan bukan juga bermanfaat buat si kecil, lo. Kita pun bisa ikut merasakan gunanya bila ikut bermain bersama si kecil. "Orang tua akan memperoleh banyak masukan," kata Uke. Misal, ketika bermain sebagi pasien dan dokter, kita bisa melihat sisi lain si kecil: yang biasanya agresif, setelah menjadi dokter terlihat begitu peka dan penuh kasih sayang. "Dengan begitu, kita bisa mencari tahu, apa, sih, penyebab dia agresif dalam kesehariannya."

Lain itu, kita pun bisa melihat aspek yang jarang muncul di kehidupan keseharian, hingga bukan tak mungkin kita bisa melihat bakat dan keterampilan anak, "Oh, ia ternyata bisa menyanyi." Atau karena dia sendiri yang membuat rumah-rumahan tersebut, "Ternyata, sekalipun ia nakal, ia sangat kreatif dan inovatif. Hanya dengan fasilitas sederhana, semacam meja ditambah seprei saja bisa dibuat rumah yang cukup bagus."

Jadi, tekan Uke, suatu kerugian besar bila orang tua sampai menolak ajakan anak untuk bermain rumah-rumahan. Bukan berarti tiap kali si kecil minta ditemani, kita sanggupi, lo. Bila memang kita lagi tak punya waktu, ya, jangan dipaksa-paksain. Namun kita harus punya alasan kuat dalam menolak. "Jangan serta-merta menolak dengan dingin atau tanpa memberikan pengertian, melainkan lakukan dengan penuturan baik-baik." Misal, "Ayah, bukan enggak mau main sama Kakak, tapi Ayah harus pergi ke kantor." Si kecil akan mengerti, kok, bila alasannya masuk akal.

Yang jelas, Bu-Pak, bermain rumah-rumahan amat banyak manfaatnya, tapi juga tak bagus dampaknya bila si kecil terlalu sering dan lama bermain. Soalnya, bisa mengabaikan kepentingan atau kewajibannya yang lain. "Bisa saja, kan, anak jadi lupa mandi karena asyik bermain rumah-rumahan?" ujar Uke.

Jadi, sewajarnya saja, ya, Bu-Pak. Jangan lupa, kalau memang sempat, luangkanlah waktu untuk bermain rumah-rumahan bersama buah hati tercinta.

Gazali Solahuddin/nakita