Pagi itu, aku harus rapat di kantor jam 09.00, tapi rasanya malas sekali berangkat. Bersama tunanganku, Delirathnasari, aku akhirnya berangkat sambil membawa undangan perkawinan untuk teman-teman kantor. Rencananya, kami menikah 16 Agustus 2003. Usai rapat, aku sempat meninjau pabrik di Cakung, lalu kembali ke kantor dan menemani bosku makan siang di Restoran Syailendra, dekat kantor.
Belum lagi sempat memanggil pelayan untuk memesan makanan, tiba-tiba ada bola api menyambarku. Refleks, kubalikkan badan dan menutupi muka. Toh, tubuhku tetap terpental. Sejurus kemudian kudengar teriakan-teriakan. Kucoba membuka mata. Yang ada hanya kegelapan, asap, dan suasana porak poranda. Sempat aku melap luka di tangan. Tapi, kok, lepas. Duh, ternyata tangan orang lain.
Sekuat tenaga aku berusaha bangkit dan berjalan. Kulihat Pak Atot, rekanku, berlumuran darah dan seluruh tubuhnya menghitam. Entah dari mana datangnya, mendadak muncul mobil putih. Pengemudinya berbaju putih dengan rambut yang sudah memutih pula. Tanpa berkata-kata, ia seperti menyilakan kami naik. Kami lalu dibawa ke RS Jakarta. Sampai di RS, baru saja mau mengucapkan terima kasih, mobil itu sudah tidak ada. Sampai sekarang pun aku tak tahu, siapa si pengemudi misterius yang baik hati itu. Itulah kuasa Tuhan.
Nikah Di RSCukup lama aku terbaring di kereta dorong, menunggu paramedis. Telepon genggamku bergetar, ternyata dari temanku. Kuberitahu kondisiku. Aku juga sempat menelepon ibuku. Tak lama kemudian mereka berdatangan.Karena kondisiku lumayan parah, aku dirujuk ke RS Pertamina. Ternyata semua kamar penuh sehingga aku minta dibawa ke RS Kramat 128. Setelah lima hari, pindah ke RS Pertamina yang mempunyai ruang khusus untuk perawatan luka bakar.Noverita K. Waldan