Adalah Wahyu Adiartono, seorang korban bom Marriott I (2003), yang memiliki ide mendirikan Yayasan 58 bersama rekan-rekannya yang juga menjadi korban bom. "Tujuannya tak lain menaungi korban-korban bom," tukas Vivi Normasari (38), Humas Yayasan 58, yang juga menjadi salah satu korban bom.
Ternyata sebulan setelah peringatan setahun bom Marriot, bom meledak di depan Kedubes Australia. Yayasan 58 pun turun tangan. Begitu pula ketika selang dua tahun terjadi bom Bali, dan kini bom kedua di Marriot. Langkah awal, Yayasan 58 ikut mengevakuasi dan mengumpulkan data korban. Kemudian melakukan tindak pemulihan.
Ketika terjun langsung membantu korban bom, tak jarang para sukarelawan yayasan kembali disergap trauma. Vivi, misalnya, ketika kejadian bom Marriott 2 bertugas di RS Jakarta. "Rasanya ingat kejadian dulu, tapi saya sekarang lebih kuat. Semua berkat terapi psikis dan konselling ."
Ajang Silaturahmi
Sebagai salah satu korban bom, pemulihan psikis yang dirasakan Vivi membutuhkan waktu paling lama. Dulu, lanjutnya, mendengar sirene ambulan saja ia langsung lemas. "Masuk rumah sakit gemetaran, belum lagi kalau melihat darah," ujarnya yang tiga bulan menjalani terapi konseling.
Kepercayaan diri Vivi berangsur muncul ketika menjalin komunikasi dengan sesama korban bom di Yayasan 58. "Saya dipertemukan dengan salah satu korban yang kondisinya lebih parah. Saya enggak ada apa-apanya dibanding dia, tapi dia lebih kuat. Berkaca dari itu saya bangkit. Bersama korban lain kami saling tukar pikiran dan silaturahmi. Misalnya, mengunjungi rumah korban, jadi tahu apa kebutuhan mereka. Yang penting ada keterbukaan," tutur Vivi yang kini bekerja di sebuah bank swasta.
Rencananya, dalam rangka memperingati enam tahun bom Marriot 1, akan dibuat satu asosiasi yang menaungi seluruh korban bom di seluruh Indonesia. "Jadi tidak hanya korban di Jakarta saja, juga di Ambon, Bali, Sulawesi, Malang. Tapi karena ada kejadian bom Marriott 2 kemungkinan acara tersebut agak tertunda."
Para janda juga dicarikan tempat usaha. "Misalnya, mau buka warung, kami mencari tempat dan menyediakan isinya. Atau mau beternak sapi, disediakan sapinya. Jadi, tidak pernah dalam bentuk uang. Karena kalau dikasih uang, misalnya Rp 100 juta, belum tentu uangnya dipakai, kan. Dalam jangka waktu berapa lama uang itu bisa bertahan?"
NOVERITA K WALDAN
KOMENTAR