Sejak Januari lalu, ia tak lagi memberiku nafkah lahir maupun batin. Teguh memang memberiku kartu kredit yang kupakai untuk kebutuhan rumah tangga, tapi ia blokir setiap kali kami bertengkar. Perlakuannya padaku selama tujuh bulan ini membuat beratku turun 8 Kg. Teman-teman kantorku sebetulnya curiga, tapi selalu kututupi. Pada keluarga, aku juga tak pernah mau bercerita. Ia juga jarang ikut acara keluargaku. Waktu kuajak melayat pamanku, jawabannya sungguh menyakitkan hati. Katanya, toh sudah mati, buat apa masih dijenguk?
Waktu kuingatkan bahwa aku bisa saja melaporkan perilakunya ke atasannya, ia malah mempersilakan. Mungkin dia merasa kaya dan kebal hukum karena jabatannya sudah tinggi, kenalannya para pejabat serta menteri. Sementara aku bukan siapa-siapa dan tak punya uang.
Ia selalu berdalih, tak takut kehilangan jabatan dan uang. Yang ia perlukan, katanya, ketenangan dan ibadah.
Soal Ida yang bekerja di rumah kami sejak 2003, aku juga tidak tahu ada hubungan apa antara dia dan suamiku. Yang jelas, mereka selalu pergi bersama. Sebetulnya aku sayang Ida, tapi entah kenapa dia berubah. Kalau dulu ia selalu memakai seragam babysitter, sekarang bajunya ketat dan ia berdandan cantik. Anak-anak pernah bilang, mereka akan punya ibu baru. Waktu kutanya siapa orangnya, jawabannya adalah Ida. Aku sendiri tidak berani menuduh sembarangan. Sekarang, yang kupikirkan hanya anak-anakku, yang sampai sekarang tidak kuketahui keberadaannya.
Kalau memang Teguh ingin bercerai, apa boleh buat. Tapi kenapa harus memisahkanku dari anak-anak? Sebelum peristiwa 27 Juli itu, aku berkeras tak mau bercerai. Soal cintaku pada Teguh, memang sudah susah dibicarakan setelah semua perlakuannya padaku, tapi aku kasihan anak-anak. Mereka masih memerlukan ayahnya dan aku ingin mereka hidup normal dengan orangtua yang lengkap.
Setelah akhirnya aku jadi begini, entahlah. Seandainya kelak bercerai, aku ingin hak asuh jatuh padaku. Aku ingin merawat dan melindungi anak-anakku. Meski aku buta hukum dan tak tahu harus mengadu ke mana lagi, aku ingin perbuatan Teguh padaku diproses secara hukum.
"BUKAN UNTUK KONSUMSI PUBLIK"
Surana Nainggolan, ibu Mimi, sebetulnya sudah lama curiga ada yang aneh pada rumahtangga anaknya itu. Kalaupun datang ke acara keluarga, mereka selalu telat datang, tapi paling cepat pulang. "Saya kadang melihat lengannya biru atau ada luka di bagian tubuhnya yang lain. Kalau saya tanya, ia terlihat berusaha menutup-nutupi," ujar Surana ketika ditemui, Rabu (29/7).
Surana juga pernah bertanya pada Mimi, mengapa Teguh tidur di kamar terpisah. "Baju-bajunya pun di kamar yang berbeda. Katanya, Teguh sedang ingin bersama anak-anak. Kalau Mimi perlu uang, bilangnya ke pembantu," lanjutnya. Ia menyayangkan cara Teguh memperlakukan Mimi, yang sejak kecil bahkan tak pernah dipukulnya. Namun, tuturnya, saat ia nasihati, Teguh malah marah.
Saat peristiwa pemukulan terjadi pun, Surana ikut kena getahnya. Selain dipukul, ia juga dimaki-maki Teguh dan dituduh menjual anak. "Untunglah ketika Mimi melapor ke atasan Teguh, mereka menanggapi dengan baik. Malah menyarankan lapor ke polisi. Tapi waktu itu Mimi belum mau. Setelah peristiwa di sekolah itu terjadi, barulah ia melapor."
Surana baru tahu anaknya mengalami KDRT Juni lalu, waktu Mimi menelepon usai didorong Teguh sampai terjatuh ke parit.
Sementara Renata Sihombing, kuasa hukum Mimi, menegaskan, akan terus minta pihak berwajib menanggapi persoalan ini secara serius dan sesuai hukum yang berlaku, meski Teguh seorang petinggi di perusahaannya.
Akan halnya teguh, ia menolak diwawancara. Lewat e-mail, Teguh menjawab, apa yang ia alami adalah masalah pribadinya, bukan untuk konsumsi publik. "Mohon maaf, saya lebih baik tidak berkomentar lebih lanjut selain statement yang sudah pernah saya sampaikan: tidak betul yang disampaikan oleh istri saya tersebut," begitu tulis Teguh.
Hasuna Daylailatu