Bahagia, Bu, suami dicalonkan sebagai cawapres Jusuf Kalla?
Menurut saya, itu semata-mata sebagai panggilan. Bukan karena jabatan. Tentu sebagai pendamping yang sudah mendampingi lebih dari 30 tahun, saya tahu betul apa keinginan suami.
Bentuk dukungan apa yang diberikan?
Tentu saja dengan doa. Lalu, mengondisikan agar panggilan tersebut dapat tercapai. Soal nanti enggak maju, ya, tidak apa-apa. Apa yang disepakati dan apa pun hasilnya, akan disyukuri. Dulu, malah suami dicalonkan sebagai capres. Enggak apa-apa, sudah biasa. Itu, kan, amanah. Kalau memang belum waktunya maju, ya, pasti enggak bisa.
Komentar anak-anak?
Ketiga anak kami, Amalia Sianti, Ika Mayasari, dan Zainal Rizky, selalu setuju dan mendukung ayah mereka. "Kalau Ayah merasa itu yang terbaik dan sebagai amanah, silakan lakukan," begitu kata mereka. Yang penting, jaga kesehatan. Kami adalah keluarga demokrasi. Anak-anak bersyukur ayahnya dapat kesempatan demi perubahan.
Tidak stres memikirkan pencalonan ini?
Suami saya, kan, pernah jadi orang nomor satu di TNI. Jadi, biasa saja. Ia merasa apa yang dimilikinya dari rakyat, jadi merasa berkewajiban mengembalikannya ke rakyat lewat pengabdian tanpa pamrih. Kalah dan menang itu hal biasa. Kalau jadi, alhamdulillah. Enggak jadi, tak masalah. Semuanya itu rahasia Allah.
Bekal apa yang Ibu berikan?
Kalau mau sukses, harus sehat lahir-batin, makan makanan sehat, istirahat cukup, nuraninya baik, juga kerja keras. Segala sesuatu tak akan jatuh begitu saja dari langit. Lakukan koordinasi timbal-balik, sabar menghadapi segala macam cobaan, jangan menyerah jika mendapat cemoohan.
Bapak suka makanan apa?
Ia orang yang sangat sederhana. Apa saja makanan yang ada di meja, asal segar, sehat, dan bersih, pasti dimakan. Kan, sudah terbiasa di garis depan. Apa saja dimakan demi kesehatan. Di waktu senggang, main sama cucu, ngantar cucu main, atau gunting rambut cucu, dan nyanyi.
Ibu memasak sendiri?
Ya. Tapi jangan kaget, lho, Bapak juga bisa masak. Ketika menjadi Komandan Batalyon di Gorontalo, waktu itu bertepatan dengan ulang tahun batalyon, diadakan lomba masak antar perwira dan ternyata meraih juara pertama dengan resep andalan nasi goreng. Bumbu-bumbu dia siapkan sendiri. Juga menggoreng kerupuk. Hasilnya? Nasi goreng buatannya jadi juara karena paling enak dan masaknya pakai rasa cinta serta kasih sayang.
Omong-omong, dari dulu Ibu selalu bersikap tegas?
Tegas karena berkat dilatih. Selama 10 tahun menjadi Ketua Palang Merah, kalau tidak tegas, bagaimana memproses kantong-kantong darah. Berani menerima suatu jabatan berarti harus dilakukan sungguh-sungguh. Dalam lingkungan prajurit, saya juga sudah biasa hidup teratur dan kebiasaan itu tidak dilakukan dengan terpaksa.
Apa, sih, rahasianya, Ibu dan Bapak tetap awet sampai sekarang?
Kami sudah mengarungi pernikahan selama 34 tahun. Yang penting adalah adanya kebersamaan dan komunikasi timbal balik. Kami tahu setiap kegiatan keluarga, saya mau ke mana, Bapak ke mana.
Bapak humoris, ya?
Ya, sangat humoris! Kadang suka guyon (bercanda) sama saya, "Nduk, nduk, kalau enggak kawin sama saya, mungkin kamu kawin dengan pedagang kangkung. Ha ha." Dengan cucu dia juga suka beranda. Dia bahagia sekali menjadi kakek. Pasti beda, ya, perlakuan ke anak dan cucu. Cucu kami ada enam orang.
Apa yang Ibu sukai dari Bapak?
Pribadinya. Dia sosok pria yang bertanggung jawab, mau mengayomi keluarga, dan tentunya karena dia anggota TNI. Ha ha.
Bagaimana asal-muasal panggilan Bunda?
Ya, karena saya merasa sebagai ibu mereka. Tentu saja saya bangga dianggap sebagai ibu, walau mereka bukan lahir dari rahim saya. Saya memang dekat dengan anak-anak. Saya mendirikan SMA Terpadu Wirabhakti, sekolah unggulan yang ada di Propinsi Gorontalo. Sekolah berasrama (boarding school) ini sangat menerapkan disiplin tinggi ke anak didiknya. Mereka saya perlakukan seperti anak sendiri.Rini Sulistyati