Ujung-ujungnya, mereka minta kesediaanku dioperasi lagi. Entah apa fungsi operasi kali ini. Apakah untuk mengeluarkan gas yang katanya ada dalam perutku atau untuk tujuan lain. Yang jelas, rasa sakit dan nyeri tidak hanya menguasai bagian perutku, tapi juga seluruh tubuh. Saking tidak kuatnya, aku sempat minta dr Iam untuk menyuntik mati aku saja. "Sabar, ya. Enggak apa-apa. Kamu kuat," ujar dr Iam menguatkanku.
Alhasil, operasi ketiga dilakukan, 26 Mei jam 9.30 WIB. Hasilnya? Makin parah! Selang dua jam, kondisiku jadi kristis. Mengaku tidak memiliki alat-alat yang memadai untuk kondisi seperti itu, aku dipindahkan ke RS Islam Jakarta, Cempaka Putih. Kondisi kritisku ini diakibatkan adanya kebocoran lain di bagian kiri dan kanan usus besarku.
Selama 13 hari aku berada di ruang ICU dan saat kondisiku sudah cukup stabil, 8 Juni aku kembali dioperasi untuk dibuatkan lubang pembuangan kotoran di perutku. Aku bingung, mengapa mereka harus mengambil keputusan hingga begitu lamanya. Padahal, sejak awal mereka sudah tahu, dr Iam melakukan kesalahan pada operasi pertama. kenapa pula harus menunggu hingga lubang pada usus besarku semakin banyak. Huh!
Paginya aku bangun dalam keadaan perut, jantung, dan kemaluan sudah dipasangi aneka pipa kecil yang saling tersambung. Beberapa tempat ini dilubangi (diberi pipa) agar aku tidak merasa kesakitan saat makanan atau minuman yang kukonsumsi keluar.
Alhamdulillah aku masih dapat bertahan hidup. Allah begitu mengasihi dan memberiku kekuatan. Menurut pengalaman medis, pasien yang kemaluan hingga jantungnya dipasangi pipa, hidupnya tidak pernah bertahan lama. Ya, paling lama hanya tiga hari. Sedang aku, hingga 10 hari kemudian saat operasi pelepasan pipa dalam perut dilakukan, masih bernafas meski sulit rasanya.
Tidak banyak yang bisa kulakukan saat itu. Aku hanya mampu bertanya, "Ada apa dengan diriku?" Anehnya, setelah sekian banyak operasi yang kulalui, tidak satu pun dokter dan suster yang mampu menjawab pertanyaan itu. Ester Sondang