Tabloidnova.com - Di ujung jalan tak jauh dari kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Australia, sebuah bangunan beratap kerucut berwarna putih berdiri megah. Halaman berumput hijau terhampar luas. Selamat datang di masjid terbesar di Canberra, ibu kota Australia.
Jumat siang itu, sekitar sepekan sebelum Ramadhan tiba, kompleks Canberra Mosque di 130 Empire Circuit, Canberra, Australian Capital Territory (ACT), dipenuhi ratusan pria. Di antara para jemaah, Duta besar Republik Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema dan Duta Besar Malaysia untuk Australia Zainal Abidin Ahmad juga bersiap untuk beribadah shalat Jumat.
Sebagai ibu kota negara, Canberra memang menjadi tempat para diplomat dan pegawai pemerintahan tinggal dan bekerja.
Hanya terdengar di sekitar masjid, azan berkumandang tanda panggilan beribadah. Para jemaah yang berasal dari berbagai latar belakang suku, agama dan status ekonomi lalu bersama-sama sujud menyembah Tuhan Yang Maha Esa di Canberra Mosque.
Pembangunan Canberra Mosque tak lepas dari peran Indonesia. Pada akhir 1950-an, Dubes RI untuk Australia kala itu, AY Helmi, memiliki ide untuk membangun masjid di Canberra. Dia lalu merangkul duta besar dari Malaya (kini Malaysia) dan Pakistan untuk mewujudkan gagasan tersebut.
"A Brief History of Canberra Mosque" yang diterbitkan Islamic Society of ACT (ISACT) menyebutkan bahwa AY Helmi lalu berdiskusi dengan Sir Gordon Freeth, Australian Federal Minister for the Interior and Minister for Works. Lalu, lahan disediakan oleh pemerintah Australia dan desainnya dibuat di Melbourne.
Lalu, pada tanggal 26 Januari 1960, AY Helmi meletakkan batu pertama tanda pembangunan masjid dimulai. Pembangunan masjid ini menghabiskan biaya sekitar 18.000 poundsterling yang dikumpulkan oleh Dubes Indonesia, Malaysia dan Pakistan.
“Masjid ini bagian dari sejarah kita,” kata Nadjib setelah menunaikan ibadah shalat Jumat.
Baca juga: Melongok Masjid Cheng Ho di Kabupaten Pasuruan
Nadjib mengatakan, masjid ini menjadi salah satu bukti bahwa Indonesia memiliki peran dalam perkembangan Islam di Australia hingga saat ini.
Indonesia juga menjadi panutan karena dianggap sebagai negara yang bisa menunjukkan wajah Islam yang damai untuk menyatakan komunitas Muslim dari berbagai latar belakang negara dan budaya.
“Kita (Indonesia) dilihat sebagai pattern,” ujarnya.
Menurut Nadjib, hasilnya menggembirakan. Interaksi antar-kelompok Muslim di Australia sangat baik. Kini, lanjutnya, Indonesia pun dipercaya oleh para dubes negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Canberra lainnya untuk memimpin upaya mempromosikan citra Islam di Australia dan menjalin kerja sama dengan berbagai kalangan.
“Kenapa mereka memilih saya karena niatnya seperti itu, untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah pusat tinggalnya umat Islam yang memang moderat dan selalu berusaha membawa kedamaian dan itu diterima dengan sangat baik," kata dia.
"Setiap kali saya berbincang dengan duta-duta besar dan pimpinan masjid di sini maupun Islamic Center di Gungahlin, mereka selalu memberikan apresiasi terhadap apa yang kita (Indonesia) lakukan. Saya dibantu oleh kawan-kawan KBRI berupaya agar bisa menunjukkan wajah Islam yang damai, yang toleran dan demokratis,” tuturnya.
"A Brief History of Canberra Mosque" juga mencatat bahwa Canberra Mosque adalah masjid tertua kedua yang masih digunakan hingga saat ini di Australia setelah masjid pertama di Marree, di South Australia, yang dibangun para penunggang unta dari Afghanistan pada tahun 1861.
Nadjib mengatakan, kini setidaknya 1.000 jemaah beribadah di masjid ini. Mereka berasal dari 23 kantor kedutaan besar negara-negara anggota OKI, pekerja professional dan juga warga Indonesia yang memang sudah lama bermukim di ibu kota Australia ini.
Saat Ramadhan, Canberra Mosque menjadi pusat kegiatan Islam tak hanya di Canberra, tetapi juga ACT.
"Masjid ini menjadi pusat kegiatan agama Islam di Canberra. Selama bulan Ramadan, di masjid ini diadakan berbagai kegiatan dan yang pasti ada salat tarawih berjamaah," kata Abdul Hakim, President of ISACT.
Duta Besar Malaysia untuk Australia, Zainal Abidin Ahmad, menambahkan bahwa saat masjid dibangun di awal tahun 1960, jemaahnya baru berjumlah sekitar 100 orang. Namun, lanjutnya, kini jumlahnya sudah bertambah hingga 1.000 jemaah yang biasa datang saat shalat Jumat.
Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan, Indonesia, Malaysia dan Pakistan bersama negara-negara OKI lainnya berinisiatif kembali membangun masjid-masjid baru.
“Kita bisa (kembali) bekerja sama membesarkan kawasan masjid untuk menampung jemaah yang semakin bertambah dan mengadakan aktivitas-aktivitas yang sesuai untuk kebajikan dan kebaikan masyarakat Islam di Australia,” katanya.
“Ya sedang diusahakan diadakan di beberapa tempat, seperti sekarang (sudah) ada Islamic Center di selatan Canberra. Satu lagi, ada usaha untuk membangun masjid di daerah utara di daerah Gungahlin,” tambahnya kemudian.
Zainal optimistis kerja sama dan keakraban antara komunitas Islam di Australia bisa terus terjaga dengan baik, seperti yang disaksikannya selama sudah 2,5 tahun bertugas di Australia.
Caroline Damanik / Kompas.com