Tabloidnova.com - Ternyata, anak-anak dari keluarga miskin kin boleh berlega. Di sekolah ini, semua biaya sekolah digratiskan, termasuk makan, tempat tinggal dan perlengkapan sekolah. Hebatnya lagi, sejak dini mereka juga dikader untuk menjadi pengusaha.
Suasana sejuk pegunungan di kawasan Desa Bumiaji, Batu, Malang malam itu terasa sangat meriah. Suara musik dari sound system terdengar menggelegar ditimpa permainan cahaya warna-warni yang tertata sangat apik. Dari balik balik panggung terbuka, muncullah para remaja putri dan putra silih berganti memerankan berbagai karakter. Sesuai dengan alur cerita Today is Tomorow, drama musikal itu menggambarkan perjuangan mereka, para pemain yang anak-anak yatim piatu miskin dari berbagai daerah, yang awalnya tidak memiliki impian namun di tempat itu dia didik dan akhrinya menjadi orang sukses.
Drama musikal dengan durasi selama satu jam lebih itu bukan sebuah imajinasi belaka tetapi sebuah cerminan nyata dari pemain yang ada di panggung. “Mereka para pemain itu adalah siswa-siswi SMA Selamat Pagi Indonesia (SMA SPI). Semuanya yatim piatu, yatim, atau piatu, anak-anak golongan ekonomi kelas bawah,” kata Didik Tri Hanggono, Wakil Kepala Sekolah SMA SPI, kepada NOVA, Kamis (16/6).
Harus Keluarga Miskin
Konsep SMA SPI memang agak berbeda dengan SMA pada umumnya. Dalam hal kurikulum misalnya, tidak persis dengan SMA lain. Tapi soal perekrutan siswa, sungguh jauh berbeda. Siswa SMA SPI adalah anak-anak yatim piatu, yatim, atau piatu atau dari keluarga yang tidak mampu dari daerah seluruh Indonesia. “Karena sekolah kami multikultural, jadi kami menerima anak-anak yang tidak mampu dari berbagai daerah, ras serta agama yang berbeda pula,” tambah Didik.
Menurut Didik, ide dasar sang pendiri SMA SPI, Julianto Eka Putra, diilhami tragedi 1998 yang sarat dengan nuansa SARA. Untuk mereduksi agar hal tersebut tidak terjadi lagi dan saling menguatkan rasa nasionalisme, tahun 2007 didirikanlah SMA SPI.
Di dalam sekolah yang berdiri di areal seluas 16 hektar tersebut terdapat berbagai bangunan yang cukup megah. Mulai dari asrama untuk putra putri, bangunan sekolah, tempat outbond, gerai makanan, gerai buku dan merchandise dan masih banyak lagi.
Selain itu, yang mungkin tidak didapat di sekolah lain adalah keberadaan kawasan spiritual garden dimana di dalamnya terdapat lima tempat ibadah, Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. “Tempat ibadah ini bukan hanya untuk pajangan tetapi setiap siswa wajib hukumnya untuk menaati agamanya masing-masing,” papar Didik.
Rekrutmen siswa, lanjut Didik, dilakukan secara ketat. Karena selain kuota daerah, ada 13 parameter yang menjadi acuan apakah seorang bisa diterima di SMA SPI atau tidak. Sesuai dengan konsepnya, siswa pemeluk agama Islam mendapat porsi terbesar, yakni 40%, sedang Kristen dan Katolik masing-masing 20%, serta Hindu dan Budha masing-masing 10%. Itu belum dibagi masing-masing kawasan Sumatera, Maluku, Kalimantan, Papua dan daerah lain yang harus ada. “Pokoknya kriteria kuota ini cukup njlimet, persis seperti orang menghitung perolehan Pemilu,” kata Didiik sambail tertawa.
Sementara 13 kriteria lain di antaranya adalah kondisi sosial ekonomi calon siswa. Yang diutamakan adalah mereka yang yatim piatu, yatim atau piatu saja, atau masih memiliki dua orangtua tapi miskin. Kemampuan akademik justru masuk urutan keenam atau tujuh. “Jadi, meski calon siswa itu anak pandai, tetapi kalau secara ekonomi masih terbilang bagus, pasti tidak akan diterima,” imbuhnya.
Diajari Berbisnis
Soal akademik tidak menjadi pertimbangan, karena bisa saja si calon siswa pada dasarnya anak yang cukup cerdas tetapi waktu SMP kalah bersaing. Misalnya karena tidak pernah ikui les atau menjelang ujian harus banting tulang membantu orangtuanya bekerja.