SMA Bagi Keluarga Miskin: Tujuannya Untuk Memutus Rantai Kemiskinan

By nova.id, Jumat, 15 Juli 2016 | 05:01 WIB
Sekolah keluarga miskin (nova.id)

Tabloidnova.com - Ternyata, anak-anak dari keluarga miskin kin boleh berlega. Di sekolah ini, semua biaya sekolah digratiskan, termasuk makan, tempat tinggal dan perlengkapan sekolah. Hebatnya lagi, sejak dini mereka juga dikader untuk menjadi pengusaha.

Suasana sejuk pegunungan di kawasan Desa Bumiaji, Batu, Malang  malam itu terasa sangat meriah.  Suara musik dari sound system terdengar menggelegar ditimpa permainan cahaya warna-warni yang tertata sangat apik.  Dari balik balik panggung terbuka, muncullah para remaja putri  dan putra silih berganti memerankan berbagai karakter.  Sesuai dengan alur cerita Today is Tomorow,  drama musikal itu menggambarkan perjuangan mereka, para pemain yang anak-anak yatim piatu miskin dari berbagai daerah, yang awalnya tidak memiliki impian namun di tempat itu dia didik dan akhrinya menjadi orang sukses.

Drama musikal dengan durasi selama satu jam lebih itu bukan sebuah imajinasi belaka tetapi sebuah cerminan nyata dari pemain yang ada di panggung. “Mereka para pemain itu adalah siswa-siswi SMA Selamat Pagi Indonesia (SMA SPI). Semuanya yatim piatu,  yatim, atau piatu, anak-anak golongan ekonomi kelas bawah,” kata Didik Tri Hanggono, Wakil Kepala Sekolah SMA SPI, kepada NOVA, Kamis  (16/6).

Harus Keluarga Miskin

Konsep SMA SPI memang agak berbeda dengan SMA pada umumnya. Dalam hal kurikulum misalnya, tidak persis dengan SMA lain. Tapi soal perekrutan siswa, sungguh jauh berbeda. Siswa SMA SPI adalah anak-anak yatim piatu, yatim, atau piatu atau dari keluarga yang tidak mampu dari daerah seluruh Indonesia. “Karena sekolah kami multikultural, jadi kami menerima anak-anak  yang tidak mampu dari berbagai daerah, ras serta agama yang berbeda pula,” tambah Didik.

Menurut  Didik, ide dasar sang pendiri SMA SPI, Julianto Eka Putra, diilhami tragedi 1998 yang sarat dengan nuansa SARA.  Untuk mereduksi agar hal tersebut tidak terjadi lagi dan saling menguatkan rasa nasionalisme, tahun 2007 didirikanlah SMA SPI. 

Di dalam sekolah yang berdiri di areal seluas 16  hektar tersebut terdapat berbagai bangunan yang cukup megah. Mulai dari asrama untuk putra putri, bangunan sekolah, tempat outbond, gerai makanan, gerai buku dan merchandise dan masih banyak lagi.

Selain itu, yang mungkin tidak didapat di sekolah lain adalah keberadaan kawasan spiritual garden dimana di dalamnya terdapat lima tempat ibadah, Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. “Tempat ibadah ini bukan hanya untuk pajangan tetapi setiap siswa wajib hukumnya untuk menaati agamanya masing-masing,” papar Didik.

Rekrutmen siswa, lanjut Didik, dilakukan secara ketat. Karena selain kuota daerah, ada 13 parameter yang menjadi acuan apakah seorang bisa diterima di SMA SPI atau tidak. Sesuai dengan konsepnya,  siswa pemeluk agama Islam mendapat porsi terbesar, yakni 40%, sedang Kristen dan Katolik masing-masing 20%, serta Hindu dan Budha masing-masing 10%. Itu belum dibagi masing-masing kawasan Sumatera, Maluku, Kalimantan, Papua dan daerah lain yang harus ada. “Pokoknya  kriteria kuota ini cukup njlimet, persis seperti orang menghitung perolehan Pemilu,” kata Didiik sambail tertawa.

Sementara 13 kriteria lain di antaranya adalah kondisi sosial ekonomi calon siswa. Yang diutamakan adalah mereka yang yatim piatu, yatim atau piatu saja, atau masih memiliki dua orangtua tapi miskin.  Kemampuan akademik justru masuk urutan keenam atau tujuh. “Jadi, meski calon siswa itu anak pandai, tetapi kalau secara ekonomi masih terbilang bagus, pasti tidak akan diterima,” imbuhnya.

Diajari Berbisnis

Soal akademik tidak menjadi pertimbangan, karena bisa saja si calon siswa pada dasarnya anak yang cukup cerdas tetapi waktu SMP kalah bersaing. Misalnya karena tidak pernah ikui les atau menjelang ujian harus banting tulang membantu orangtuanya bekerja.

“Rasanya tidak fair kalau anak miskin disetarakan dengan anak mampu. Selain itu, anak yang punya prestasi bagus biasanya sudah ditampung banyak perusahaan,” dalih Didik.

Lagi pula, lanjut Didik, pihak SMA SPI tidak mau terjebak dengan pemahaman anak pandai atau bodoh. “Dengan teknik mendidik yang tepat, anak yang ketika SMP ranking bawah di SMA SPI bisa lebih cemerlang.” Yang jelas, semua biaya hidup, pakaian sekolah bahkan pakaian pribadi dan uang saku bulanan ditanggung oleh SMA SPI.

Dan karena salah satu tujuan didirikannya SMA PI adalah untuk memutus rantai kemiskinan, maka selama bersekolah di SPI, siswa akan diajari entrepreneur, dengan harapan setelah lulus masing-masing anak memiliki  jiwa wirausaha. 

Jadwal jam sekolah setiap hari adalah pukul  07.30 - 15.30, setelah itu bagi yang muslim, usai salat Ashar akan dilanjutkan pendidikan wirausaha sampai menjelang pukul 18.00 atau menjelang salat Maghrib. “Itu jadwal Senin-Jumat, sedang Sabtu dan Minggu full untuk kegiatan wirausaha,” kata Didik sambil menambahkan bahwa untuk kegiatan wirausaha, SMA SPI mendatangkan trainer berbagai bidang dari luar sekolah.

Supaya anak-anak lebih bergirah belajar, pihak sekolah juga membiayai tur ke luar daerah, seperti ke wilayah Jatim untuk siswa kelas 1, Yogya (kelas 2), dan Bali (kelas 3). Sementara anak kelas 3 yang punya prestasi dalam bidang wirausaha akan dikirim ke Singapura, Hongkong, Macau, dan Cina. 

Pihak pengelola SMA SPI sengaja memberangkatkan ke luar negeri dengan tujuan agar rasa percaya diri anak-anak itu tumbuh sehingga melahirkan ide-ide cemerlang. “Anak dari kalangan tidak mampu kadangkala rasa mindernya tinggi. Nah setelah diberangkatkan ke luar negeri dengan fasilitas mewah,  biasanya muncul rasa bangga dan percaya diri. Dari sana biasanya lahir-lahir ide brilian.”

Salah satu contoh, drama musical Today is Tomorrow. Ide pementasan ini muncul ketika anak-anak SMA SPI melihat sebuah pertunjukan di Senzhen, China. Setiba di sekolah, mereka membuat alur cerita, perpaduan musik, koreografi sampai atraksi.  “Pihak sekolah membiayai proses membuat pergelaran sebesar Rp 1,2 milyar. Nah, kreativitas anak-anak ini tidak akan keluar jika tidak pernah menonton sebelumnya,” lanjut Didik.

Produsen Snack

Siswa-siswa SMA SPI juga sukses menghasilkan makanan kecil yang menjadi trade mark yaitu Coco Banana pada tahun 2010. Coco Banana, adalah makakan kecil yang berasal dari pisang dengan dibalut adonan beraneka rasa. Produk ini menjadi andalan dan saat ini omset per tahunnya mencapai Rp 12 milyar.

Dari Coco Banana itu lahir 13 divisi usaha lain, mulai divisi merchandise, resto, perhotelan, tour,  air minum isi ulang, perternakan, perikanan, pertanian, dan lain-lain. Saat ini masing-masing suku usaha omsetnya sudah mencapai Rp 12 milyar per tahun.  “Yang mengelola bisnis itu ya anak-anak sendiri.  Baik yang baru kelas 3 maupun yang sudah lulus. Anak-anak setelah lulus diberi kebebasan mau balik ke kampung halaman atau membuka usaha sendiri. Tetapi kalau masih tetap ingin bertempat tinggal dan bekerja di sini juga diperbolehkan,” jelas Didik. “Yang masih tetap bekerja di sini tentu akan digaji minimal UMR, tetapi itu sangat jarang. Sebab kalau usaha yang dikelolanya sudah besar, dia akan mendapat tambahan dari prosentase penghasilan.”  

Outlet untuk divisi resto, merchandise dan beberapa yang lain buka di dalam SMA SPI karena hampir setiap hari di kawasan SMA SPI ada kegiatan outbond atau training. Untuk outbond pemandunya adalah anak-anak SMA SPI sendiri, sedang trainernya biasanya Eka Julianto yang kebetulan seorang motivator.  Jadi, perputaran uang di sini cukup tinggi, karena setiap hari ada kegiatan, kunjungan,  training, maupun outbond. Selama kegiatan, para peserta pasti makan di resto atau memberi merchandise pada outlet yang dikelola anak SPI,”  jelas Didik.

Untuk menjaga kredibilitas maupun tujuan luhur didirikannya SMA SPI, tentu harus dibarengi dengan displin tinggi. Dan dari sekian banyak peraturan, ada tiga peraturan yang sangat kaku dan tidak boleh dilanggar.  Jika dilanggar, sanksinya pasti dikeluarkan. Pertama, dilarang mencuri, kedua, sesama siswa dilarang pacaran, dan ketiga, selama menjadi siswa atau mereka yang lulus tapi tetap tinggal di asrama dilarang pindah agama. “Kami tidak ingin ada stigma terjadi islamisasi atau Kristenisasi. Justru di sini anak-anak diharuskan memperdalam agamanya dengan baik,” kata Didik.

Pahlawan Bagi Keluarga

Salah seorang lulusan SMA SPi yang cukup berhasil dan kini tetap tinggal dan bekerja di SMA SPI adalah Fatcha (23) asal Jombang  (Jatim). Menurut bungsu dari tiga bersaudara ini, setiap siswa SMA SPI diharapkan bisa menjadi pahlawan, paling tidak pahlawan bagi keluarganya. 

Gadis yang kini mengembangkan usaha di bidang resto tersebut menceritakan bahwa dirinya tumbuh di tengah keluarga yang sangat miskin. “Sejak kelas 3 SD sampai kelas 3 SMP, sepulang sekolah saya harus menjadi pembantu rumah tangga di rumah salah seorang terpandang di desa saya demi membantu ekonomi keluarga,” katanya mengenang.

Saat itu sang ibu menderita diabetes dan lumpuh sehingga tidak bisa beraktivitas. Sementara sang ayah hanya seorang buruh tani di desa. “Mau tidak mau saya harus turun tangan membantu,” cerita Fatcha. Sang ibu sendiri akhirnya meninggal dunia saat Fatcha duduk di bangku kelas 3 SMP.

Setamat SMP, Fatcha mendapat informasi bahwa SMA SPI menerima anak-anak tidak mampu. Bahkan selain dididik sampai tamat SMA secara gratis, juga masih dididik menjadi seorang pengusaha. “Semula saya ragu, kok rasanya tidak mungkin ada SMA yang gratis sama sekali. Tapi ternyata memang benar,” ujar Fatcha.

Dengan disiplin dan kemandirian yang ditanamkan, Fatcha akhirnya berhasil menggapai impian untuk membahagiakan keluarga. Dari gaji dan uang bagi hasil dari keuntungan resto, ia bisa melunasi biaya haji sang ayah. “Insya Allah bapak akan naik haji tahun 2025. Saat ini saya juga sudah membangun rumah di desa,” katanya bangga.

Yang tak kalah bangga adalah Clara Rima Ratna Sari (20). Anak kedua dari tiga bersauadara asal Blitar (Jatim) tersebut selain sudah bisa membantu keluarganya di kampung, wawasan wirausahanya juga sudah berkembang. “Saya kulakan merchandise langsung ke Cina atau paling tidak ke Jakarta,” kata dara cantik bertubuh mungil tersebut.

Tak heran jika harga berbagai merchandise yang ia jual di outletnya di SMA SPI jauh lebih murah dibanding tempat lain. “Kami bukan reseller lagi tetapi sudah masuk kategori agen. Mainan anak atau merchandise lain yang dijual di Museum Angkut, Jatim Park, atau Kebun Binatang Surabaya misalnya, itu kulakannya ke sini,” kata gadis periang tersebut.

Padahal, jika menengok masa lalunya, hiudpnya sangat susah. Orangtuanya yang tinggal di daerah pelosok Blitar hanya pekerja serabutan sehingga hidupnya pas-pasan. “Puji Tuhan akhirnya saya bisa diterima di SMA SPI ini,” kata Clara yang kini sudah bisa membantu keluaraganya membangun rumah.

Salah satu yang membuat anak-anak SPI berhasil adalah karena sejak kelas 1 SMA, mereka sudah diarahkan untuk membuat dream book dan kapan harus mencapainya. Mimpi bukan bersifat abstrak semata tetapi bisa diwujudkan dalam bentuk fisik. Misalnya, bercita-cita membeli jenis handphone merk tertentu dua tahun lagi.  

“Untuk mendorong agar mimpi itu terkabul, maka HP yang diimpikan itu gambarnya ditempel dan disebutkan kapan tenggang waktu harus bisa dicapai,” papar Clara.

Gandhi Wasono M.