Pantas saja, di pulau ini terdapat perkebunan sawit seluas 246,1 km (Sebatik Selatan).
(Baca juga: Tempat Wisata Baru di Surabaya: Museum Surabaya, Catatan Pernikahan Zaman Belanda)
Kondisi perekonomian penduduk Sebatik bisa dibilang kurang berkembang.
Tak heran banyak warga setempat yang memilih ke negeri seberang bekerja sebagai buruh sawit, tenaga keamanan, dan buruh kasar.
Walaupun pulau kecil ini sering dikunjungi oleh pejabat negara namun kondisi masyarakat belum kunjung membaik.
Lantaran mengalami krisis air bersih, masyarakat pun turut memanfaatkan air hujan yang telah disaring untuk keperluan MCK sehari-hari.
Mereka menggunakan tendon air berukuran besar. Jika hujan tak kunjung datang bisa dipastikan warga tidak memiliki air. Harga air bersih untuk satu tendon ukuran besar dihargai Rp100.000/ hari.
Ironisnya, tetangga sebelah kondisinya jauh lebih baik. Perbedaan bisa dilhat dari hal-hal kecil. Misalnya, koin nominal Rp500 dan Rp1000 tidak diterima di sini.
(Baca juga: Sayur Gambas, Masakan Praktis Khas Kalimantan Barat)
Anak-anak kecil pun tak sudi menerima koin emisi terbaru. Harga barang paling murah seharga RM 30 sen atau setara dengan Rp3000.
Pulau Sebatik ini memberi bukti pembangunan wilayah Indonesia masih kalah dari tetangga Malaysia. Satu-satunya yang sama adalah matahari yang terik, tak peduli apakah di Anda berada wilayah Malaysia atau Indonesia. (*)