Mundur Selangkah, Maju Dua Langkah

By nova.id, Kamis, 14 Februari 2013 | 04:55 WIB
Mundur Selangkah Maju Dua Langkah (nova.id)

Mundur Selangkah Maju Dua Langkah (nova.id)

"Foto: Getty Images "

Istilah "diam itu emas" dalam rumah tangga bisa berarti banyak. Biasanya, hal ini dihubungkan dengan pertengkaran atau konflik, hingga salah satu pasangan harus berdiam diri dulu.

Konflik memang selalu ada dalam rumah tangga karena tak ada kehidupan rumah tangga yang stabil. "Bayangkan saja, jika rumah tangga hanya ada kebahagiaan, damai dan tenang. Ketika tua dan ingin membuat buku perjalanan hidup buat anak cucu, isinya pasti datar dan biasa saja. Tidak ada hikmah yang bisa diambil," kata Widiawati Bayu, psikolog dari PT Kasandra Persona Prawacana.  

Kehidupan rumah tangga, lanjut perempuan yang akrab dipanggil Widi ini, penuh dinamika tapi memiliki banyak hikmah. "Mulai bagaimana menyelesaikan konflik, memahami pasangan yang bisa dipakai sebagai pembelajaran."

Oleh karena itu, suami istri tak perlu takut berkonflik. Anggap saja konflik sebagai ajang belajar bersama. "Pembelajaran tersebut tidak akan diperoleh secara akademis. Kebanyakan belajar dari pengalaman sendiri dan pengalaman orangtua," tutur Widi yang sudah menikah selama 30 tahun ini.

Lalu, seperti apa prinsip "diam itu emas" dalam kehidupan berumah tangga? Tentu saja diam yang luwes dan melakukan komunikasi yang baik seperti delapan contoh berikut ini:

1 Saat terjadi pertengkaran dan suami istri dalam kondisi emosional, panas, tidak mau mengalah, memilih diam memang bijak. Istilahnya, jangan terjebak dalam pola berbeda. Misalnya, si istri bernada do, tapi suaminya bernada re. Akhirnya, dua-duanya sampai di nada sol alias tangga paling atas. "Bisa ditebak, yang terjadi jeritan, makian, nada tinggi, tapi masalah sebenarnya malah tidak jelas," ucap Widi.

2 Saat pasangan sedang berbicara, lebih baik Anda diam dulu. Jika Anda melakukan hal yang sebaliknya, sama saja dengan menyiram bensin ke api.

"Sebaiknya, diam dulu, lalu dengarkan apa yang diutarakan. Tapi, jangan pasif, jangan menuduh, dan jangan berpikir negatif. Anda harus benar-benar mendengarkan aktif, hadir secara fisik dan emosional." Tujuannya, untuk mencari tahu penyebab sebenarnya kemarahan pasangan.

3 Rasanya pasti gemas ketika pasangan berbicara dalam nada tinggi atau dibumbui tuduhan penuh curiga. Di saat seperti ini, tahan diri dan begitu semua reda, baru ajukan pertanyaan dengan lembut dan bernada rendah. Contohnya, "Kamu sedang ada masalah, ya?" atau "Kamu lagi marah kepada siapa, sih?"

Bertanya seperti ini akan membuat emosi pasangan turut turun. Harapannya, ia pun akan bercerita dengan nada yang sama. Setelah itu, berikan kalimat mengajak seperti, "Coba tenang dulu. Yuk, mari kita pikirkan dengan tenang." Intinya, jika semua dipikirkan dengan "kepala panas", hasilnya pasti gerah. Sebaliknya, nada rendah dan dingin pasti akan terasa sejuk, kan?

4 Sekian lama menikah, Anda pasti sudah tahu tabiat pasangan. Maka seharusnya, tambah Widi, Anda sudah tahu jangan ikut marah ketika pasangan sedang marah supaya keadaan tak makin runyam.

"Manusia diberi akal agar bisa melihat persoalan dan hikmahnya sehingga bisa melakukan perbaikan agar ke depannya jadi lebih baik," ujar Widi. Dan, ingatlah, meski bernama "diam", tindakan ini tak berarti minus respons. Prinsip ini lebih tepat diartikan sebagai merespons dengan kata-kata halus dan di saat yang tepat.

5 "Diam itu emas" juga bisa diaplikasikan di luar pernikahan. Misalnya, anak bermasalah di sekolah dan Anda merahasiakannya dari suami. Pertama, Anda tak ingin anak dimarahi. Kedua, Anda sengaja menunggu sampai solusinya ditemukan supaya masalah tak melebar.

Seperti yang disinggung Widi sebelumnya, pernikahan adalah proses belajar. Kita telah belajar mengenai tabiat pasangan yang mudah gelisah. Rasanya lebih bijak bila kita menunda bercerita supaya pasangan tak panik. Atau, selesaikan saja dulu masalahnya sebelum bercerita kepada pasangan.

6 Hubungan suami istri jangan sampai seperti hubungan kerja layaknya atasan dan bawahan. Menurut Widi, salah satu kliennya mempunyai suami yang dominan. Istri tidak boleh kerja, bahkan ikut arisan. "Pokoknya, tugas istri hanya mengurus anak di rumah," ucap Widi.

Hubungan semacam inilah yang harus dihindari karena tidak sehat. "Pilih diam saat suami dalam kondisi marah, sambil mencari celah, kapan bisa masuk bicara dengan suami." Pasalnya, tidak mungkin suami bisa dominan sepenuhnya. "Pasti ada saat melembutnya. Anda juga harus berbicara dengan penuh kelembutan," tambah Widi.

7 Prinsip "diam itu emas" juga bisa dilakukan saat mendiamkan pasangan yang berbuat tidak baik seperti berselingkuh. "Dia tahu pasti suaminya lebih galak kalau ditanya, maka istri mendiamkan tindakan itu," urai Widi.

Bahkan ketika bukti sudah di tangan, suami tetap membantah dan malah menuduh macam-macam. "Suatu saat harus bicara tapi jangan langsung menuduh. Berikan sebuah nilai-nilai. Misal, 'Pak, apa tidak capek pulang kerja selalu malam?' Padahal istri tahu, suami bukan pulang dari kantor," papar Widi.

8 "Diam itu emas" juga bisa mengakibatkan depresi atau stres. Misalnya, orang introvert yang tidak mempunyai keterampilan mengemukakan perasaan, terutama pada pasangan. "Apa yang diterima dari pasangan, menyenangkan atau tidak menyenangkan dia akan diam. Lama-lama dia akan menyimpan bara," urai Widi. Nah, diam seperti ini bukan "emas" tapi ketidakmampuan mengeluarkan pendapat. "Tekanan tersebut bisa jadi penyakit tertentu yang sebenarnya tidak sakit. Seperti mag atau stres," ujar Widi.

Hargai Si Dia

1 Cobalah belajar melakukan komunikasi yang bersifat timbal balik atau setara. Alias, jangan selalu merasa apa yang Anda utarakan sebagai kebenaran mutlak.

2 Hindari melontarkan tuduhan atau memotong pembicaraan pasangan untuk menghindari persepsi yang salah dan merendahkan diri sendiri.

3 Sebaiknya, benar-benar hadir untuk mendengarkan sampai selesai, baru memberikan respons.

4 Hargailah pasangan. Maksudnya, mandiri dalam rumah tangga boleh-boleh saja tapi tidak mungkin 100 persen mandiri. Pasalnya, merasa dibutuhkan pasangan sangat penting baik bagi laki-laki atau perempuan. "Perasaan dibutuhkan itu suatu hal yang tidak ternilai harganya," ucap Widi.

 Noverita K. Waldan