Atasi Gizi Buruk di Indonesia Timur dengan Melestarikan Kearifan Lokal

By nova.id, Rabu, 4 Maret 2015 | 23:36 WIB
Atasi Gizi Buruk di Indonesia Timur dengan Melestarikan Kearifan Lokal (nova.id)

TabloidNova.com - Berdasarkan data Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan di tahun 2013, tingkat stunting (tinggi badan menurut umur kurang) di Indonesia masih tergolong tinggi, yakni sekitar 37,2 persen. Wilayah Indonesia Timur disebut sebagai wilayah dengan pervalensi yang lebih tinggi dibandingkan kondisi nasional.

Tingkat kerawanan pangan di antara para kepala keluarga di TTS juga ditemukan sangat tinggi, yakni di level 90 persen. Selain itu, tingkat keberagaman pangan di TTS juga sangat rendah, di mana mayoritas warganya kekurangan vitamin A.

Sementara itu, 85 persen dari total rumah tangga di TTS sangat bergantung pada sektor pertanian. Dampaknya, perilaku gizi dan perawatan anak atau pemberian makan bayi dan anak menjadi kurang optimal.

Melalui program RANTAI (Aksi Segera Inisiatif Gizi dan Pertanian), Mondelez International (Indonesia) bersama Helen Keller Interntional (HKI) Indonesia merancang berbagai program di bidang gizi, kesehatan mata, juga pendidikan inklusif. Mereka melakukan pendampingan kepada 4.001 rumah tangga di 74 desa di 17 kecamatan di Kabupaten TTS, NTT.

"Sudah ada sebanyak 200 kebun contoh dibuat selama berlangsungnya program ini. Dan sayur-sayuran yang digunakan di dalam program ini juga bervariasi. Ada buncis, terung, bayam hijau dan merah, tomat, pare, kangkung, wortel, cabai, bawang merah, sayuran hijau, labu siam, dan selada," papar Mardewi, Nutrition Program Manager HKI Indonesia. 

Pihaknya juga ikut menyusun resep dan menu dengan gizi seimbang yang beragam untuk bayi 6 bulan, balita, dan keluarga untuk mengolah hasil pertanian warga TTS, NTT.

Agar program ini dapat terus berjalan dan berkesinambungan, imbuh Mardewi, pelatihan yang diberikan tetap dengan cara melestarikan kearifan lokal selama ini.

"Jadi kami tidak mengubah sistem atau struktur masyarakat yang sudah ada, termasuk cara warga bertani. Kami tinggal memberi pendampingan dalam upaya peningkatan kesadaran nutrisi, terutama bagi masa depan anak-anak mereka."

Intan Y. Septiani