Di pelataran rumah, remaja berpostur semampai itu lincah memainkan bola. Gerakannya cekatan, dribling-nya oke. Tapi, kali ini dia tak bisa terlalu bersemangat menggocek si kulit bundar, seperti yang biasa ia lakukan bersama teman-temannya di lapangan desa.
"Saya belum berani gerak berlebih, soalnya jahitannya masih belum sembuh," kata Silvia, yang kini mengubah namanya menjadi Rahmat Nur Hidayat, ketika ditemui NOVA di rumahnya di Desa Grudo, Ngawi (Jatim), Selasa (27/1).
Yang dimaksud Rahmat dengan "jahitannya belum sembuh" adalah jahitan di bagian organ genitalnya. Ya, pekan sebelumnya, Rahmat harus menjalani operasi penyempurnaan bentuk kelamin. Selama ini, siswa kelas 8 SMPN 3 Ngawi, Jawa Timur, itu dikenal sebagai anak perempuan. Belakangan diketahui bahwa Silvia sebenarnya lelaki tulen.
"Selama ini kami tidak tahu kalau dia sebenarnya lelaki, makanya begitu tahu ia laki-laki, namanya kami ubah jadi Rahmat Nur Hidayat," kata Paini (38), Sang Ibunda yang mendampingi Rahmat.
Nama Perempuan
Jalan hidup remaja 15 tahun ini memang unik. Ketika lahir, bidan yang membantu kelahirannya menyebut ia berjenis kelamin perempuan. Nama yang diberikan kedua orangtuanya pun cantik, Silviana Putri Damayanti. Tak ada yang menyadari jika sejatinya Silvia adalah lelaki tulen. Akibatnya, 15 tahun lamanya dia harus menyandang predikat sebagai seorang perempuan dan berperilaku sebagai perempuan.
Paini mengisahkan, awalnya tidak ada yang meragukan jenis kelamin Silvia. Tak terbersit sedikit pun keraguan di benak Paini soal jenis kelamin sang anak.
"Lagipula, Silvi juga tumbuh normal layaknya anak perempuan, termasuk organ genitalnya," tambahnya. Kelahiran anak pertamanya itu disambut dengan penuh sukacita. "Bahagia sekali, namanya juga anak pertama," lanjutnya. Tapi, karena lahir prematur, berat badan Silvia kecil hanya 2,4 kilogram dan harus ditempatkan di inkubator selama tiga hari.
Sejak kecil, Paini maupun keluarga besarnya juga memperlakukan Silvia seperti anak perempuan pada umumnya. Misalnya, dikenakan pakaian perempuan, mainan yang diberikan biasanya boneka atau peralatan memasak, dan sebagainya. "Ya seperti ibu-ibu lainnya yang punya anak perempuanlah," cerita Paini.
Perilaku Berubah
Namun, semuanya mulai berubah saat Silvia duduk di kelas 5 SD. Saat itu, ia mulai enggan berbaur dan bermain dengan teman perempuan sebayanya. Ia mulai suka bergaul dengan teman-teman lelaki dan meminta rambutnya dipotong pendek. "Ia juga tidak lagi gemar bermain boneka, tapi lebih suka bermain sepakbola di lapangan desa," tambah Paini.
Bahkan, "Kalau naik sepeda, setelah sepeda dikayuh kencang, kedua kakinya dinaikkan ke atas kemudi sepeda sambil bergaya-gaya," cerita Paini yang bekerja di Surabaya, sementara Silvia tinggal dengan sang nenek dan saudara-saudaranya yang lain.
KOMENTAR