Jika bicara soal pelajaran, saat SMP aku selalu masuk ranking antara 1-3, begitu juga awal SMA masih bagus. Tapi saat kelas 2 dan 3 aku kehilangan motivasi karena tidak menyukai jurusan yang aku pilih sendiri. Di sekolahku, SMA 1 Bogor, ada 1 kelas Sosial, 5 kelas Fisika, dan 2 kelas Biologi. Kupikir, kalau mau jadi warganegara kelas satu, harus masuk Fisika. Selama menjalaninya aku tidak pernah merasa suka, meskipun tidak ada yang memaksaku.
Karena enggak suka dengan mata pelajaran itu, aku melarikan diri ikut organisasi sekolah seperti pramuka, paskibraka, majelis pertimbangan siswa. Aku enggak begitu suka masuk OSIS karena terlalu banyak nuansa hedonisme.
Saat Ebtanas aku mulai termotivasi lagi karena targetku masuk UMPTN. Aku sengaja kos di Bogor karena mau konsentrasi belajar. Pasalnya, jika aku enggak suka pelajarannya lalu enggak lulus, aku enggak bisa jadi apa-apa. Akhirnya selama 3 bulan aku belajar Fisika, Matematika ternyata bisa enjoy. Satu-satunya pelajaran yang aku enggak bisa adalah Kimia. Heran juga, ya, kenapa, sih, harus ada pelajaran itu, apa perlunya menghitung rantai karbon. Nilai paling bagus PMP dapat 9.
Anehnya, saat UMPTN aku malah enggak ambil jurusan Fisika. Justru mendaftar ke IPS dengan modal menguasai bahasa Inggris dan Matematika. Aku memilih Fakultas Ekonomi UI karena ingin jadi manajer. Pilihan kedua, Hubungan Internasional karena ingin jadi diplomat.
Ketika akhirnya diterima di Ekonomi, aku ingin memilih jurusan manajemen. Tapi teman-teman bilang, buat apa ambil manajemen, karena pelajaran itu bisa diperoleh dengan membaca dan belajar sendiri. Aku disarankan mengambil akuntansi. Ternyata begitu masuk harus belajar angka, kok, enggak asyik, ya. Enggak ada sesuatu yang membuatku tertarik. Kerjanya menghitung terus. Aku tidak bisa mendengar cerita, intrik, atau strategi seperti dalam politik.
Jadi Penyiar
Selama kuliah banyak kendala finansial yang kurasakan. Sekali waktu ketika harus membayar uang kuliah, Papa hanya punya uang Rp 200 ribu. Kekurangannya Rp 300 ribu harus kucari sendiri. Aku enggak kerja, kakakku masih sekolah di Medan, mau pinjam ke saudara enggak enak. Lalu, aku memutar akal mencari bantuan pinjaman uang ke Pudek di kampus UI. Tentu saja aku dimarahi karena itu hari terakhir pembayaran, kalau tidak bayar aku enggak bisa ikut ujian. Akhirnya aku dapat pinjaman, tapi aku jadi berpikir enggak bisa terus-terusan begini.
Sampai ketika di tengah belajar sambil mendengarkan radio, kebetulan radio SK lagi buka lowongan. Mungkin kalau kerja di radio biasa enggak masalah ya, tapi ini, kan, radio SK, orang enggak akan percaya aku bisa kerja di sana. Radio SK yang harus ngelucu, banyol, sementara aku dikenal introvert, pendiam, kaku, susah bergaul, penyendiri. Karena ada motivasi kuat untuk bertahan hidup, jadi mau enggak mau harus melamar ke sana.
Aku masih ingat ketika pertama kali melamar kerja, aku berangkat jam 06.00 pagi naik kereta api yang penuh sesak. Dari Depok sampai Manggarai berdiri sambil menginjak nangka orang. Ha ha ha. Sampai di sana banyak sekali yang mendaftar, aku enggak yakin bisa diterima. Karena kalau mendengarkan suara sendiri di rekaman, suaraku aneh, janggal, kayak anak kecil tapi dewasa, enggak berwibawa seperti Sambas, penyiar TVRI.
Di luar dugaan, aku diterima Agustus 1996 dan siaran pertama September. Aku membawakan program SK Top Airplay, dimana aku harus nge-DJ. Jadi, tidak diarahkan jadi pelawak tapi DJ. Untungnya aku suka musik dan lumayan menguasai. Bisa ditebak, kan, aku yang enggak main keluar dan betah di rumah, satu-satunya hiburan, ya, radio. Makanya aku paham lagu-lagu hits.
Mulailah aku membagi gajiku yang Rp 280 ribu untuk berbagai kebutuhan. Nah, setiap siaran aku dibayar Rp 5.500 per jam, bagiku itu sebuah kesempatan, jika ada jam kosong aku yang menggantikan. Aku bagi untuk ongkos, makan, kos, tabungan buat nyicil uang kuliah, malah masih bisa nabung tiap bulan Rp 100 ribu. Kalau masih ada sisa aku kasih ke Mama. Dengan uang sejumlah itu, aku enggak bisa dugem atau gaul. Untungnya aku juga enggak suka hal-hal seperti itu. Paling nonton film, dengar musik, baca buku, sudah cukup bagiku. Kalau sudah ada tiga hal itu, bisa seharian di kamar kos.
Jeleknya, perlahan-lahan kuliah mulai kuabaikan. Apalagi aku, kan, enggak suka mata kuliahnya. Meski kampusku di Depok, aku malah kos di Kebon Jeruk, kantor Radio SK, karena harus mendekatkan ke sumber uang. Kalau ambil siaran pagi jam 06.00-09.00, berarti aku enggak ikut mata kuliah pertama. Alhasil IP ku jeblok.
Kelak aku memutuskan mengambil S2, paling enggak ingin menunjukkan ke diriku bahwa aku enggak bodoh, cuma enggak suka pelajarannya saja. Buktinya waktu S2, IP ku 3,695.
Noverita K. Waldan/bersambung