Alfito Deannova (1): Sejak SD Tertarik Intrik Politik

By nova.id, Rabu, 27 Januari 2010 | 11:27 WIB
Alfito Deannova 1 Sejak SD Tertarik Intrik Politik (nova.id)

Alfito Deannova 1 Sejak SD Tertarik Intrik Politik (nova.id)

"Alfito Deannova (Foto: Daniel Supriyono) "

Sekilas, jika orang mendengar namaku banyak yang bertanya darimana asalku. Papaku, Muhammad Nurdjaya Gintings berasal dari Medan, dan Mama, Purwandhani dari Madiun. Aku lahir di Jakarta, 17 September 1976. Papa memberi nama Alfito, karena Papa keranjingan aktor Al Pacino. Lalu, di tahun 1976, kebetulan sedang ramai film mafia, dan salah satu tokohnya bernama Vito Corleone. Berhubung aku lahir mendekati Idul Fitri namaku menjadi Alfito (hidup). Papa juga menggemari James Dean, aktor film. Ditambahkanlah nama Dean (cerdas, pintar) dan Nova (bintang). Jadi, harapannya aku menjadi bintang yang cerdas dan pintar.

Aku anak kedua dari 4 bersaudara. Kakakku, Almaycano Gintings, adikku Al Reyno De Carba Gintings, dan Nuzlya Ramadhani Gintings, satu-satunya perempuan. Saat melihat foto kecilku, sampai usia tertentu aku terlihat masih ceria. Namun aku mengalami perubahan saat kelas 5, aku sendiri enggak tahu kenapa. Saat aku kelas 3 SD, Papa keluar dari pekerjaannya di sebuah perusahaan karena perbedaan paham. Sejak itulah kondisi kehidupan kami jadi enggak bagus. Papa tetap bekerja meski serabutan.

Mungkin karena itulah aku jadi serius menanggapi hidup, karakterku berubah menjadi orang yang enggak terlalu suka bicara dengan orang lain kalau enggak perlu. Karakterku menjadi lebih banyak berpikir, ngobrol sendiri, baca buku, dan menulis. Ada kecenderungan aku enggak pede, minder, lebih tertutup. Aku tidak pernah main dengan komunitas tertentu atau punya geng seperti layaknya anak-anak sekolah.

Kendala lain, kami suka berpindah-pindah rumah, yang membuatku lelah beradaptasi. Mulai dari Jalan Pemuda, Cipinang, Pancoran, lalu pindah ke Medan sampai 4 kali di rumah berbeda. Depok pindah dua kali, Parung, balik lagi ke Medan, dan Kranggan. Waduh, bisa 15 kali pindah rumah.

Sejak kelas 4 SD, aku senang politik. Ketika anak-anak kecil lain lebih menyukai membaca komik Tintin, aku malah minta dibelikan ayah buku G 30S/PKI. Kalau mendengar cerita dari kakek yang seorang mantan Cakrabirawa, aku selalu tertarik. Makanya aku bercita-cita ingin menjadi tentara, karena melihat kegagahan kakek. Tapi karena pakai kacamata sejak kelas 2 SMP impian itu terpaksa aku kubur. Tapi, sampai sekarang pun masih ada keinginan jadi tentara.

Penurut & Tertib

Papa banyak memberikan inspirasi bagiku. Yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan orang sudah dia pikirkan lebih dulu. Papa juga punya kemampuan memotivasi yang bagus. Misalnya, ketika aku lelah bekerja. Kerjaku bagus tapi enggak ada yang memperhatikan atau peduli. Padahal jika dibandingkan dengan orang lain, kerjaku lebih banyak. Lalu Papa tanya, "Kamu kerja buat orang atau diri sendiri. Hakikatnya, kerja itu buat sendiri, lalu yang dicari apa, harta? Bukan, tapi kepuasan. Ada sesuatu yang tidak bisa dibayar dengan apapun. Kerja keras kalau hasilnya bagus yang menikmati diri sendiri. Puas dalam arti bisa melakukan sesuatu yang orang lain belum tentu bisa. Jadi, ikhlaskan saja jika tidak ada orang yang menilai. Atau orang tidak peduli dengan prestasi kamu. Biarkan saja masih ada Tuhan yang memberikan." Mendengar itu, hatiku tenang. Aku kembali semangat kerja dan bisa melewati semuanya.

Sementara sosok Mama penuh kasih sayang. Aku memang lebih dekat ke Mama karena seharian beliau mengurus kami. Mama mengajarkan bagaimana menghargai orang, siapapun aku sekarang. "Orang bisa seperti kamu mungkin karena dia mendapatkan jalan yang lebih baik. Selalu menghormati orangtua dan jangan bohong," bagitu nasihat Mama.

Bisa dibilang aku adalah gambaran anak yang tidak nakal, mungkin paling penurut. Pulang sekolah langsung ke rumah. Di antara bersaudara, aku paling pendiam. Adikku malah paling gampang berkenalan dengan orang. Hidupku cenderung tertib. Dalam benakku selalu tergambar semua harus tertata dengan baik. Misalnya, waktu kerja dapat uang sendiri, sudah terpikir bagaimana membaginya. Pokoknya enggak boleh dipakai buat hal-hal lain. Mau beli sesuatu harus dipikirkan dapatnya darimana. Begitu juga menjalani hidup harus pakai target dan tertib. Ada rencana tahun depan mau jadi apa, lima tahun ke depan melakukan apa.

Diplomat & Manajer

Jika bicara soal pelajaran, saat SMP aku selalu masuk ranking antara 1-3, begitu juga awal SMA masih bagus. Tapi saat kelas 2 dan 3 aku kehilangan motivasi karena tidak menyukai jurusan yang aku pilih sendiri. Di sekolahku, SMA 1 Bogor, ada 1 kelas Sosial, 5 kelas Fisika, dan 2 kelas Biologi. Kupikir, kalau mau jadi warganegara kelas satu, harus masuk Fisika. Selama menjalaninya aku tidak pernah merasa suka, meskipun tidak ada yang memaksaku.

Karena enggak suka dengan mata pelajaran itu, aku melarikan diri ikut organisasi sekolah seperti pramuka, paskibraka, majelis pertimbangan siswa. Aku enggak begitu suka masuk OSIS karena terlalu banyak nuansa hedonisme.

Saat Ebtanas aku mulai termotivasi lagi karena targetku masuk UMPTN. Aku sengaja kos di Bogor karena mau konsentrasi belajar. Pasalnya, jika aku enggak suka pelajarannya lalu enggak lulus, aku enggak bisa jadi apa-apa. Akhirnya selama 3 bulan aku belajar Fisika, Matematika ternyata bisa enjoy. Satu-satunya pelajaran yang aku enggak bisa adalah Kimia. Heran juga, ya, kenapa, sih, harus ada pelajaran itu, apa perlunya menghitung rantai karbon. Nilai paling bagus PMP dapat 9.

Anehnya, saat UMPTN aku malah enggak ambil jurusan Fisika. Justru mendaftar ke IPS dengan modal menguasai bahasa Inggris dan Matematika. Aku memilih Fakultas Ekonomi UI karena ingin jadi manajer. Pilihan kedua, Hubungan Internasional karena ingin jadi diplomat.

Ketika akhirnya diterima di Ekonomi, aku ingin memilih jurusan manajemen. Tapi teman-teman bilang, buat apa ambil manajemen, karena pelajaran itu bisa diperoleh dengan membaca dan belajar sendiri. Aku disarankan mengambil akuntansi. Ternyata begitu masuk harus belajar angka, kok, enggak asyik, ya. Enggak ada sesuatu yang membuatku tertarik. Kerjanya menghitung terus. Aku tidak bisa mendengar cerita, intrik, atau strategi seperti dalam politik.

Jadi Penyiar

Selama kuliah banyak kendala finansial yang kurasakan. Sekali waktu ketika harus membayar uang kuliah, Papa hanya punya uang Rp 200 ribu. Kekurangannya Rp 300 ribu harus kucari sendiri. Aku enggak kerja, kakakku masih sekolah di Medan, mau pinjam ke saudara enggak enak. Lalu, aku memutar akal mencari bantuan pinjaman uang ke Pudek di kampus UI. Tentu saja aku dimarahi karena itu hari terakhir pembayaran, kalau tidak bayar aku enggak bisa ikut ujian. Akhirnya aku dapat pinjaman, tapi aku jadi berpikir enggak bisa terus-terusan begini.

Sampai ketika di tengah belajar sambil mendengarkan radio, kebetulan radio SK lagi buka lowongan. Mungkin kalau kerja di radio biasa enggak masalah ya, tapi ini, kan, radio SK, orang enggak akan percaya aku bisa kerja di sana. Radio SK yang harus ngelucu, banyol, sementara aku dikenal introvert, pendiam, kaku, susah bergaul, penyendiri. Karena ada motivasi kuat untuk bertahan hidup, jadi mau enggak mau harus melamar ke sana.

Aku masih ingat ketika pertama kali melamar kerja, aku berangkat jam 06.00 pagi naik kereta api yang penuh sesak. Dari Depok sampai Manggarai berdiri sambil menginjak nangka orang. Ha ha ha. Sampai di sana banyak sekali yang mendaftar, aku enggak yakin bisa diterima. Karena kalau mendengarkan suara sendiri di rekaman, suaraku aneh, janggal, kayak anak kecil tapi dewasa, enggak berwibawa seperti Sambas, penyiar TVRI.

Di luar dugaan, aku diterima Agustus 1996 dan siaran pertama September. Aku membawakan program SK Top Airplay, dimana aku harus nge-DJ. Jadi, tidak diarahkan jadi pelawak tapi DJ. Untungnya aku suka musik dan lumayan menguasai. Bisa ditebak, kan, aku yang enggak main keluar dan betah di rumah, satu-satunya hiburan, ya, radio. Makanya aku paham lagu-lagu hits.

Mulailah aku membagi gajiku yang Rp 280 ribu untuk berbagai kebutuhan. Nah, setiap siaran aku dibayar Rp 5.500 per jam, bagiku itu sebuah kesempatan, jika ada jam kosong aku yang menggantikan. Aku bagi untuk ongkos, makan, kos, tabungan buat nyicil uang kuliah, malah masih bisa nabung tiap bulan Rp 100 ribu. Kalau masih ada sisa aku kasih ke Mama. Dengan uang sejumlah itu, aku enggak bisa dugem atau gaul. Untungnya aku juga enggak suka hal-hal seperti itu. Paling nonton film, dengar musik, baca buku, sudah cukup bagiku. Kalau sudah ada tiga hal itu, bisa seharian di kamar kos.

Jeleknya, perlahan-lahan kuliah mulai kuabaikan. Apalagi aku, kan, enggak suka mata kuliahnya. Meski kampusku di Depok, aku malah kos di Kebon Jeruk, kantor Radio SK, karena harus mendekatkan ke sumber uang. Kalau ambil siaran pagi jam 06.00-09.00, berarti aku enggak ikut mata kuliah pertama. Alhasil IP ku jeblok.

Kelak aku memutuskan mengambil S2, paling enggak ingin menunjukkan ke diriku bahwa aku enggak bodoh, cuma enggak suka pelajarannya saja. Buktinya waktu S2, IP ku 3,695.

Noverita K. Waldan/bersambung