Iman Surahman, 'Pemburu' Anak Korban Bencana

By nova.id, Minggu, 15 November 2009 | 19:03 WIB
Iman Surahman Pemburu Anak Korban Bencana (nova.id)

Dongeng apa saja yang Anda ceritakan?

Yang paling sering antara lain dongeng tentang film kartun, fabel, dan dongeng tentang perjalanan saya sendiri menuju ke lokasi bencana. Saya kumpulkan anak-anak, lalu saya gambar pulau Jawa dan Sumatera. Saya banyak mengarang sendiri dongeng saya, jumlahnya mungkin sudah ratusan. Teman-teman minta saya membukukan dongeng itu, tapi saya enggak ada waktu.

Setelah anak-anak dekat, barulah saya cerita tentang kehidupan mereka sendiri, dan menyangkutkannya dengan bencana yang terjadi. Misalnya, ketika mereka menangis minta bantuan, saya jelaskan bahwa bantuan dan mainan bisa habis, yang tidak bisa habis adalah saudara dan pahala.

Apakah pemulihan mental anak-anak yang Anda lakukan berhasil?

Hasilnya baru akan terlihat setelah dua minggu. Pada saat itu, saya akan mengundang psikolog untuk hadir dan ikut menilai. Sebelumnya, saya tanamkan terus ketegaran di pikiran dan hati anak-anak, sampai akhirnya mereka betul-betul paham pada siapa mereka bisa meminta. Kalau sudah begini, orangtua pasti juga akan malu kalau menuntut bantuan ini-itu dan mencerca pemerintah.

Sebab, biasanya ketika saya mendongeng, orangtua ada di sekitar mereka dan ikut mendengarkan. Nah, di sinilah saya mulai "masuk" mendekati orangtua, mengajak mereka bangkit. Sebab, bantuan paling lama berlangsung selama tiga bulan, setelah itu habis.

Pernah dicueki anak-anak ketika mendongeng?

Pernah. Waktu itu saya sedang mendongeng di depan sekitar 1.200 anak di acara yang diadakan Ikatan Guru Taman Kanak-Kanak di TMII. Waktu sedang asyik mendengarkan dongeng saya, konsentrasi anak-anak bubar gara-gara penjual balon, kuda-kudaan dan mainan lain pada lewat. Kalah deh, saya. Haha...

Sampai kapan akan terus mendongeng untuk anak-anak?

Saya akan terus menjalani peran ini, sampai akhirnya Tuhan menilai saya sudah tidak mampu.

Omong-omong, ketika berada di lokasi bencana, bagaimana survival diri Anda sendiri, mengingat di sana pasti minim fasilitas?

Ketika saya di lokasi bencana di Bengkulu, kondisinya lebih "ngeri". Bahkan MCK tidak ada, tapi saya harus beradaptasi dengan para korban. Saya tidur bersama mereka di pengungsian. Apa yang mereka makan, saya makan. Dengan begitu, saya tahu betul apa yang mereka rasakan dan butuhkan. Tanpa kita korek, mereka akan terbuka sendiri pada kita. Dan dengan sendirinya, akan terbentuk dapur umum komunitas para korban. Acara masak bareng para ibu-ibu ini yang membuat para korban saling curhat dan bercanda. Ini bagian dari pemulihan psikis.

Anda pasti lama dong, di lokasi bencana. Bagaimana dengan anak-istri?

Saya bersyukur istri, Ery Setyowati memahami pekerjaan saya. Begitu di teve melihat ada bencana, dia langsung menyiapkan pakaian saya di tas. Karena dia yakin, saya pulang ke rumah hanya untuk mengambil pakaian dan mencium kening istri dan dua anak kami. Kalau sedang ada bencana, di rumah saya paling hanya 7 hari dalam sebulan.

Waktu gempa di Padang tahun 2003, istri memberitahu Adib, anak kami, sakit. Tapi karena sudah dibawa ke dokter, saya agak tenang. Baru setelah Adib masuk ICU, istri memberi kabar. Malam itu juga saya berangkat ke Jakarta, tidak peduli berapa pun harga tiket pesawat. Sampai di rumah sakit saya nangis, anak saya tidak boleh ditemani siapa pun di ICU, tubuhnya penuh selang dan infus di tangan-kaki.

Saya hanya berdoa, kalau saya teledor karena memikirkan orang lain, semoga Tuhan yang memikirkan anak saya. Alhamdulillah, tak lama di ICU kondisinya membaik.

Anak-anak saya juga memahami pekerjaan saya, malah bilang ingin seperti saya. Pada mereka dan istri, saya selalu tekankan bahwa banyak anak dan istri di lokasi bencana yang tidak bisa bertemu ayah dan suaminya lagi karena sudah meninggal, tapi keluarga saya akan bertemu saya lagi dalam beberapa minggu, dan selalu mendengar suara saya lewat telepon saat di lokasi bencana.

Hasuna Daylailatu