Riana Kesuma Astuti: Mudah-mudahan Batik Bukan Tren Sesaat

By nova.id, Minggu, 11 Oktober 2009 | 17:13 WIB
Riana Kesuma Astuti Mudah mudahan Batik Bukan Tren Sesaat (nova.id)

Riana Kesuma Astuti Mudah mudahan Batik Bukan Tren Sesaat (nova.id)
Riana Kesuma Astuti Mudah mudahan Batik Bukan Tren Sesaat (nova.id)

"Bersama suami dan anak-anak yang sangat mendukungnya (Foto: Ahmad Fadilah/NOVA) "

Bagaimana Anda bisa terjun berbisnis batik?

Sejak umur 8 tahun, saya terbiasa membantu orangtua saya, Priyono Atmo Priyanto dan Sri Kusrini, yang jadi pengusaha batik di Solo. Tiap pulang sekolah, saya membantu mengemplong (memukul tumpukan kain batik dengan palu kayu, Red.) biar rapi sebelum dijual. Setelah itu, saya dan kakak-kakak saya menjualnya di Pasar Klewer.

Jadi, bakat marketing tanpa saya sadari sudah terpupuk sejak kecil. Waktu itu, saya juga terbiasa mengamati ayah saya menimbang obat batik dan para pekerja memproses kain batik. Saat kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Solo tahun 1987, teman-teman kuliah yang dari Jakarta sering minta dicarikan batik untuk oleh-oleh buat orangtua mereka. Dari situlah saya tersadar, sebetulnya saya punya kesempatan besar. Sebab, permintaan ada, penyuplai juga ada. Keluarga besar saya bahkan nenek saya kan, pedagang batik. Berbekal batik pinjaman dari Kakak, Om, dan Tante, saya berjualan. Sejak itulah saya tidak pernah berhenti berjualan batik, sampai sekarang.

Apa yang pertama kali Anda jual?

Lurik. Alhamdulillah, dari awalnya hanya tujuh potong yang saya jual, sekarang jadi sebanyak ini. Dulu, orangtua teman-teman saya ternyata suka batik saya, dan selalu minta dibawakan lagi, bahkan mereka kulakan pada saya. Kalau libur semesteran, saya selalu ke Jakarta bawa batik sekoper untuk dijual. Di sana, saya menumpang di rumah pacar yang sekarang jadi suami, R. Andiona Boedisoejoto.

Waktu itu, saya juga kerap diajak ibu pacar saya, ikut pertemuan kelompok arisan di Bank Indonesia. Bahkan beliau pergi bowling pun, saya ikut sambil membawa batik. Saat itu, peminat batik masih para kalangan mapan dan hanya dipakai acara tertentu. Sampai sekarang, ibu-ibu pensiunan BI itu tetap jadi pelanggan setia saya.

Anda menikmati usaha kecil-kecilan itu?

Sangat, enggak ada kata capek buat saya. Selain mendapatkan pengalaman batin tak ternilai, saya menikmati proses berinteraksinya, dan menjadikan pembeli sebagai guru. Saya juga bisa menabung dan membiayai kuliah.

Sempat bekerja kantoran?

Ya. Lulus kuliah tahun 1992, saya diterima bekerja di sebuah department store, sebagai asisten manajer lantai yang mengurusi penjualan batik di situ. Tiga bulan kemudian saya mengundurkan diri karena tidak betah. Lagipula, tahun itu juga saya menikah. Tabungan berdua kami jadikan uang muka untuk beli rumah di Bintaro, Jakarta.

Lalu?

Saya putuskan untuk tetap berdagang batik di rumah. Tiap hari makin banyak tetangga dan pelanggan datang membeli batik, sampai istirahat saya terganggu dan anak-anak saya, M. Rio Rahmana (15) dan M. Andri Fakhriputra (14) tidak leluasa lagi bermain, karena rumah penuh batik dan tamu. Tahun 1997 saya mencicil toko di dekat rumah. Saya juga membina beberapa perajin antara lain dari Pekalongan, Solo, dan Cirebon, serta dibantu seorang sahabat untuk menggambar desain batik yang saya inginkan.

Meski punya keterbatasan, saya ingin agar orang-orang di situ tidak perlu jauh-jauh kalau mau cari batik. Yang penting, saya punya kriteria sendiri untuk batik-batik yang saya jual agar tetap berkualitas, baik dari sisi corak dan pemilihan warna yang tidak terlalu ramai, maupun model. Jadi, pemakainya terkesan elegan. Saya memang mengambil segmen pasar kalangan menengah. Alhamdulillah, makin hari makin diminati orang.

Sering ikut pameran?

Ya, sejak 1997 sampai sekarang. Tahun 2004-2007 malah saya bisa lima kali dalam setahun pameran di Malaysia. Ke Jepang dan Singapura juga sering. Tapi sejak harga minyak mentah dunia naik, warga Malaysia banyak melakukan penghematan dan saya juga jarang pameran di sana lagi. Yang mengharukan, ketika saya diundang ke Jepang oleh salah satu pelanggan di sana. Saya pikir hanya akan disambut oleh dua orang saja, ternyata si pengundang mengajak seluruh stafnya menyambut saya. Sekarang saya lebih sering pameran di Jakarta. Lalu untuk menjangkau pasar yang lebih luas, saya juga membuka gerai di Pasaraya dan Sarinah. Juga ikut pameran di Cilandak Town Square tiap Rabu, dan setahun belakangan saya buka gerai di Metro dan Sogo Department Store.

Apa pengalaman Anda ikut pameran di Malaysia?

Waktu pertama kali ikut, saya belum menemukan chemistry-nya, apa yang sebetulnya dimaui pasar Malaysia. Karena mereka banyak yang berbaju muslim, saya bawa yang sesuai budaya mereka. Ternyata enggak laku. Saat pameran berikutnya, saya bawa banyak kebaya organdi berbordir. Saya belum buka stan, orang sudah mengantre. Dagangan saya sudah ludes pun, orang masih menanyakan.

Orang Malaysia sangat suka kain dan kebaya batik Indonesia. Kain-kain batik sutera yang di Indonesia sudah tidak diminati, di sana malah laku. Begitu juga dengan kain sarung Nyonya dari Pekalongan. Bertahun-tahun sebelum banyak kantor di Indonesia menyeragamkan karyawannya dengan baju batik pada hari Jumat, di sana sudah ada imbauan agar tiap Jumat karyawan disarankan memakai baju nasional. Jauh sebelum batik booming di Indonesia, produk saya terkenal di Malaysia.

Sekarang banyak "batik" dari China yang masuk ke Indonesia. Apa tanggapan Anda?

Saya harap seruan untuk memproteksi produk nasional juga diterapkan di Indonesia. Saya harap keran tekstil bermotif batik dari Cina, meski itu bukan batik, ditutup. Pintu masuknya harus lewat bea cukai dan harus tertib. Ini demi keselamatan bangsa sendiri. Sebab, perekonomian rakyat kan, dari bawah. Kalau perekonomian para perajin batik terangkat, otomatis mereka punya generasi penerus yang baik. Kita harus memikirkan sampai sejauh itu. "Batik" dari Cina itu memang murah, tapi buat apa menyumbang devisa negara lain? Lebih baik mahal sedikit, tapi ada sumbangsih kita buat perajin dari daerah.

Lalu, apa yang Anda rasakan ketika Malaysia mengklaim batik?

Pertama, marah. Yang lebih bikin marah, kain batik kita yang mahal mereka print persis seperti motifnya, lalu dijual dengan harga yang sangat murah. Mereka kok, seenaknya. Namun, setelah saya pikir lebih lanjut, hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, selain SDM mereka terbatas, keluwesan batik Indonesia tidak bisa ditandingi mereka. Nilai seni Indonesia jauh lebih tinggi daripada Malaysia.

Malaysia memang punya batik, tapi tidak seindah batik Indonesia. Batik Malaysia itu sangat sederhana, seperti lukisan bunga. Motif mawar atau kembang sepatu dengan daun besar-besar yang dilukis tangan saja sudah mereka sebut batik. Untuk menggambar lebih detail, mereka tidak bisa.

Pemerintah kita kecolongan. Pemerintah tidak berpikir bahwa warisan budaya itu harus ada administrasinya. Harusnya pemerintah sebagai regulator memikirkan secara detail, mungkin malah harusnya ada kementerian khusus untuk mengurusi warisan budaya. Jadi, bukan sekadar memperkenalkan budaya, melainkan juga mematenkannya.

Menurut Anda, apa yang bikin batik jadi booming sekitar dua tahun silam?

Pertama, karena adanya klaim dari Malaysia bahwa batik adalah budaya mereka. Itu berkah buat kita, lho. Sebab, langsung saat itu desainer busana Edward Hutabarat bereaksi. Di tangannya, batik yang sederhana jadi terlihat bagus dengan beragam jenis karya. Sebelum booming batik, saya memang menjual batik, tapi lebih banyak kain sarung dan selendang, kemeja, stola, dan scarf.

Belum ada busana dengan berbagai model seperti sekarang. Karya para desainer busana itu menginspirasi saya dan para pedagang batik lainnya untuk membuat karya sendiri. Klaim dari Malaysia itu seolah jadi cambuk buat kita semua.

Apa komentar Anda dengan pengakuan UNESCO tentang batik?

Terima kasih. Batik lebih dihargai dan diakui di seluruh dunia. Mudah-mudahan batik bisa semakin terangkat, bukan hanya sekadar tren sesaat. Oleh karena itu, para perajin dan pebisnis harus lebih kreatif dan percaya diri lagi dalam berkarya, supaya tidak membosankan dan lebih bernilai.

Kita jangan sampai terlena dengan penghargaan itu. Caranya, dengan mengenakan batik di berbagai kesempatan. Selain itu, semoga para pembeli dari luar negeri semakin banyak. Pemerintah daerah setempat harusnya membuat regulasi soal upah pembatik. Jangan hanya penjualnya saja yang kehidupannya sejahtera tapi upah perajinnya masih murah. Selain itu, pengusaha batik di daerah banyak yang saling banting harga, sehingga mematikan usaha pesaingnya. Jadi, etika berbisnis juga sangat penting, jangan mematikan pesaing kita.

Bagaimana caranya agar masyarakat lebih menghargai batik, bukan hanya sekadar membeli warna, motif atau modelnya?

Itu harus dari kesadaran mereka sendiri untuk mempelajari bagaimana batik itu dibuat. Pemerintah harusnya memfasilitasi hal ini. Tapi saya senang, para pembeli sudah mulai bertanya batik yang ini dari (kota) mana. Berarti keingintahuan mereka sudah mulai tumbuh. Memakai batik saja sudah membuat senang, apalagi sampai mereka mempelajari cara membuatnya, baik dengan proses cap, tulis, atau printing. Sebab, ketidaktahuan membuat mereka kurang menghargai batik itu sendiri. Saya sering mengalami batik tulis saya ditawar sangat murah, padahal biaya bahan dan proses produksinya saja berkali lipat dari harga yang ia sodorkan.

Bagaimana Anda melihat batik yang kini banyak bermunculan dari berbagai daerah?

Masing-masing daerah punya batik dengan ciri khasnya sendiri. Batik yang terkenal halus dan lembut batikannya adalah Solo, yang terkenal dengan warnanya yang cerah adalah Pekalongan. Dulu orang hanya tahunya batik Solo dan Yogya. Sekarang selain tiga kota itu, ada pula antara lain batik Indramayu, Sidoarjo, Banyumas, dan Lasem yang sekarang banyak diminati.

Bagaimana cara Anda bertahan di tengah makin maraknya penjual batik?

Harus mengikuti tren pasar dan tahu kebutuhan pasar. Batik yang saya buat juga bukan produk massal.

Anda sangat menikmati karier Anda ini. Bagaimana suami dan anak-anak melihat Anda berbisnis seperti ini?

Mereka sangat mengerti. Suami saya yang bekerja di bank swasta banyak memberi masukan dan tidak mengekang saya. Anak-anak juga sangat mendukung. Mereka jadi anak-anak yang mandiri dan tetap dalam jalur yang benar, tahu bahwa ibunya pergi bukan untuk bersenang-senang, melainkan bekerja. Namun, saya sendiri harus punya rem. Setiap kali saya pameran ke luar negeri, misalnya, saya selalu langsung pulang menemui keluarga. Sebab, pada dasarnya saya orang rumahan.

HASUNA DAYLAILATU