Jika Si Kecil Mengalami Kelainan Penglihatan

By nova.id, Selasa, 16 Februari 2010 | 07:22 WIB

Hati-hati memaksa anak belajar membaca di usia batita. Bisa-bisa ia mengalami kelainan penglihatan. Apa pula yang penting diperhatikan jika ia harus berkacamata?

Kesehatan mata perlu dijaga sejak anak usia dini. Seperti dikatakan para ahli mata,penglihatan bayi baru lahir dan balita masih belum sempurna. Agar menjadi sempurna, selain sel-selnya dapat berubah sendiri secara anatimis (ukurannya, ketebalan dan penyebarannya, sel-sel kerucut dan batangnya), juga harus diikuti stimulus terus-menerus dan tak boleh terganggu.

Pada masa pertumbuhan mata, bayangan yang ditangkap akan diubah ke pusat penglihatan di otak. Nah, pusat penglihatan di otak inilah yang harus mendapat rangsangan dari usia dini. Jika ada kelainan-kelainan ekstrem pada usia di mana anak seharusnya sudah bisa memfokuskan penglihatannya, para ayah dan ibu seharusnya sudah mulai waspada.

KELAINAN REFRAKSI

Memang, tak semua anak beruntung memiliki mata yang sehat. Sebab, seperti dikatakan dr. Setiowati Suhardjono, Spm dari Bagian Ilmu Penyakit Mata FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, "Pada beberapa kasus ditemui kelainan mata pada anak sudah terjadi sejak lahir." Kelainan yang tampak sejak lahir ini disebut kelainan kongenital. Penyebabnya macam-macam. Antara lain, kelainan kromosom, infeksi intra-uterin (dalam kandungan) dan sebab-sebab lain yang tak diketahui.

Akibat kelainan kongenital, anak dapat mengalami gangguan refraksi, yaitu kelainan pada kornea untuk memfokuskan cahaya, seperti rabun jauh dan dekat, juling, atau malah mengakibatkan penglihatan tak dapat sama sekali alias buta. "Para balita yang berkacamata, biasanya disebabkan ada kelainan refraksi pada penglihatannya, sehingga untuk menyembuhkannya atau mengembalikan refraksinya ke arah normal, diperlukan bantuan kacamata," kata Setiowati.

Lebih jauh ahli mata ini menjelaskan, seorang bayi pascalahir mempunyai bola mata dengan ukuran sumbu 17 mm, sementara orang dewasa memiliki sumbu bola mata 24 mm. Jadi, pada waktu lahir, seorang bayi sudah memiliki ukuran bola mata sebesar 75 persen dari ukuran mata orang dewasa. "Ukuran bola mata ini akan bertambah secara cepat pada tiga tahun pertama. Jadi, di usia 3 tahun, ukuran bola mata mencapai 96 persen dari ukuran mata orang dewasa," jelasnya.

Nah, dengan adanya pola pertumbuhan ini, tajam penglihatan bayi dan balita belum mencapai standar penglihatan normal orang dewasa. Karena itu, penglihatan mereka masih dalam kategori subnormal, tapi tak bisa dikatakan ada kelainan refraksi. Sebab, penglihatan mereka, sejalan dengan usianya, sedang mengalami masa pertumbuhan.

Sebagian besar bayi, tutur dokter yang banyak mempunyai pasien balita ini, saat lahir mempunyai kesalahan refraksi +2D. "Sebagian besar bayi ini akan mengikuti pola pertumbuhan normal bola mata, sehingga pada usia 6 tahun tak lagi mempunyai kelainan refraksi. Proses ini disebut emetropisasi," katanya. Oleh karena ada pola perkembangan normal ini, seorang anak usia di bawah 6 tahun yang mempunyai tajam penglihatan subnormal, tak dapat dikatakan mempunyai kelainan refraksi. "Asal tajam penglihatan sesuai usianya, diharapkan pada umur 6 tahun, seorang anak tanpa kelainan refraksi sudah dapat mencapai tajam penglihatan normal (emetrop)," lanjut dosen penyakit mata di FKUI ini.

RABUN JAUH DAN RABUN DEKAT

Secara umum, ada dua macam kelainan refraksi, yaitu rabun jauh (myopa) dan rabun dekat (hipermetropia).

Rabun jauh terjadi bila bayangan yang dibentuk oleh lensa mata dari benda yang jauh jatuh di depan retina. Dengan demikian, bayangan yang mencapai retina tak tajam lagi (out of focus). "Lensa mata ini sudah tak mampu lagi mengurangi kecembungannya karena lensa sudah dalam keadaan paling rileks," jelas Setiowati.

Karena bentuk bola mata dan lensa mata yang berbeda, beberapa etnik tertentu seperti Jepang, Cina, Yahudi, dan Eropa mempunyai tendensi rabun jauh lebih tinggi dibanding etnik lainnya. "Faktor lingkungan juga ikut mempengaruhi. Sekarang, kan, banyak ibu-ibu yang memaksakan anaknya untuk bisa membaca di usia batita. Mereka bangga jika anaknya bisa membaca pada usia 3 atau 4 tahun," kata Setiowati.

Padahal, sambungnya, jika mata dipakai untuk membaca dan close work terus-menerus, maka otot mata yang mengatur akomodasi lensa akan bekerja keras untuk mencembungkan lensa. Terlebih jika penerangannya kurang memadai. "Kerja keras dari otot ini akan menyebabkan daya akomodasi menurun dan pada akhirnya menyebabkan pemanjangan sumbu bola mata akibat tekanan di dalam mata meninggi. Ini bisa menambah kelainan minusnya," jelas dokter yang praktek di RSCM dan RS Mata Aini ini. Bila batita sudah "terserang" rabun jauh, maka penggunaan kacamata dengan ukuran minus dapat memperbaiki kekurangan ini.

Sedangkan rabun dekat merupakan kebalikannya, yakni ketidakmampuan melihat dengan jelas benda-benda yang berada dalam jarak dekat. Ini karena bayangan benda jatuh di belakang retina. "Semua bayi dan anak kecil cenderung mempunyai rabun dekat. Tapi pada umumnya, di usia 6 tahun, penglihatan akan berkembang normal," kata Setiowati.

Rabun dekat dapat diperbaiki dengan lensa plus. Kendati demikian, menurut Setiowati, "Pada anak-anak dan balita, kacamata dengan lensa plus tak selalu diperlukan untuk mengoreksi kelainan ini. Sebab, balita masih mempunyai daya akomodasi lensa yang cukup tinggi, sehingga mata dapat menyesuaikan sendiri." Mereka yang tetap mempunyai problem rabun dekat setelah usia 6 tahun biasanya mempunyai riwayat rabun dekat di keluarganya.

JULING

Kedua jenis kelainan refraksi di atas sering disertai kelainan refraksi lain yang disebut astigmatisme. "Kelainan ini disebabkan permukaan kornea tak rata atau lonjong, sehingga penglihatan menjadi buram dan bergelombang. Benda-benda tampak seperti bayangan yang tampak di depan cermin bergelombang," terang dr. Setiowati.

Astigmatisme dapat dikoreksi dengan lensa berbentuk silinder, dengan sudut tertentu untuk menetralkan sudut kelonjongan kornea. Sudut silinder ini sangat penting agar mata benar-benar dikoreksi sesuai arah kekuatan lensa mata.

Ada juga kelainan lain yang disebut strabismus. Yaitu ketidakmampuan memusatkan mata secara bersamaan, yang bisa terjadi sejak lahir (strabismus bawaan) atau berkembang di kemudian hari (strabismus dapatan).

"Anak-anak yang keluarganya memiliki riwayat strabismus biasanya mudah terkena problem ini," ujar Setiowati. Tapi masalah ini bisa juga terjadi pada anak-anak yang berpenglihatan normal dan yang berpenglihatan lemah. "Mereka dapat mengalami strabismus pada tahun ke-3, ketika mereka berusaha keras untuk memusatkan penglihatan pada benda-benda yang dekat, sehingga matanya menjadi juling," lanjutnya.

Biasanya, juling yang berkembang di kemudian hari akibat dari kelainan penglihatan yang lain seperti katarak, rabun dekat/jauh. Juga bisa terjadi karena masalah medis lain seperti Down Syndrome atau Cerebral Palsy.

Para ibu sering khawatir, mata bayinya terlihat juling hingga bulan-bulan pertama pascalahir. Tampaknya mata mereka tak bergerak secara bersama-sama. Menurut Setiowati, kondisi juling ini diakibatkan bayi belum menemukan fokus penglihatan secara normal.

"Penglihatan mereka masih kabur, sehingga yang tampak adalah bayang-bayang. Seiiring dengan berjalannya waktu, mereka belajar memfokuskan apa yang dilihat karena penglihatannya juga semakin jelas," jelasnya. Nah, pada saat belajar menyeimbangkan penglihatan di kedua mata inilah, ibu-ibu sering mengira anaknya juling. Kendati demikian, pada pertengahan tahun pertama, seharusnya mata anak sudah sering bergerak ke kanan-kiri, ke atas-bawah, dan terpusat secara bersama-sama.

Jika lewat tahun pertama ada anak-anak yang bertendensi ke arah mata juling yang tak disertai kelainan khusus seperti Down Syndrome, Cerebral Palsy atau katarak, biasanya pengobatan dilakukan dengan memberikan kacamata untuk menyeimbangkan penglihatan di kedua mata.

KATARAK

Adapun katarak, yang juga diderita sejak lahir, merupakan penyakit mata yang menyebabkan lensa mata menjadi keruh. Padahal, lensa mata merupakan salah satu media yang harus jernih. "Penyebabnya bisa macam-macam. Salah satunya, rubela yang diderita ibu waktu hamil," jelas Setiowati.

Jika waktu lahir retina (daerah bintik kuning) sudah keruh, berarti bayi tersebut terserang katarak. "Jika dokter anak mengizinkan, di usia dini pun dapat dilakukan operasi katarak untuk mengangkat keruh di lensa," kata ahli mata yang pernah mendapat pasien katarak usia 2 bulan ini. Setelah menjalani operasi, bayi atau anak-anak biasanya akan diberi kacamata.

Santi Hartono/nakita