Mungkin Anda sering berpikir, kok hal-hal yang menyulut emosi lebih gencar datang di bulan puasa, sih? Padahal Anda ingin menjaga ibadah puasa agar tetap khusyuk.
Memang tak dapat dipungkiri, hal terberat dari puasa bukan saja menahan lapar dan dahaga, melainkan menahan emosi. Hal ini tak kalah penting sekaligus pelik mengingat godaan penyulut emosi di bulan suci tampak tak kunjung habis.
"Memang ketika puasa kita berada dalam keadaan tidak terlalu nyaman karena lapar dan haus. Otomatis, ketidaknyamanan ini membuat emosi mudah terpicu," tukas Widiawati Bayu, psikolog dari PT. Kasandra Persona Prawacana. Oleh karena itu, Widiawati menyarankan setiap pasangan mengontrol diri agar sikap, hawa nafsu, juga emosi, senantiasa terkendali supaya puasa lebih banyak diisi dengan hal positif.
Faktor Pemicu
"Suami dan istri itu ibaratnya satu jiwa. Namun, banyak hal yang bisa membuat keduanya bersinggungan," kata Widiawati. Pasalnya, meski hidup dalam satu atap dan menghabiskan banyak waktu bersama, praktiknya tidak selalu berjalan mulus.
Sebut saja jika Si Dia malas membantu Anda menyiapkan sahur atau memutuskan lokasi salat Idul Fitri secara sepihak. Hal-hal kecil yang demikian, justru dapat memercik perselisihan yang akan berbuntut panjang jika tidak segera diselesaikan.
"Dalam lingkup keluarga, masalah pun tidak hanya menyangkut suami dan istri. Faktor anak, pengasuh, teman, atau rekan kerja juga bisa menjadi pemicu perselisihan dengan suami atau istri Anda," paparnya. Misalnya jika pasangan terlalu sering menghadiri undangan buka puasa tanpa mengajak Anda. Saat cara yang ditempuh salah, misalnya lupa meminta izin dahulu, tanpa diduga konflik pun meletup.
Tunda Amarah
Kunci dari perselisihan memang komunikasi. Akan tetapi, komunikasi yang seperti apa? Menurut Widiawati, komunikasi terbuka dan tulus dengan niat baik untuk menyelesaikan masalah adalah yang harus ditempuh. Artinya, jangan langsung terpicu jika pasangan memancing emosi negatif Anda.
"Duduk berdua, bicarakan apa yang tidak disukai. Lakukan komunikasi terbuka tanpa amarah. Karena sebenarnya semua orang tahu masalah yang dihadapi dengan amarah justru hanya akan mengendap, bukannya tuntas," tegasnya.
Lagi pula, rasanya sayang jika niat ibadah justru tertoreh hal yang kurang baik, kan? "Bayangkan jika tiga puluh hari Anda memendam amarah, kekesalan menumpuk, lalu di Hari Lebaran Anda bermaaf-maafan namun sebenarnya ada yang masih mengganjal. Maknanya tidak diraih dan akan disesalkan di kemudian hari," ujar Widiawati.