Ketika Anak Menyakiti Binatang (1)

By nova.id, Kamis, 15 Maret 2012 | 22:54 WIB
Ketika Anak Menyakiti Binatang 1 (nova.id)

Ketika Anak Menyakiti Binatang 1 (nova.id)

"Foto: Getty Images "

Betapa terkejutnya Mira ketika memergoki anaknya, Rafa, sedang menendang seekor kucing sambil tertawa. Dengan sigap, ia langsung menegur Rafa dan memintanya untuk berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Masalah belum usai sebab Mira khawatir anaknya akan cenderung menyukai kekerasan. Benarkah demikian?

Empati Terbatas

Menurut Psikolog Klinik Kembang dan Edukasi Terpadu Rumah Sakit Pondok Indah, Roslina Verauli, M.Psi., anak yang senang menyakiti binatang dibagi atas dua kategori usia. Yakni, usia di bawah lima tahun dan usia sekolah dasar. Nah, jika perbuatan menyakiti binatang dilakukan anak usia preschool (2-3 tahun), umumnya mereka bukan menyakiti binatang. Menurut tahap tumbuh kembangnya, perilaku ini hanya bagian dari agresivitas atau ekspresi gemas terhadap hewan. Misalnya, ketika seorang anak melihat kelinci atau anak anjing, mereka mengekspresikan rasa suka dan gemasnya dengan memeluk hewan itu terlalu kencang.

Agresivitas ini dilakukan karena mereka belum memiliki kemampuan berpikir yang memadai dan rasa empatinya terbatas sehingga ekspresi gemasnya menjadi tak terkendali. Ketika anak merasa gemas dengan hewan, ia merasa perlu memperlakukan hewan itu dengan cara tertentu, tapi ia tidak sadar kalau caranya bisa berdampak melukai hewan.

Selain itu, energi anak ternyata besar dan kuat, tapi kemampuan mengendalikannya yang terbatas. Penyebabnya karena kemampuan berpikirnya yang belum memadai tadi. "Jadi menyesuaikan antara gemas dan kekuatan fisiknya masih kurang. Pelukan terlalu kencang itulah yang kemudian terkesan 'menyakiti' hewan, padahal tidak," ujar Vera.

Lantas apa yang harus dilakukan orangtua ketika melihat anaknya di usia ini melakukan kekerasan pada hewan? Lakukanlah hal berikut ini:

 On the spot:  Orangtua memberi peringatan dan mengajar anak secara langsung ketika ia salah memegang hewan. Misalnya, "Eh, enggak begitu caranya, nanti anjingnya kesakitan."

 Sentuhan sayang: Katakan kepada anak bahwa hewan juga makhluk hidup yang harus dijaga dan sayang. Ajarkan kepada anak bagaimana cara menyayangi binatang secara fisik. Contohnya, ambil tangan anak dan ajak ia menyentuh binatang dengan cara menyentuh atau memberi usapan sayang.

 Pilih kosakata:  Jangan pernah katakan kepada anak, "Kelincinya jangan dicekik." Di usia sedini ini, anak belum mengerti apa itu arti kata "cekik". Jadi perhatikan unsur kata yang akan Anda sampaikan kepada anak.

 Konsekuensi:  Bantu anak membangun perasaan tentang apa itu rasa sakit, juga ajarkan konsekuensi apa yang akan terjadi jika ia menyakiti binatang. "Nanti kalau binatangnya kesakitan, dia bisa mati".

Yang perlu diingat oleh orangtua adalah fase ini merupakan fase pertama anak belajar bagaimana memperlakukan dan bertanggung jawab terhadap binatang. Di kemudian hari, hal ini bisa membantunya bertanggung jawab kepada dirinya sendiri.

Manifestasi Balas Dendam

Fase berikutnya berkembang pada anak di usia yang lebih dewasa lagi, yakni di usia sekolah dasar.Di usia ini, alasan anak suka menyakiti binatang biasanya lebih kompleks. Yaitu karena temperamental yang agresif. Memang, ada beberapa anak yang memiliki temperamen "sulit" atau keras sejak awal, sehingga sudah sukar ditangani. Artinya, agresivitasnya merupakan bawaan sejak lahir.

Sifat agresi ini juga berbeda pengaplikasiannya antara anak laki-laki dan anak perempuan. Pada umumnya, agresivitas anak laki-laki lebih bersifat fisik, sedangkan anak perempuan lebih ke verbal. Jika bukan karena faktor bawaan, dorongan agresi bisa disebabkan oleh beberapa hal. Di antaranya:

 Tinggal dalam lingkungan yang

 keras: Bapak ibunya tidak hanya kasar terhadap anak, tetapi juga pada hewan.

 Korban agresivitas:  Anak menyakiti hewan karena manifestasi dari dorongan agresi dari pihak lain (anak korban agresivitas). Misalnya, anak menjadi korban bully di sekolah. Di saat anak tidak mempunyai kemampuan untuk bertahan, membalas, atau menyalurkan agresivitasnya secara spontan, ia akan menyalurkan amarah atau kekecewaannya pada hierarki dominasi (objek) yang lebih rendah. Contohnya: orangtua ke anak, anak ke adiknya atau hewan.

 Terpapar kekerasan fisik:  Hal ini bisa dilihat dari film atau lingkungan sekitar. Anak mungkin tidak serta-merta meniru kekerasan yang ia lihat, tapi jika terlalu sering disaksikannya, ini akan mengubah pola skemanya tentang pemecahan masalah juga perilakunya terhadap orang lain dan hewan.

Anger Management

Tentunya, orangtua mana pun tidak menginginkan perilaku semacam ini terjadi pada anaknya. Anda bisa membantu buah hati dari dini untuk mengatasinya dengan cara berikut ini:

- Bantu mereka memahami apa yang membuat mereka berlaku agresif pada hewan. "Kenapa kamu melakukan itu?" Biasanya pada perspektif ini mereka pasti akan mengatakan kalau hewannya yang bersalah.

- Ajarkan anak kalau ada banyak hal cara melampiaskan kemarahan (anger management) dengan cara yang sederhana. Misalnya, "Nak, kalau kamu marah, katakan saja kamu marah".

- Ajarkan anak menyampaikan pesan kemarahannya dengan cara "I Message". I message selalu dimulai dengan kata "I" (saya atau aku). Seperti, "Aku enggak suka sama kamu Bruno (nama anjing peliharaan), karena kamu sudah gigit sendal aku!" atau "Kamu jangan tidur di tempat tidurku, nanti kotor. Aku enggak suka kalau tempat tidurku kotor."

- Ajarkan anak kalau objek-objek yang lebih rendah darinya bukanlah tempat pelampiasan.

- Pahami apa masalah anak sesungguhnya. "Ketika anak cenderung marah, pasti dikarenakan ia sedang di dalam kondisi masalah yang tak terpecahkan. Bantu anak mengatasi masalahnya, karena beberapa anak enggak tahu cara deal dengan problem mereka atau teknik-teknik pemecahan masalah yang tepat," terang Vera.

Ester Sondang / bersambung