Fabiola Priscilla Setiawan, MPsi, Psikolog Anak dengan Segudang Kegiatan

By nova.id, Selasa, 11 Maret 2008 | 04:35 WIB
Fabiola Priscilla Setiawan MPsi Psikolog Anak dengan Segudang Kegiatan (nova.id)

Ada lagi contoh orangtua yang beda bangsa. Si ayah pakai bahasa Inggris dan ibunya pakai bahasa Indonesia. Saya akan sarankan cari sekolah yang bilingual. Jadi, kebutuhan anak terpenuhi oleh sekolah-sekolah ini. Namun, sesungguhnya yang paling tahu kebutuhan anak itu adalah orangtuanya dan si anak. Tugas saya hanya menjembatani.

Oh ya, kenapa Anda tertarik Psikologi? Psikologi, kan, ilmu tentang bagaimana memahami perilaku orang. Kebetulan sejak SMA saya sudah senang memperhatikan tingkah laku seseorang. Saya percaya, terkadang apa yang ditampilkan orang itu, tidak sesuai dengan apa yang ingin dia lakukan maupun apa yang ada di dalam hatinya. Nah, itulah yang ingin saya pelajari. Semua itu ada di Psikologi. Saya masuk Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya, Jakarta tahun 1996 dan lulus tahun 2000.

Semakin dalam saya mempelajari psikologi, saya semakin mencintai dunia anak. Menurut saya anak itu begitu bersih. Banyak yang bisa kita lakukan untuk mereka. Waktu semester empat, saya diperkenalkan dengan autisme. Saya sempat berkecimpung dengan masalah autisme selama beberapa tahun. Baik sebagai volunteer maupun terapis. Selain autis, akhirnya saya juga mempelajari gangguan perkembangan anak yang lain. Itulah yang kemudian mendorong saya studi lanjut di Fakultas Psikologi Perkembangan, UI, mengambil Magister Profesi Klinis Anak (tahun 2001-2003).

Bisa cerita pengalaman ketika mendampingi anak autis? Selama mendampingi mereka, saya menemukan banyak pengalaman yang menyentuh. Antara lain semasa jadi volunteer, di Bandung, saya mendampingi seorang anak autis yang tidak bisa bicara sampai usia tujuh tahun. Dia mengeluarkan kata yang pertama kali di depan saya. Sambil menunjuk bola, dia mengatakan, "Bola." Kata yang diucapkan memang belum sempurna. Namun, saya dan ibunya sampai menangis bahagia karena anak ini memang tidak bisa bicara sejak kecil. Sungguh membahagiakan saya. Dari situ saya berpikir, apa yang saya lakukan ini sudah di jalan yang benar. Ada lagi pengalaman unik saat melakukan terapi untuk anak-anak autis. Ketika konsentrasi pada anak-anak yang lain, tanpa setahu saya ada seorang anak di kolong meja. Anak ini ngamuk. Tiba-tiba saja dia menggigit kaki saya dan tidak dilepas. Meski sakit sekali, saya menahan diri untuk tidak menjerit. Gigitannya baru lepas setelah empat terapis menarik anak ini. Bekas gigitan masih ada sampai sekarang.

Sebagai psikolog, Anda tentu mempraktikkan ilmu Anda untuk mendidik anak sendiri? Saya punya satu anak, Shera Fianza Setiawan (1 tahun 1 bulan). Mulai hamil, saya mencoba menerapkan apa yang saya tahu demi perkembangan anak. Misalnya saja meski enggak bisa nyanyi, saya menyanyi buat anak. Tampaknya upaya saya membuahkan hasil. Sekarang, anak saya sudah bisa mengikuti ritme. Kemudian, kalau lagi rewel, dia jadi lebih tenang setelah saya putarkan musik.

Untuk pendidikan anak, Anda tentu diskusi dengan suami? Tentu saja. Kebetulan suami saya yang bekerja di bidang telekomunikasi, Dipl Ing. Irwan Setiawan (30), adalah kawan sejak SMA. Jangan lupa, suami-istri berangkat dari budaya yang berbeda. Makanya, suami-istri perlu diskusi. Saya dan suami sering diskusi untuk pendidikan anak. Sekarang saya mulai mengenalkan pendidikan agama dengan berdoa bersama sebelum dan sesudah tidur, doa sebelum dan sesudah makan. Saat ini, Shera sudah bisa mengikuti dua ujung kata dari doa-doa yang saya ucapkan. Kemudian, kebutuhan Shera akan eksplorasi membuat saya dan suami rajin membuat tempat-tempat yang memungkinkan Shera untuk bebas bergerak dan mengembangkan keterampilan sensomotoriknya.

HENRY ISMONO