Fabiola Priscilla Setiawan, MPsi, Psikolog Anak dengan Segudang Kegiatan

By nova.id, Selasa, 11 Maret 2008 | 04:35 WIB
Fabiola Priscilla Setiawan MPsi Psikolog Anak dengan Segudang Kegiatan (nova.id)

Mengajar, praktik, dan berbicara di berbagai seminar menjadi bagian hari-harinya. Dosen cantik ini juga sering diminta jadi narasumber di berbagai media.

Kegiatan Anda padat banget, ya? Begitulah. Selain mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya, Jakarta, sebagai psikolog anak saya juga praktik di Pela 9 dan LPT (Lembaga Psikologi Terapan) Universitas Indonesia. Hari Sabtu dan Minggu, saya sering diminta berbicara dalam seminar-seminar yang membahas persoalan anak dan remaja. Saya juga aktif sebagai salah satu pengasuh di www.curhat.net. Di seminar, baik di dalam kota maupun luar kota, saya biasa membahas persoalan anak dan remaja. Untuk anak, biasanya soal autisme, kesulitan belajar, depresi pada anak, perkembangan anak, dan topik-topik lain. Terkadang, setelah seminar langsung dilanjutkan dengan konsultasi. Apa yang biasanya dikonsultasikan? Banyak. Para orangtua sering menanyakan soal saling iri antara adik-kakak, anak tidak disiplin, anak suka memukul orangtua, atau si anak meminta sesuatu dengan berteriak atau menangis. Sampai pertanyaan yang mengarah pada gejala-gejala yang kami sebut sebagai gangguan perkembangan. Misalnya autisme, hiperaktivitas, speech delay (keterlambatan bicara).

Persoalan anak ternyata banyak, ya? Memang. Ada yang karena inkonsistensi pola pengasuhan, mengakibatkan perilaku pada anak itu tidak sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya anak yang melawan orangtua, itu ternyata karena orangtua mudah luluh. Aturan-aturan enggak dipakai lagi. Lama-lama wibawa orangtua turun. Otomatis anak akan memakai kelemahan orangtua itu sebagai senjata. Jalan keluarnya ? Pastinya perubahan dalam pola pengasuhan. Misalnya pengasuhan yang konsisten, lebih demokratis, dan menghargai kebutuhan anak. Kadang orangtua memakai kacamatanya, enggak bisa memahami apa, sih, yang dipikirkan anak.

Banyak yang konsultasi tentang pendidikan anak? Pastinya iya. Sekarang, kan, anak usia 7 tahun baru masuk SD. Tapi, ada yang usianya di bawah 7 tahun sudah bisa masuk SD. Yang saya sampaikan kepada orangtua, ada 7 aspek kematangan sekolah. Yaitu perkembangan fisik yang matang, tidak lagi tergantung pada orangtuanya, tertarik pada kegiatan belajar, mempu menyelesaikan tugas, adanya ketekunan yang konsisten, keteraturan dalam pola berpikir, bertindak dan berperilaku dalam lingkungan sosial, serta memiliki kapasitas intelektual dan kemampuan formal maupun informal lain yang menunjang keberhasilan anak di tingkat SD. Apabila ketujuh aspek ini sudah dimiliki anak, maka anak dapat dipertimbangkan untuk masuk ke tingkat SD.

Sekarang ini banyak play group. Usia berapa sebaiknya anak mulai dimasukkan ke sana? Kembali ke minat anak. Ada anak umur 2 tahun minat sekolahnya sudah tinggi. Enggak apa-apa, sih. Tapi perlu dilihat, ketika si anak bangun tidur, apakah dia antusias untuk sekolah atau tidak. Lantas, sepulang sekolah, apakah dia langsung masuk kamar dan tutup pintu atau dia antusias bercerita tentang sekolahnya. Kalau misalnya pulang sekolah tampak suntuk, mungkin sekolahnya enggak pas dengan kebutuhan anak atau anak belum siap sekolah. Dalam hal ini orangtua mesti peka.

Apa saran Anda kepada orangtua untuk memilih sekolah yang pas buat anak? Sesuaikan antara kemampuan dan minat anak dengan kondisi sekolah. Misalnya ada anak yang tidak bisa duduk diam, bukan hiperaktif tapi anak ini memang tingkat eksplorasinya tinggi. Saya sarankan misalnya saja untuk masuk sekolah alam.

Contoh lain untuk tipe anak yang suka nanya terus, berarti kita harus mencari sekolah yang bisa menampung keinginan anak untuk bertanya. Otomatis kita enggak mungkin mencari sekolah yang satu kelas jumlahnya 40 anak. Kita cari kelas yang jumlahnya 10-15 anak. Jumlah siswa yang sedikit memungkinkan anak lebih bisa berinteraksi dengan guru.

Ada lagi contoh orangtua yang beda bangsa. Si ayah pakai bahasa Inggris dan ibunya pakai bahasa Indonesia. Saya akan sarankan cari sekolah yang bilingual. Jadi, kebutuhan anak terpenuhi oleh sekolah-sekolah ini. Namun, sesungguhnya yang paling tahu kebutuhan anak itu adalah orangtuanya dan si anak. Tugas saya hanya menjembatani.

Oh ya, kenapa Anda tertarik Psikologi? Psikologi, kan, ilmu tentang bagaimana memahami perilaku orang. Kebetulan sejak SMA saya sudah senang memperhatikan tingkah laku seseorang. Saya percaya, terkadang apa yang ditampilkan orang itu, tidak sesuai dengan apa yang ingin dia lakukan maupun apa yang ada di dalam hatinya. Nah, itulah yang ingin saya pelajari. Semua itu ada di Psikologi. Saya masuk Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya, Jakarta tahun 1996 dan lulus tahun 2000.

Semakin dalam saya mempelajari psikologi, saya semakin mencintai dunia anak. Menurut saya anak itu begitu bersih. Banyak yang bisa kita lakukan untuk mereka. Waktu semester empat, saya diperkenalkan dengan autisme. Saya sempat berkecimpung dengan masalah autisme selama beberapa tahun. Baik sebagai volunteer maupun terapis. Selain autis, akhirnya saya juga mempelajari gangguan perkembangan anak yang lain. Itulah yang kemudian mendorong saya studi lanjut di Fakultas Psikologi Perkembangan, UI, mengambil Magister Profesi Klinis Anak (tahun 2001-2003).

Bisa cerita pengalaman ketika mendampingi anak autis? Selama mendampingi mereka, saya menemukan banyak pengalaman yang menyentuh. Antara lain semasa jadi volunteer, di Bandung, saya mendampingi seorang anak autis yang tidak bisa bicara sampai usia tujuh tahun. Dia mengeluarkan kata yang pertama kali di depan saya. Sambil menunjuk bola, dia mengatakan, "Bola." Kata yang diucapkan memang belum sempurna. Namun, saya dan ibunya sampai menangis bahagia karena anak ini memang tidak bisa bicara sejak kecil. Sungguh membahagiakan saya. Dari situ saya berpikir, apa yang saya lakukan ini sudah di jalan yang benar. Ada lagi pengalaman unik saat melakukan terapi untuk anak-anak autis. Ketika konsentrasi pada anak-anak yang lain, tanpa setahu saya ada seorang anak di kolong meja. Anak ini ngamuk. Tiba-tiba saja dia menggigit kaki saya dan tidak dilepas. Meski sakit sekali, saya menahan diri untuk tidak menjerit. Gigitannya baru lepas setelah empat terapis menarik anak ini. Bekas gigitan masih ada sampai sekarang.

Sebagai psikolog, Anda tentu mempraktikkan ilmu Anda untuk mendidik anak sendiri? Saya punya satu anak, Shera Fianza Setiawan (1 tahun 1 bulan). Mulai hamil, saya mencoba menerapkan apa yang saya tahu demi perkembangan anak. Misalnya saja meski enggak bisa nyanyi, saya menyanyi buat anak. Tampaknya upaya saya membuahkan hasil. Sekarang, anak saya sudah bisa mengikuti ritme. Kemudian, kalau lagi rewel, dia jadi lebih tenang setelah saya putarkan musik.

Untuk pendidikan anak, Anda tentu diskusi dengan suami? Tentu saja. Kebetulan suami saya yang bekerja di bidang telekomunikasi, Dipl Ing. Irwan Setiawan (30), adalah kawan sejak SMA. Jangan lupa, suami-istri berangkat dari budaya yang berbeda. Makanya, suami-istri perlu diskusi. Saya dan suami sering diskusi untuk pendidikan anak. Sekarang saya mulai mengenalkan pendidikan agama dengan berdoa bersama sebelum dan sesudah tidur, doa sebelum dan sesudah makan. Saat ini, Shera sudah bisa mengikuti dua ujung kata dari doa-doa yang saya ucapkan. Kemudian, kebutuhan Shera akan eksplorasi membuat saya dan suami rajin membuat tempat-tempat yang memungkinkan Shera untuk bebas bergerak dan mengembangkan keterampilan sensomotoriknya.

HENRY ISMONO